MUHAMMADIYAH DI PERSIMPANGAN JALAN
oleh
Idris
Mahmudi, Amd.Kep; M.Pd.I.[1]
No. HP : 081336385486
1. Latar Belakang
Sejak 1980-an, perkembangan Islam di
Indonesia ditandai oleh munculnya fenomena menguatnya religiusitas umat Islam.
Fenomena yang sering ditengarai sebagai kebangkitan Islam (Islamic
revivalisme) ini muncul dalam bentuk meningkatnya kegiatan peribadatan,
menjamurnya pengajian, merebaknya busana yang islami (jilbab besar atau cadar)[2],
munculnya lembaga ekonomi Islam (bank Syariah), islamisasi hukum keluarga (UU
Perkawinan), menguatnya warna keagamaan dalam sistem pendidikan (UU Pendidikan
Nasional), fenomena “ijo royo-royo” di parlemen dan birokrasi, dipakainya
simbol-simbol Islam dalam acara kenegaraan,[3]
serta munculnya partai-partai yang memakai platform Islam. Fenomena mutakhir
adalah dengan menguatnya tuntutan formalisasi Syariat Islam dalam negara,
bahkan gerakan demonstrasi 212 yang terpicu akibat penistaan agama oleh Basuki
Cahaya Purnama (Ahok) dituding oleh rezim sebagai dimotori oleh kepentingan
politik Islam
radikal.
Pasca reformasi 1998, kebangkitan
Islam juga ditandai oleh munculnya aktor gerakan Islam baru. Aktor baru ini
berbeda dengan aktor gerakan Islam yang lama, seperti NU, Muhammadiyah, Persis,
Al-Irsyad, Al-Washliyah, Jama’at Khair, dan sebagainya. Bahkan secara umum, awalnya umat Indonesia
hanya bisa menyebut NU dan Muhammadiyah sebagai mainstream utama. Keran
keterbukaan membuat faham-faham gerakan dan ideologi trans-nasional utamanya
yang berasal dari Timur Tengah mulai menampakkan kelahirannya di bumi
Indonesia. Gerakan mereka berada di luar kerangka mainstream. Fenomena
munculnya aktor baru ini sering disebut “gerakan Islam Baru” (new Islamic
movement). Gerakan dakwah yang dimotori kalangan mahasiswa melalui gerakan
dakwah kampus di berbagai Perguruan Tinggi Umum (PTU) dengan metode “usroh”
ini merupakan cikal bakal dari lahirnya 3 gerakan Islam baru yang menonjol,
yakni Tarbiyah (yang kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera), Hizbut Tahrir
Indonesia, dan Dakwah Salafi. Organisasi-organisasi baru inilah yang menjadi
aktor utama revivalisme Islam di Indonesia kontemporer.
Organisasi-organisasi yang sering
disebut “gerakan Islam Baru” (new Islamic movement) ini dapat dilacak
asal-muasal pemikirannya dari berbagai organisasi gerakan Islam di Timur
Tengah. Gerakan Tarbiyah pemikirannya sangat dekat dengan Ikhwanul Muslimin
(IM), bahkan menyebut dirinya “anak ideologis” IM di Mesir. Hizbut Tahrir
Indonesia secara resmi merupakan cabang dari Hizbut Tahrir Internasional yang
berpusat di Yordania.[4]
Sedangkan dakwah Salafi termasuk di dalamnya Lasykar Jihad adalah himpunan dari
para aktivis dakwah Salafi yang berjejaring dengan gerakan Salafi di Timur
Tengah, khususnya Arab Saudi dan Kuwait.[5]
Bassam Tibi dalam berbagai tulisannya mengkategorikan kelompok-kelompok
keagamaan tersebut sebagai kelompok gerakan Islam fundamentalis. Mereka
merupakan komunitas muslim yang kecewa terhadap kemajuan barat, sehingga
menurut perspektif mereka perlu kekuatan politik Islam untuk melawannya. Politik
Islam dianggap mampu mengembalikan kejayaan Islam di masa kekhalifahan Turki
Usmani. Kelompok Islam fundamentalis memiliki cara pandang keagamaan yang kaku,
literalis dan tertutup. Dalam sikap keseharian, aktivisnya mudah menyalahkan
penafsiran orang lain. Kebenaran dianggap mutlak datang dari hasil pemikirannya
dan menolak pendapat yang berbeda dari kelompoknya. Tak pelak, bila cara
pandang yang demikian ini mudah menimbulkan klaim sepihak dan akhirnya
memunculkan aksi kekerasan. Dalam bukunya “The Challange of Fundamentalism:
Political Islam and the New World Disorder” Bassam Tibi secara luas
menangkap gerakan Islam fundamentalis sebagai penyebab kekacauan dunia modern.
