Inspirator dakwah - KH. Ahmad Zainuri saat peresmian gedung Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Jember pertama tahun 1983. |
Kisah inspiratif dan mengharukan tokoh masa lalu dan masa kini yang berjuang di Muhammadiyah terus bermunculan menggugah 'ghirah' kita.
Tersebutlah Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jember era 80-an bernama KH Ahmad Zaenuri yang kemudian lebih familiar dengan sebutan, mbah Zen. Beliau adalah satu dari sekian banyak mujahid dakwah Muhammadiyah dengan tekad iman tauhid, istiqomah dan zuhud seperti layaknya tokoh nasional, Pak AR Fahrudin.
Mbah Zen, merupakan ketua PDM Jember yang memulai karir di Muhammadiyah sebagai muballigh muda, dari era kemerdekaan hingga menjadi ketua menggantikan Kyai Muhammad Fanan yang merupakan murid langsung Kyai Ahmad Dahlan.
KH. Ahmad Zainuri |
Usia Mbah Zen kala itu bukan remaja lagi, namun beliau masih mau mendatangi majelis ilmu penuh pahala dan barokah dengan memakai sepeda onthel dimana hal itu beliau lakukan di sebagian besar kehidupannya selama mendakwahkan Islam melalui Muhammadiyah di area karesidenan Besuki.
Setiap kali melakukan perjalanan untuk berdakwah di berbagai tempat termasuk Banyuwangi dan kota-kota sekitar Jember, beliau acapkali melakukannya sendiri dan tanpa pendamping meski usia sudah udzur.
Mbah Zen menuju Banyuwangi yang berjarak 120 kilometer dari desa Watukebo. Sangat dramatis karena disaat itu pula menjelang kelahiran putra ketujuh Mbah Zen yang bernama Abdul Muid.
Dan qadarulah, istri Mbah Zein memang waktunya melahirkan saat itu. Karena panik, warga desa Watukebo berinisiatif menyusul Mbah Zein yang sedang dalam perjalanan menuju Banyuwangi.
Memakai sepeda motor, warga desa tersebut mengejar Mbah Zen dan akhirnya bisa menemukan beliau di sekitar Gunung Gumitir yang jaraknya telah menempuh kurang lebih setengah perjalanan.
Warga desa yang menyusul Mbah Zen menceritakan kepada beliau bahwa sang istri akan melahirkan, dan menyarankan sebaiknya beliau ikut mendampingi istrinya melahirkan. Bagi orang kebanyakan, opsi yang paling mungkin adalah kembali dan menemani istri menyambut 'buah hati'. Namun mbah Zen tidak memilih opsi tersebut. Dia tetap 'keukeh' untuk melanjutkan perjalanan.
Dan Subhanallah, Mbah Zen dengan nada santun dan singkat hanya menjawab, "Carikan saja bidan atau dokter di dekat rumah supaya bisa segera dirawat. Keberadaan saya di rumah tidak ada gunanya, tidak ada pengaruh langsung terhadap kelahiran anakku."
Mbah Zen tidak mau ingkar atas janjinya yang telah bersedia hadir pada majelis ilmu di Banyuwangi tersebut.
"Aku tetap berdoa maring Gusti Allah agar istriku mendapat kelancaran dalam melahirkan," begitu penuturan Mbah Zen menurut salah satu kerabat.
Kemudian beliau dengan "onthel"-nya kembali melanjutkan perjalanan ke Kota Banyuwangi. Sedangkan kerabat yang menjemput kembali pulang ke desa Watukebo dan menyampaikan amanah Mbah Zen kepada sang Istri.
Alhamdulillah, Akhirnya mbah Zen dapat menghadiri pengajian di Kota Banyuwangi dan putra beliau yang ke-tujuh pun bisa lahir dengan selamat pula. Sungguh suatu teladan dari sekian kisah yang 'mungkin' sangat sulit untuk dijalani oleh generasi saat ini.
Betapa besarnya perjuangan beliau dalam mengemban misi dakwah, sehingga tak heran jika Universitas Muhammadiyah Jember mengabadikan nama KH. Ahmad Zainuri menjadi Gedung pertemuan utama.
Mbah Zen yang wafat pada tanggal 11 Maret 1999 dalam usia 82 tahun tersebut memberikan sebuah teladan, bahwasanya berdakwah menyebarkan agama Islam tidak hanya dalam "ucapan" namun lebih pada tindakan atau perbuatan. Terlebih bagi warga Muhammadiyah, yang suka atau tidak, mau atau tidak, hidupnya merupakan ladang amal untuk senantiasa melakukan gerakan pencerahan. Setidaknya dimulai dari diri sendiri, keluarga terdekat dan lingkungan sekitar. ● Maghfur
Kisah ini disampaikan oleh salah satu 'santri' KH. Ahmad Zainuri, Ir. Habib Ichsan, MP., LPCR PDM kab. Jember dalam acara "UpGrading Organisasi PDM Jember", SMPM Jember, 18 September 2016 M.