Kontemplasi: Dilema Simbol dan Substansi

Kontemplasi: Dilema Simbol dan Substansi
Dilema Simbol dan Substansi
Hilke Plassmann dari California Institut of Technology dan kawan-kawannya dari Stanford Graduate School of Bussiness1 telah melakukan penelitian pada 20 orang subjek dengan diberi 5 jenis anggur merah cabernet sauvignon yang sama, namun disajikan dengan kemasan yang berbeda dan diberi label harga yang juga berbeda. Maka tersaji pilihan seperti berikut :

1. Anggur 1 dengan label harga 5 dolar.
2. Anggur 2 dengan label harga 10 dolar.
3. Anggur 3 dengan label harga 35 dolar.
4. Anggur 4 dengan label harga 45 dolar.
5. Anggur 5 dengan label harga 90 dolar.

Subjek diberi tahu bahwa rasa kelima jenis anggur ini berbeda. Bagaimana hasilnya ? Setelah mencicipi dengan seksama, semua responden mengatakan makin mahal harga anggur, makin enak rasanya. Subjek lebih menyukai anggur yang harganya mahal karena menganggap bahwa anggur yang mahal akan lebih enak rasanya.

Seiring dengan aktivitas memilih dan mencicipi ini, para peneliti merekam aktivitas otak para subjek. Area otak corteks prefrontalis (CPF) yang paling bertanggung jawab terhadap rasa, dan area itu menunjukkan aktivitas bahwa anggur-anggur tersebut memang betul-betul berbeda dan rasanya berbeda. Kok bisa? Padahal semua anggur itu sebenarnya sama, berasal dari bahan dan jenis yang sama, dan rasanya juga sama. Hanya dibagi 5, dikemas dalam botol berbeda, dan diberi label harga yang berbeda, dan semua subjek menyatakan rasanya berbeda, bahkan makin mahal harganya, anggurnya makin terasa enak.

Ternyata CPF pun berpeluang ditipu dan dikecoh oleh kemasan, tampilan, label harga, dan atribut-atribut simbol itu.2

Dari hasil research itu muncullah strategi ekonomi, meski barang sama jika dikemas dengan cara berbeda, maka harganya pun bisa berbeda, bahkan bisa diarahkan atau ditentukan. Tidaklah barang di supermarket yang harganya lebih mahal itu, selalu lebih baik dan lebih enak dari yang di pasar tradisional.

Penulis beberapa kali menemukan fakta bahwa makanan yang sama justru jauh lebih enak di sebuah pasar tradisional dari pada di mall-mall. Pertanyaannya, sebenarnya yang dibeli itu apanya sih...? Rasanya atau Labelnya? Kebutuhannya atau gengsinya? Mengapa supermarket, mall, dan franchise tumbuh subur di Indonesia? Karena ternyata warga Indonesia cenderung konsumtif dan lebih suka pada simbol, merk, dan label dari pada substansinya. Maka kebangkitan ekonomi umat Islam Indonesia pasca aksi 212 dengan gagasan koperasi syari’ah misalnya harus difahamkan tentang dilema simbol dan substansi ini.

Bukan saja pada budaya atau tradisi, dalam agama pun simbol itu ada, substansi juga ada. Simbolnya menyembelih sapi atau kambing sebagai korban disaat Idul Adha, tapi substansinya sebenarnya adalah menyembelih hawa nafsu akan kecintaan pada duniawi atau materi yang berlebihan. Di Indonesia amat penuh dengan simbol-simbol yang membutuhkan pencermatan dan pemahaman makna substansi dibalik simbol-simbol itu.

Trikotomi Cliffort Geertz dalam Santri, Abangan, dan Priyayi merupakan bukti simbol itu ada. Idealnya, antara simbol harus selaras dengan substansinya. Antara kata harus sesuai dengan laku. Sayangnya, di Indonesia seringkali antara simbol tidak selaras dengan substansi. Antara kata bertolak belakang dengan laku.

Ada ORMASY Islam yang berkata dan mendengungkan toleran namun fakta prilakunya sering intoleran. Bahkan tidak sedikit antara penganut simbol justru konflik dengan panganut faham substansi. Dikotomi kelompok Islam tekstual yang selalu berseberangan dengan Islam Kontekstual bisa menjadi contoh nyata adanya friksi antara simbol dan substansi itu. Hilangnya 7 kata dalam Piagam Jakarta yang menyejarah itu juga tak luput dari perdebatan simbol dengan substansi.