Ia menegaskan, kemunculan gerakan-gerakan ini semakin memperparah benturan
peradaban sebagaimana yang dikemukakan Samuel P. Huntington.[6] Kaum
fundamentalis sering membangun klaim kebenaran mutlak berdasarkan logika yang
tidak mengindahkan penyelidikan kritis. Waspadalah terhadap segala gerakan
keagamaan yang berusaha membatasi kebebasan intelektual dan integritas individu
pengikutnya. Ketika para penganut individual mengabaikan tanggung jawab pribadi
dan mengabdi pada otoritas pemimpin karismatik atau diperbudak oleh gagasan
atau ajaran tertentu, maka agama / ajaran / aliran itu dapat dengan mudah
menjadi kerangka bagi kekerasan dan kerusakan.[7]
John L. Esposito[8] menilai
penyebutan “fundamentalis” bagi sejumlah gerakan ini sangat berlebihan, karena
“fundamentalisme” sendiri sangat dekat dengan “radikalisme” serta kelahirannya
berasal dari agama Kristen sebagai umat beragama yang punya ciri literalis,
statis, dan ekstrim.[9] Yusril
Ihza Mahendra dalam disertasinya menyatakan bahwa istilah modernisme dan
fundamentalisme mengandung beberapa masalah dan bahkan kontroversial.
Modernisme dan fundamentalisme adalah istilah yang acapkali digunakan secara
tidak seimbang dan jauh dari sikap netral. Gejala seperti itu memang bisa saja
terjadi, jika pihak yang menggunakannya berada dalam suatu posisi yang
berseberangan dengan pihak lainnya. tokoh-tokoh yang biasa digolongkan
“modernis” dan “neo-modernis” menggunakan istilah “fundamentalisme” dengan nada
yang berbau sinisme. Fazlur Rahman misalnya, menyebut kaum fundamentalis
sebagai “orang-orang yang dangkal dan superfisial, anti intelektual, dan
pemikirannya tidak bersumberkan kepada Al-Qur’an dan budaya intelektual
tradisional Islam”. Bagi Nurcholish, fundamentalisme menyebarkan
gagasan-gagasan yang “palsu dan bersifat menipu”. Di masa sekarang, menurutnya,
fundamentalisme telah menjadi “sumber kekacauan dan penyakit mental” yang baru
dalam masyarakat. Akibat-akibat yang ditimbulkannya jauh lebih buruk
dibandingkan dengan masalah-masalah sosial yang sudah ada seperti kecanduan
minuman keras dan penyalahgunaan narkoba. Menurut Allan Taylor, kaum
fundamentalis adalah kelompok yang melakukan pendekatan konservatif dalam
melakukan reformasi keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan pemurnian
doktrin. Bagi Patrick Bannerman, kaum fundamentalis adalah kelompok ortodoks
yang bercorak rigid dan ta’ashub. Daniel Pipes menyebut kaum
fundamentalis sebagai “kaum legalis yang konservatif”.
Akibat istilah yang digunakan oleh media massa, secara sederhana pengertian
“kaum fundamentalis muslim” kini cenderung diartikan sebagai kelompok Islam
yang berjuang mencapai tujuannya dengan menggunakan cara-cara kekerasan.
