Apa Pengertian Hadits Nabi?

Pengertian hadits
Selama ini sebagai muslim hanya mengenal pengertian hadits nabi secara umum yakni segala anjuran yang berasal dari Nabai besar Rasulullah Muhammad SAW. Namun lebih jauh, banyak hal tentang pemaknaan hadits yang sejatinya penting diketahui oleh umat Islam sebagai pondasi untuk memahami dalil-dalil untuk menjalankan ibadah mahdhah maupun muamalah untuk kesuksesan hidup dunia dan akhirat.
Kata hadits secara etimologi (bahasa) berarti al-jadid (baru, antonim kata qadim), al-khabar yang berarti berita dan al-Qarib (dekat). Sedangkan pengertian hadits secara terminologi adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (taqrir), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (bi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya.

Sehingga, arti hadits disini semakna dengan sunnah. hadits juga terkadang disebut dengan Khabar dan Atsar. Sebagian ulama menyamakan antara Hadits, Khabar dan Atsar. Sebagian lagi berpendapat berbeda. Ketika mereka melihat berbeda maka pengertian Khabar dan Atsar dapat dlihat dibawah ini.

Khabar secara etimologi yang berarti berita dan al-Qarib (dekat). Apa yang datang dari nabi dan sahabat.

Atsar secara etimologi adalah bekas atau sisa apa yang disandarkan kepada Rasulullah, sahabat dan tabiin.

Ulumul Hadits diterjemahkan dalam bahasa indonesia sebagai ilmu-ilmu hadits. Ilmu hadits adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan.

Pada dasarnya generasi pertama umat Islam tidak membedakan antara hadits dan sunnah, namun seiring dengan bergulirnya waktu dan bercabangnya khazanah keilmuan Islam, makna hadits dan sunnah mengalami perbedaan sesuai dengan ilmu yang melihatnya.

Dalam pandangan para ulama hadits, hadits adalah apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah SAW baik berupa, perbuatanya maupun ketetapanya.

Arti dari ketetapan Rasulullah adalah jika salah seorang sahabat mengerjakan atau mengatakan sesuatu sedangkan Rasulullah mengetahuinya, kemudian beliau diam terhadapnya atau menetapkannya1 .

Dalam terminologi lain, hadits menurut pengertian ulama hadits adalah segala sesuatu yang bersumber kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan (qauli), perbuatan (fi'li), maupun sifatnya (sifati)2 atau bisa juga diartikan sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifatnya3 .

Contoh hadits qauli (perkataan),
Hadits qauli tentan amal ibadah sesuai dengan niatnya

"Saya mendengar umar ibn al-Khattab Radiyallahu ‘Anhu berkata diatas mimbar, Saya mendengar Rasulullah Sallahu Alayhi Wasallam berkata: 'Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung niatnya, dan seorang itu diberikan balasan sesuai dengan niatnya, maka barang siapa yang hijrahnya karena dunia maka dia hanya mendapatkan itu, atau (barang siapa yang hijrahnya) karena wanita, yang akan dinikahinya, maka hijranya hanya mendapatkan itu (tidak mendapatkan pahala)‛."4

Contoh hadits fi’li (perbuatan)‚
hadits fi'li tentang puasa nabi rasulullah

"Sesungguhnya rasulullah Sallahu ‘Alayhi Wasallam beliau berpuasa sehingga kami berkata tidak berbuka, dan beliau berbuka sehingga kami mengatakan berliau tidak berpuasa."5 .

Contoh hadits taqriri‚
hadits taqriri tentang larangan sholat ashar

"Janganlah kalian shalat ashar kecuali (sudah tiba) di bani Qurayzah."6

Berdasarkan hadits ini sebagian sahabat ada yang tidak melaksanakan shalat kecuali ketika sampai di Bani Qurayzah dan ada sebagian lagi yang melaksanakan shalat meskipun belum sampai di Bani Qurayzah. Disampaikanlah ini kepada Rasulullah dan Rasulullah tidak menyalahkan keduanya. Sikap beliau yang demkian ini disebut dengan taqriri7.

Contoh hadits sifati (sifat)‚
hadits sifati tentan rasulullah sebagai manusia terbaik

"Anas Radiyallahu ‘anhu berkata: 'Sesungguhnya Nabi Muhammad Sallahu Alayhi Wasallam adalah manusia terbaik dan paling berani‛."8

Ulama usul al-fiqh mendefinisikan pengertian hadits sebagai segala perkataan Nabi SAW yang dapat dijadikan dalil untuk menetapkan hukum shar’i. Atau segala sesuatu yang dinisbahkan kepada nabi, baik ucapan, perbuatan atau ketetapan.

