Mubaligh Kala Pandemi Corona


Wabah Coronavirus Disease 2019 atau COVID-19 telah mengubah tata kehidupan umat manusia. Tak peduli pejabat atau rakyat biasa, miskin atau kaya, jika tidak berubah pola hidupnya, semua berpeluang terkena dampaknya.

Seruan untuk mencegah penyebaran virus Corona dengan melakukan aktivitas dari rumah, mengakibatkan gedung-gedung perkantoran, perhotelan, tempat hiburan, sekolahan, kampus dan rumah ibadah serta pusat-pusat perdagangan sepi kegiatannya.

Sebagian masyarakat langsung beradaptasi menjalani kegiatan dari rumah dengan segala tantangannya. Tapi sebagian lainnya bingung tak tahu apa yang harus dikerjakan selain meratapi nasib sebagai pengangguran tiba-tiba.

Termasuk sejumlah mubaligh dan ustadz yang menggantungkan maisyah pada honor ngaji atau ceramah. Seperti tercermin dari pesan yang dikirim ke takmir masjid melalui WA (WhatsApp):

Shalat Jum'at ditiadakan...
Kajian-kajian ditiadakan...
Taushiyah Tarwih ditiadakan...
Kuliah Subuh ditiadakan...

Listrik PLN tetap bayar...
Air PDAM tetap bayar...
Biaya pendidikan anak harus lunas...
Ongkos kebutuhan hidup naik...

Pedulikah kamu dengan ustadzmu...
Yang hanya menjadi ustadz...?

Padahal nasib takmir setali tiga uang dengan mubalighnya. Gegara kegiatan masjid tiada, matilah sumber dananya. Mereka kesulitan biaya operasionalnya.

Kalau masih ada yang bergembira, karena saldo tabungannya masih ada. Tapi lebih banyak yang mengeluh setengah putus asa. "Situasi seperti ini kapan berakhirnya?"

Nah, daripada terus mengeluh tiada ujungnya, lebih baik menyiapkan diri menghadapi situasi normal baru secara seksama. Pengajian misalnya, bisa dilakukan secara online menggunakan media zoom meeting atau sejenisnya.

Saya sudah mencoba efektifitasnya. Setelah tahu banyak jamaah mengikutinya, takmir yang sempat ragu pun antusias menyambutnya. Sebagai media, untuk menyapa kembali jamaah yang telah hilang lama.

Jika banyak jamaah bisa mengakses kegiatan dari rumah, sumber dana yang sempat mampet insya allah akan mengalir kembali seperti semula. Pada gilirannya, sang mubaligh akan memperoleh apa yang sempat hilang darinya.

Ujian Kepemimpinan
Darurat Corona, berguna pula sebagai ujian kepemimpinan. Di tengah situasi krisis para pemimpin akan terlihat seberapa mampu leadership-nya menyelesaikan masalah.

Jika sukses menggerakkan, mengkoordinasikan, mengarahkan dan memberikan keteladanan kepada yang dipimpinnya, berarti pemimpin beneran bukan seolah-olah.

Di Muhammadiyah, situasi krisis berguna untuk menguji ketangguhan pimpinan dalam menghadapi tekanan dari berbagai arah. Juga momen pembuktian kreativitasnya dalam menggerakkan organisasi dan sumberdaya yang tersedia.

Aneka cara mesti diupayakan agar organisasi tetap bergerak seperti semula. Tidak boleh terhenti apapun sebabnya. Pertemuan dan pengajian yang biasanya secara tatap muka, bisa menggunakan aplikasi online sehingga menjangkau jamaah di mana pun berada.

Lazimnya dalam situasi krisis ada anggota yang potensial menyimpang dari kebijakan pimpinan di atasnya, cepat dikonsolidasikan dan diarahkan untuk kembali pada khittah-nya. Pun ketika ada penggalangan dana solidaritas bersama, selalu jadi penyumbang pertama. Bukan mengeluh di hadapan anggota.

Kepiawaian pemimpin Muhammadiyah, kembali diuji pada momentum penyelenggaraan shalat Idul Fitri 1441 Hijriyah. Seiring terbitnya Edaran PP Nomor 04/EDR/I.o/E/2020 tertanggal 14 Mei 2020, tentang tuntunan shalat Idul Fitri dalam kondisi darurat pandemi corona.

Intinya, untuk menghindari penyebaran virus Corona yang membahayakan sesama, umat Islam diminta shalat Idul Fitri di rumah. "Kami minta di lingkungan Muhammadiyah memedomani keputusan ini dalam satu barisan yang kokoh," seru Haedar Nashir.

Memedomani tuntunan ini, lanjutnya, merupakan wujud mengikuti garis kebijakan organisasi agar berada dalam satu barisan yang kokoh sebagaimana perintah surat ash-Shaff ayat 4.

Diingatkan pula, di tengah situasi darurat seperti ini agar menjauhi perdebatan dan saling sengketa. "Muhammadiyah harus jadi pemberi solusi yang meringankan masalah umat dan bangsa di saat musibah," pesannya.

Kalau tidak bisa meringankan beban, jangan malah memberatkan umat dan bangsa. "Bagi daerah yang masih merasa aman, justru perlu kehati-hatian, agar rantai penularan tidak terjadi. Kewajiban kita ikhtiar dan tawakal," ujarnya.

Pertanyaannya, akankah semua lulus dengan sempurna? Semoga!

(Ditulis oleh Najib Hamid dan dimuat di MATAN edisi 167/Juni 2020)
Lebih baru Lebih lama