Bagaimana jika memang simbolnya tidak sama dengan substansinya? Kaidah ushuliyah : ما لا يدرك كله لايترك كله “Apa-apa yang tidak bisa ditemukan semua, maka janganlah ditinggalkan semuanya”. Inginnya simbol sesuai dengan substansi dan bisa muncul bersamaan. Tapi jika faktanya kesulitan maka kaidah tersebut menganjurkan jangan ditinggal semua, tapi pilih salah satu. Hanya saja problemnya terletak pada manakah pilihan yang terbaik. Sebagian kalangan meyakini simbol itu yang utama, sehingga nama pun jika tidak seperti nama Arab tidak Islami.

Pakaian harus jubah, berjenggot dan celana harus diatas mata kaki, bahkan bercadar. Sementara kalangan satunya tidak menonjolkan itu semua, yang penting isinya sesuai dengan ajaran syari’at. Mungkin pakai sarung, dan blangkon, tapi sholatnya, hajinya dan puasa nya tetap sama. Justru dari sini Islam makin dinamis dengan lahirnya kaidah Maqoshidusy Syari’at (memahami metode tujuan dibalik pensyari’atan).

Sejatinya, saat di Arab dimana Islam itu lahir, Islam yang terartikulasi lewat turunnya wahyu berdialektika, dan merespon budaya. Karena itulah pemahaman asbabun nuzul dalam metode penafsiran Qur’an mutlak dipahami sebagai pencermatan sosio-historis, geografis, maupun antropologis dimana ayat itu pertama kali turun. Konsep Asbabun Nuzul merupakan potret Islam yang membaur dengan budaya.

Hanya saja, tinggal melihat budaya model apa yang berlangsung saat itu. Islam tidak segan-segan menghapus budaya yang destruktif, melakukan akulturasi atau internalisasi pada budaya yang tidak begitu menyimpang, bahkan mengadopsi dan mengukuhkan terhadap budaya yang konstruktif. Seiring dengan waktu, Islam pun menyebar sangat luas keluar dari kota kelahirannya yang memiliki budaya beragam dan amat berbeda dari budaya sebelumnya.

Membaur dengan budaya merupakan keniscayaan bagi pergumulan Islam. Pada faktanya Islam tidaklah anti budaya, bahkan justru menyebar dengan pendekatan budaya. Konsep Urf (العرف) lewat kaidah العادة محكمة (adat, budaya, tradisi bisa dijadikan landasan hukum) bisa menjadi argumentasi atas pergumulan Islam dengan budaya itu. Jadi, menjadi Islam tidak harus melepas budaya secara total. Menjadi Islam juga tidak harus persis tampilan Arab.

Disini lagi-lagi terjadi perdebatan antara faham simbol dengan substansi. Semua memiliki dalil argumentasinya sendiri-sendiri yang penting saling menghargai perbedaan penafsiran itu. Jangan mengklaim kebenaran dengan merasa penafsiran, faham dan kelompoknya sendiri yang paling benar kemudian menyalahkan yang lain. Celana diatas mata kaki dan berjenggot memang ajaran yang secara tekstual tercantum dalam hadis nabi, maka kita hargai mereka yang sudah sesuai sunnah secara simbolik itu.

Namun mereka yang celananya dibawah mata kaki (isbal) dan memotong jenggotnya juga perlu dihargai, karena mereka bukanlah menolak sunnah tetapi melakukan reintertpretasi terhadap sunnah agar relevan di setiap waktu dan tempat. Bukankah Islam itu صليح لكل زمان والمكان . Awalnya orang yang pakaiannya dibawah mata kaki bahkan sampai menyentuh tanah adalah representasi dari kesombongan. Maka Nabi menegur dan melarangnya.

Lantas bagaimana jika saat ini memakai celana dibawah mata kaki namun tetap rendah hati dan tanpa kesombongan? Sayangnya, seringkali kita temukan kelompok yang sudah memakai celana diatas mata kaki merasa paling benar karena sesuai dengan teks sunnah hingga tanpa sadar terjebak pada kesombongan yang menjadi substansi dilarangnya isbal tersebut. Jangan-jangan yang memakai celana diatas mata kaki itu yang dilarang oleh Nabi dan dimurkai Allah karena justru menjadi sombong dengan itu dan merendahkan serta menyalahkan yang lain.

