Kisah Nyata : Dahsyatnya Terapi Tawakal

Kisah nyata dahsyatnya tawakal - ilustrasi : pray to Allah reuters +Google Images
Kisah nyata dahsyatnya tawakal - ilustrasi : pray to Allah reuters +Google Images 
Tulisan ini terinspirasi oleh sebuah buku terbitan Ahsan Books yang merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan 10 Ulama terkenal pada zamannya, yaitu : Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, Abu Thalib Al-Makki, Syekh Abdul Qadir Jailani, Imam Ghozali, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Abu Said Al-Kharraz, Ibnu Taimiyah, Ibnu Atha’illah As-Sakandari, Al-Muhasibi, dan Imam Qusyairi. Buku tersebut telah diterjemahkan oleh Luqman Junaidi tahun 2010 dengan judul “Terapi Tawakal” dan memberikan inspirasi serta menyejukkan qolbu bagi siapa saja yang membacanya.

Salah satu kisah memukau yang bisa dikutib disini adalah kisah Abu Hamzah Al-Khurasani. Saat perjalanan menunaikan ibadah haji, ia terperosok di sumur tua yang sudah tidak terpakai di tengah padang pasir yang sepi. Dia ingin berteriak minta tolong, tapi ia telah bersumpah tidak minta tolong pada siapapun kecuali hanya kepada Allah.

Akhirnya diapun diam dan hanya yakin dengan pertolongan Allah. Sesaat setelah itu terdengar ada 2 lelaki yang bercakap, “Sumur ini sudah tidak terpakai, mari kita tutup saja agar tidak ada orang yang terperosok”.

Saat itu Abu Hamzah Al-Khurasani yang mendengar kedua lelaki itu ingin berteriak minta tolong, tapi ia ingat akan sumpahnya. Dia kembali meneguhkan diri, “Aku hanya akan berteriak dan minta tolong pada Zat yang lebih dekat dari kedua orang ini, bahkan Zat yang lebih dekat dari urat leherku”.

Akhirnya kedua orang itu menutup sumur dengan dahan, ranting dan dedaunan. Agak lama Abu Hamzah Al-Khurasani di dalam sumur, disaat tiba-tiba ada suara mendekat dan menyibak dahan, ranting dan dedaunan yang menutup sumur itu. Ada tali yang dijulurkan ke dalam sumur untuk Abu Hamzah Al-Khurasani seakan tahu betul bahwa disitu ada orang yang terjebak.

Abu Hamzah Al-Khurasani berpegangan dan setelah diatas, belum sempat bahagia terekspresikan dari wajahnya, ia panas dingin ketakutan melihat penolongnya adalah seekor singa, binatang buas yang manusia pun bisa menjadi mangsanya.

Singa itupun pergi meninggalkannya yang menggigil ketakutan. Saat itulah ia seakan mendengar suara, “Abu Hamzah, tidakkah ini lebih baik?, engkau selamat dari mulut sumur tua meski berada di depan mulut singa?.” (Terapi Tawakal hal. 190-192).

Secara etimologis, kata tawakal berasal dari fi’il madli وكل (wakkala) yang berarti menyerahkan atau mempercayakan.

Dalam kitab jaami’ul ‘Ulum wal hikam, secara terminologis Ibnu Rojab Al-Hanbali menjelaskan, tawakal adalah penyandaran hati yang sebenar-benarnya terhadap Allah dalam mengambil kemaslahatan dan mencegah kemudharatan dari berbagai urusan dunia dan akhirat secara menyeluruh. (Syekh Salim Bin ‘Ied Al-Hilali, dalam Syarah Riyadhush Sholihin, Pustaka Imam Syafi’i, 2013, halaman 287).

Dari sini bisa ditarik kesimpulan, bahwa tawakal berarti pasrah sepenuh hati kepada Allah terhadap apapun yang terjadi.

Pertanyaaannya, Mengapa tawakal bersanding dengan kata terapi?, Bisakah tawakal menjadi terapi?, Apakah tawakal menafikan usaha manusia?, Apakah dengan tawakal lantas manusia tidak perlu berobat?.