Fundamentalisme Islam bagi media massa Barat tidak lain berarti “Islam yang
kejam”, “Islam yang terbelakang” dan sejenisnya. Lebih jauh lagi, istilah
“fundamentalisme Islam” sering pula dimanipulasi sedemikian rupa untuk
memojokkan gerakan-gerakan Islam yang secara sadar berjuang untuk menentang
dominasi politik dan kultural Barat di negeri mereka masing-masing. Pemerintah
Indonesia sendiri secara khusus menggunakan istilah “ekstrim kanan” untuk
menyebut kaum fundamentalis. Kelompok ini dituduh ingin mengganti “negara
pancasila” dengan “negara Islam”.[10]
Disertasi dari Kasinyo Harto yang berjudul “Islam Fundamentalis di
Perguruan Tinggi Umum: Kasus Gerakan keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya
Palembang” menemukan keberadaan Harakah Tarbiyah, Salafi, HTI dan Jamaah
Tabligh. Ia memetakan tipologi gerakannya menjadi 4 jenis, yakni Hizbut Tahrir
masuk pada kategori tipologi pemikiran yang bercorak fundamentalis-radikal,
gerakan Tarbiyah masuk pada tipologi pemikiran yang bercorak
fundamentalis-rasional, Salafi lebih bercirikan pada keagamaan
fundamentalis-literal, dan gerakan Jamaah Tabligh cenderung
fundamentalis-tradisional. Ke-4 tipologi itu berbeda dengan model organisasi
mainstream NU dan Muhammadiyah. NU (Nahdlatul Ulama) dikenal sebagai organisasi
yang berhalauan “tradisional”.[11] Namun
demikian, menurut Sitompul (1989 : 76), ia juga mampu bersikap radikal terutama
apabila dirasakan perkembangan di luar dirinya mengancam keberadaannya sebagai
golongan tradisional. Karena alasan yang sama, setelah menyaksikan secara
langsung tradisi pemikiran NU pada Muktamar ke-26 tahun 1979, melalui
tulisannya “The Radical Traditionalism of the Nahdlatul Ulama in Indonesia”,
Nakamura (1996 : 68-94) akhirnya menjuluki organisasi para ulama ini sebagai
“tradisonalisme radikal”. Dalam pandangan Latif dan Haryono (2001 : 6), sikap
dan watak kiai umumnya tidak menggambarkan seorang demokrat sejati. Seperti
ditemukannya pada sejumlah kiai di Jawa Timur, watak “asli” elite NU
sesungguhnya lebih bersifat emosional, pemarah, dan bahkan oportunis.[12] Maka
fenomena oknum Banser yang membakar bendera bertulis kalimat Tauhid (yang
awalnya dianggap sebagai representasi dari bendera HTI) di Jawa Barat pada
peringatan Hari Santri Nasional (HSN), Senin, 22 Oktober 2018 merupakan salah
satu contoh sifat emosional, atau pemarah dari wajah “tradisonalisme radikal”
itu. HTI dianggap sebagai ancaman bagi NU, selain konsep Khilafah yang
bertentangan dengan ide kultural NU, seringkali aktivis HTI menggaet kader-kader
NU sehingga memungkinkan terjadinya friksi.
Sementara,
Muhammadiyah dikenal dan dikelompokkan sebagai organisasi “modernis”. Bagi
Mukti Ali, modernisme adalah paham yang bertujuan untuk memurnikan Islam dengan
cara mengajak umat Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, dan
mendorong kebebasan berfikir sepanjang tidak bertentangan dengan teks Al-Qur’an
dan hadis yang shohih. Oleh karena itu wajar jika Muhammadiyah kemudian dikenal
dengan organisasi modernis, organisasi pembaharu (Tajdid) namun pada
saat yang sama sebagai gerakan pemurnian (purifikasi / Tajrid) yang
berslogan الرجوع إلى القرأن والسنة (kembali pada semangat ajaran Al-Qur’an
dan Hadis / Sunnah Nabi SAW). Istilah Tajrid tidak sepopuler istilah Tajdid.
Istilah ini dipopulerkan oleh Prof. Dr. Din Syamsuddin, M.A. ketua PP
Muhammadiyah periode tahun 2005-2015 melalui bukunya “Muhammadiyah Untuk
Semua”. Dikatakan bahwa Muhammadiyah berada antara Tajrid dan Tajdid.