Menurut hemat penulis, jubah, jenggot, celana diatas mata kaki, dan bercadar adalah bagian dari identitas dan ajaran Islam, tapi bukanlah satu-satunya ukuran ketaqwaan seseorang. Apalagi sarung, dan memakai songkok bukanlah ukuran paten ketaqwaan, itu adalah dinamika etis budaya saja. Jika jenggot menjadi ukuran ketaqwaan dan satu-satunya kunci syorga, maka sinterclause dalam mitologi kristen adalah yang paling bertaqwa dan berhak atas syorga, karena tak satupun sinterclause yang tidak berjenggot.

Jika yang memakai songkok itu cerminan yang paling bertaqwa, maka umat Hindu di India adalah yang paling bertaqwa, karena bukan saja agamawan, tapi militer India pun bersongkok. Jika memakai sarung menjadi ukuran yang paling bertaqwa, maka umat Budha di Myanmar yang telah membantai muslim Rohingnya itu justru yang paling bertaqwa, karena para Bhiksu dan agamawan disana selalu memakai sarung. Oleh karena itu, mari saling menghargai dan berdamai dengan sesama komunitas Muslim sendiri. Karena musuh sejati sedang bersatu dan menanti serta mempersiapkan segala strategi. jangan terjebak pada dilema simbol dan substansi.

Allah saja berfirman :

ليس البر ان تولوا وجوهكم قبل المشرق والمغرب ولكن البر من امن بالله واليوم الأخر والملائكة والكتاب والنبيين واتى المال على حبه ذوي القربى واليتامى والمساكين وابن السبيل والسائلين وفي الرقاب واقام الصلاة واتى الزكاة والموفون بعهدهم اذا عاهدوا والصابرين في البأساء والضراء وحين البأس. أولئك الذين صدقوا وأولئك هم المتقون

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Baqoroh : 177).

Teramat jelas bahwa ketaqwaan bukan pada menghadap ke arah timur atau barat. Ketaqwaan bukan hanyak lipstik yang simbolik semata. Tapi ayat diatas menjabarkan sebenar-benar taqwa adalah norma-norma yang substansial. Seringkali kita menyaksikan ada tokoh agama yang amat kaya, bahkan seakan aset kekayaan keluarganya sudah menjadi corporasi dinasti.

Namun di sekitarnya, dekat lingkungannya masih ada ketimpangan dan kemniskinan, banyak anak-anak yatim dan terlantar. Banyak orang yang tertipu dengan simbol-simbol dimana simbol-simbol itu dianggap sebagai ukuran ketaqwaan seseorang. Jika merujuk pada Q.S. Al-Ma’un, jangan-jangan tokoh agama itulah pendusta agama, bahkan menjadi penghancur agama karena justru agama dijadikan alat mengeruk keuntungan. Fenomena kapitalisasi agama cukup marak dan efektif berkembang di Indonesia karena masyarakatnya sedang sakit dan mudah dibodohi.

Maka harus ada gerakan pencerdasan dan pencerahan, atau gerakan Tanwir dalam istilah etimologis Arabnya. Dan yang lebih penting, penulis mengucapkan beribu maaf pada semua pihak yang mungkin tersinggung dengan tulisan ini. Sungguh, bukan maksud hati menyinggung, justru ingin membuka mata hati atas dilema ini. Semoga tidak terjadi lagi bentuk-bentuk kemunafikan sosial di Negeri pertiwi.

Ditulis Oleh:
Idris Mahmudi, A.Md.Kep, M.Pd.I
Dosen AIK Universitas Muhammadiyah Jember

Footnote:
1). Mereka adalah sekelompok ilmuwan yang memadukan neurosains, psikologi, dan ekonomi, seperti halnya Daniel Kahneman, seorang psikolog yang memenangkan hadiah nobel ekonomi, dan intens mengenalkan disiplin neuroekonomi.
2). Lihat Pasiak, Taufiq. Tuhan Dalam Otak Manusia, Mizan, 2012. Bandung. Hal. 82-83.
Lebih baru Lebih lama