Pengalaman pribadi penulis agaknya cukup inspiratif diceritakan pada pembaca sekalian.

Jumat, 21 Agustus 2015 ketika penulis diminta menyampaikan khutbah Jumat di masjid Al-Ikhwan Jember dimana saat itu putri ke-2 penulis sedang sakit, sudah 2 hari panas mencapai 39 C.

Penulis mengalami trauma karena putri pertama pernah mengalami hal serupa dihari yang sama dan sampai terjadi kejang, opname di Puskesmas disaat penulis sedang sholat jumat dan menjadi Khotib di Masjid Al-Mubarok Jember, yang dampaknya hingga sekarang mengalami keterlambatan bicara akibat kerusakan sistem otak saat kejang.

Secara manusiawi wajar jika kami merasa khawatir dengan keadaan sakit putri ke-2 kami, hingga disela Khutbah Jumat kami meminta keikhlasan doa dari para jamaah untuk kesembuhannya. Yang lebih berat, sepulang jumatan, harus berangkat ke Cakru Kencong, Jember selama 3 hari dalam rangka training para Dosen UNMUH Jember.

Saat itu sahabat dosen menguatkan,

“Pasrahkan pada Allah pak Idris, إن تنصر الله ينصركم ويثبت أقدامكم
(jika kamu menolong agama Allah, Niscaya Allah akan menolongmu dan mengokohkan pendirianmu)”.

Dengan mata sayu, badan lemas dan panas serta agak rewel karena sakit penulis tinggal putri ke-2 kami ke Cakru nginap selama 3 hari sampai Ahad, 23 08 2015, dimana selama acara HP tidak boleh digunakan.

Betapa bingungnya hati penulis, karena meninggalkan keluarga yang sakit dan tidak bisa berkomunikasi sama sekali. Penulis hanya sempat meninggalkan sirup untuk sekedar pengobatan simtomatis (obat untuk menurunkan atau menghilangkan gejala yang muncul).

Disaat itulah penulis hanya berdoa,

يا حي يا قيوم برحمتك أستغيث. حسبنا الله ونعم الوكيل نعم المولى ونعم النصير ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم. اللهم ربا الناس أذهب البأس إشف وأنت الشافي لاشفاء إلا شفائك شفاء لايغادر سقما

Itu yang kami lafadzkan berulang-ulang, tawakal memohon kesembuhan langsung dari Allah. Saat selesai acara pulang dari Cakru pada hari Minggu, betapa bahagia hati melihat putri ke-2 kami sehat bermain dengan kakak dan uminya yang langsung minta gendong menyambut kedatangan penulis.

Sungguh tawakal merupakan sebuah terapi tertinggi kepada ilahi zat sang maha penyembuh. Dari sini penulis berpendapat secara yakin bahwa tawakal itu bukanlah pasrah yang pasif, tetapi tawakal merupakan bagian dari usaha yang aktif.

Tawakal tidak menafikan usaha manusia, tawakal juga tidak menutup pintu berobat jika sakit. Justru usaha dan upaya aktif dalam berobat lalu bertawakal/menyerahkan pada Allah, itu akan mempercepat dan memudahkan bagi terbukanya taqdir Allah yang lebih baik untuk seorang hamba. Sungguh maha benar firman Allah,
ومن يتوكل على الله فهو حسبه

“Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya”.
(Q.S. Ath-Tholaq : 3).

Mungkin pembaca merasa bahwa pengalaman pribadi ini tidak valid karena dianggap sekedar justifikasi diri saja.

Kisah Nyata Tawakal

Penulis punya cerita nyata lain, ada seorang yang cukup kaya sakit. Karena harta tidak kekurangan ia berobat kemana saja yang dianggap bisa menyembuhkan. Mulai dari dokter yang berbiaya paling ringan hingga dokter berbiaya paling mahal.

Mulai dari di dalam negeri hingga ke fasilitas kesehatan luar negeri. Namun tidak kunjung sembuh dari penyakit yang dideritanya. Suatu ketika saat hampir putus asa dengan penyakitnya, ada salah satu temannya memberi nasehat agar berobat ke seorang spiritual di Banyuwangi. Dengan semangat ia mendatanginya dan spiritualis itu hanya menganjurkan memasrahkan semua sakitnya pada Allah serta dimohon aktif dalam ibadah.