Dengan definisi tersebut maka hadits hanya berkutat pada perkataan atau tindakan nabi yang berkaitan dengan hukum saja tanpa menyinggung hal-hal lain yang dianggap tidak ada kaitanya dengan hukum seperti cara berpakainya nabi, minumnya, tidurnya, berbicaranya, sifat diri dan sifat pribadi nabi9.

Sedangkan istilah "al-hadith al-marfu’" adalah hadits yang bersambung sampai kepada nabi Muhammad SAW, "al-hadith al-mawquf" adalah hadits yang bersambung hanya kepada sahabat, tidak kepada nabi, sedangkan "al-hadith al-maqtu’" adalah hadits yang bersambung pada tabi’in10 .

Adapun pengertian sunnah secara bahasa adalah jalan atau kebiasaan, apakah itu yang baik maupun jelek11.

Sedangkan makna secara istilah terdapat perbedaan ulama tentangnya. Ulama hadits memberikan definisi bahwa sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir , tabiat, budi pekerti atau perjalanan hidup, baik sebelum diangkat menjadi rasul maupun sesudah12.

Dari pemahaman ini kita dapat melihat bahwa ahli hadits menjadikan Rasulullah sebagai "uswah hasanah", semua yang dilakukan oleh Rasulullah dilihatnya sebagai bentuk dari ajaran Islam. Dengan demikian pemahaman sunnah sebelum Islam yang berarti jalan, atau kebiasaan atau adat telah bertransformasi menjadi terminologi khusus yaitu apa-apa yang disandarkan kepada nabi.

Sedangkan sunnah menurut ulama "usul al-fiqh" berarti segala sesuatu yang bersumber kepada nabi selain dari al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapannya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi penetapan hukum Islam13.

Pemahaman ini memberikan batasan sunnah sebagai bantuk dari ajaran dan tindakan Rasulullah yang bisa diambil darinya hukum. Adapun kebiasaan Rasulullah yang tidak ada kaitannya dengan hukum maka dianggap tidak termasuk bagian dari hadits. Sedangkan menurut ulama fiqih, sunnah artinya adalah segala ketetapan yang berasal dari Rasulullah selain yang difardukan dan diwajibkan, dalam terminologi mereka sunnah merupakan bagian dari hukum yang lima yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah14.

Sedangkan athar diidentifikasikan sebagai perkataan sahabat dan tabi’in. Ada juga yang mengatakan bahwa athar adalah perkataan Rasulullah, Sahabah dan tabi’in . Wallahu a'lam.

Disusun oleh ustadz Ainur Rha’in, M.Th.I; Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jember 2015-2020.

Referensi:
1. ‘Abd al-Haq ibn Sayf al-Din ibn Sa’d Allah al-Bukari al-Dahlawi, Muqaddimah fi Usu al-Fiqh. (Beirut: Dar Bashair al-Islamiyyah, 1986 M/1406H), 33;
2. Al-Khatib (sebagaimana dikutip oleh Zainul Arifin, Studi Kitab hadits (Surabaya: Al-Muna, 2000), 5;
3. Muhammad Mahfud ibnu Abdillah al-Tirmidhi. Manhaj dhawi al-Nadar (Baerut: Dar al-Fikr, 1974);
4. Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah al-Ju’fiyyi al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (t.tp: Dar Tawq al-Najah), 6;
5. Ahmad ibn al-Husayn ibn ‘Ali al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra (Hayderabat: Majlis Dairah alMa’arif, al-Nidamiyyah al-Kainah, 1344 H), 291;
6. Ali ibn Khalaf ibn abd Malik ibn Batal, Sharkh Sahih al-Bukhari (Riyadh: Maktabh al-Rushdi), 352 juz 4;
7. ‘Itr, Ulumul hadits, 17;
8. Al-Bukhari, Sahih, 39;
9. Zainul Arifin, ibid,. 3; lihat: ‘Itr, Ulumul hadits, 16;
10. Ibid., 34;
11. Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqdi fi ‘Ulum al-Hadith. (Damskus: Dar al-Fikri, 1988/1408), 27;
12. Abbas Mutawali Hamadah, al-Sunnah an-Nabawiyah wa Makanatuhu fi Tashri’ (Kairo: Dar alQaumiyah), 23;
13. Al-Khatib, Usul, 19;
14. Mustafa al-Sib’i, al-Sunnah wa Makanatuhu fi Tashri’ al-Islami. (Kairo: Da>r al-Qaumiyah), 54. 
Lebih baru Lebih lama