Setelah sebulan menjalani, orang ini justru sembuh dari semua keluhan sakitnya. Subhanalloh, Ketika manusia merasa mampu hingga terjebak pada sombong akan dirinya yang berharta maka disitulah Allah akan mengujinya dengan sakit yang tak kunjung sembuh.

"Jika ia merasa tak berdaya dan ingat Allah disitulah dia sedang bertawakal. Disitulah tangan Allah bekerja untuknya saat ia mengakui kelemahannya dan melepas kesombongannya."

Satu lagi fakta kedahsyatan tawakkal sebagai terapi tertinggi dari penyakit yang menimpa manusia. Dikutip dari buku berjudul “Kuberserah”, karya Prof. Dr. Amin Syukur, M.A. yang mengalami tumor otak ganas. Ia harus menjalani operasi sesegera mungkin, karena jika terlambat akan terjadi kematian.

Pada saat inform consent3 istrinya diberitahu bahwa resiko yang tidak bisa dihindari dari tindakan pasca operasi adalah, Pertama, suaminya akan gagap. Kedua, organ kanannya akan lumpuh, dan ketiga, peluang hidupnya setelah operasi hanya berkisar 3 bulan.

Meski menangis, ia pasrah, terutama Prof. Dr. Amin Syukur meski tidak tahu informasi yang diterima istrinya, namun justru bilang pada istrinya agar bertawakkal. Dokter hanya berusaha, tapi kita punya Allah yang maha segalanya. Kita minta pada Allah langsung.

Operasipun dilakukan oleh tim dokter yang berjumlah 5 orang. Setelah pulih dari obat bius, ternyata beliau tidak gagap, organ geraknya semua tidak lumpuh, tinggal survival rate1 3 bulan yang mengkuatirkan istri dan keluarganya. Sambil kontrol, yang bersangkutan dilakukan kemoterapi. Kejadian itu tahun 1998, hingga kini Prof. Dr. Amin Syukur masih hidup, sehat dan dinyatakan sembuh dari kankernya.

Ia aktif sebagai dosen dan guru besar ilmu tasawwuf di IAIN Walisongo Semarang, sekaligus sebagai trainer spiritual. Justru salah satu dari tim dokter yang mengoperasi, yaitu Dr. Sudomo, Sp.B.S. telah meninggal lebih dulu.

Yang lebih menarik adalah statemen Prof. Dr. dr. Zainal Abidin, Sp. B.S., “Tumor yang diduga ganas itu menjadi jinak dan hilang sama sekali. Itulah salah satu kelemahan prediksi/prognosa2 kedokteran, atau jangan-jangan itu merupakan pengaruh dari dahsyatnya doa dan tawakkal."

Semoga materi dan kisah-kisah nyata seputar terapi tawakal ini menjadi penguat keimanan, keislaman kita dan semakin tingginya tawakkal kita kepada Allah SWT. (*)


Ditulis oleh
Idris Mahmudi, Amd.Kep., M.Pd.I
Perawat - akupunturis,
Staf Pengajar UNMUH Jember,
Dosen di STIKES Dr. Soebandi, Jember.
Penulis buku, “Seks Islami ditinjau dari segi Al-Qur’an, Hadis dan Medis"

Kontak Person
081 336 385 486
081 559 919 182

-- Footnote

  1. Survival rate adalah peluang untuk mempertahankan hidup seseorang setelah dilakukan tindakan medis seperti operasi.
  2. Prognosa adalah estimasi atau perkiraan dari perjalan penyakit seseorang menurut paradigma/pandangan ilmu kedokteran berbasis teori dan fakta dari sekian banyak kasus.
  3. Inform consent adalah surat penyataan persetujuan dari tim medis atas tindakan yang dilakukan beserta segala resiko yang terjadi setelah tindakan tersebut kepada pasien atau keluarga yang menjadi wali kuasanya.
Lebih baru Lebih lama