Dalam ibadah Tajrid, hanya ikut Nabi SAW dan tidak ada pembaharuan,
sedang dalam muamalah Tajdid, yakni melakukan modernisasi dan
pembaharuan.[13] Kaum modernis berusaha
menggalakkan ijtihad dan membedakan doktrin ke dalam 2 bidang, yaitu ibadah dan
muamalah. Dalam bidang ibadah, semua peraturannya telah diperinci oleh
syari’ah, sehingga tidak ada lagi “kreativitas” dalam bidang ini. Dalam bidang
muamalah, syari’ah hanya memberikan “prinsip-prinsip umum” disamping menetapkan
hudud (batas-batas) yang tidak boleh dilampaui. Dalam bidang mu’amalah
ini, kaum modernis berpendapat bahwa “kreativitas” harus didorong. Mereka
berdalih bahwa tanpa ijtihad (kreativitas), Islam akan kehilangan relevansinya
dengan zaman.[14]
Label tradisionalis pada NU dan
modernis pada Muhammadiyah ternyata tidaklah stagnan, ia amat dinamis bahkan
saat ini seperti gerak pendulum. Pada tahun 1970, Nurcholish Madjid melihat
bahwa Muhammadiyah sudah tidak lagi menjadi organisasi pembaharu sebagaimana
klaim awalnya. Orang-orang di luar NU sendiri tak jarang merasa terkejut dengan
dinamika kelompok pembaharu (di tubuh NU), karena telah melangkah jauh lebih
maju bila dibandingkan dengan potret tradisionalnya tadi. Abdul Munir Mulkhan,
seorang tokoh Muhammadiyah asal Yogyakarta, misalnya, bahkan melihat lompatan
jauh pembaharuan yang dilakukan oleh anak-anak muda NU melampaui dinamika yang
ada dalam kelompok Islam yang sudah sejak awal memperoleh label sebagai
pembaharu.[15] Gejala pembaharuan justru nampak pada Nahdlatul Ulama (NU), tapi organisasi
inipun bersikap setengah hati dalam pembaharuan. Sehingga kesimpulannya, 2
organisasi arus utama (mainstream) terbesar itu sudah menjadi kubu konservatif
dan tidak mampu merespon tantangan-tantangan zaman. Bahkan, dengan misi
purifikasinya, Muhammadiyah ingin kembali kemasa Salaf, 3 generasi sesudah
zaman Nabi.[16] Jika demikian, maka
Muhammadiyah bukan lagi “Islam Berkemajuan”, namun justru menjadi “Islam
Berkemunduran”. Gejala ini juga dirasakan oleh Dr. Haedar Nashir ketua PP
Muhammadiyah periode tahun 2015-2020 dalam kata pengantar buku karyanya : “Demikian
pula masih dijumpai sebagian kalangan yang hanya menekankan misi pemurnian
(purifikasi, tandhif) dari Muhammadiyah, dengan melupakan atau mengabaikan misi
pembaharuan (Tajdid, dinamisasi). Dalam memahami Islam juga lebih menekankan
pendekatan bayani (harfiah-tekstual) semata, kurang atau tidak disertai dengan
pendekatan burhani (rasional-kontekstual) dan irfani (intuitif-spiritual)
sebagaimana diputuskan Muktamar ke-44 tahun 2000 dan Munas Tarjih”.[17]
Penelitian yang
dilakukan oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif
Hidayatulloh Jakarta dengan laporan buku bertajuk “Benih-benih Islam Radikal di
Masjid: Studi Kasus Jakarta dan Solo” pada rentang 2008-2009 berhasil memetakan
varian ideologi Islam yang berinfiltrasi ke masjid-masjid di sekitar Jakarta
dan Solo. Penemuan CSRC ini membuat kaget masyarakat dimana pasca jatuhnya
rezim Orde Baru banyak kelompok Islam garis keras yang bermunculan di berbagai
masjid di pedesaan dan perkotaan. Noorhaidi menjelaskan, secara tidak terduga
ruang publik dipertontonkan dengan munculnya beberapa pemuda berjenggot (lihyah)
dengan jubah (jalabiyah / imamah) dan celana tanggung diatas mata kaki (isbal),
maupun perempuan-perempuan dengan baju hitam dan penutup muka (niqob).
Keberadaan kelompok ini memunculkan varian Islam baru yang kaku (rigid)
dalam upayanya melakukan pemurnian (purifikasi) tauhid serta membentuk
klaster-klaster tersendiri.[18]
Simbol-simbol yang dikenakan gerakan fundamental itu mengingatkan publik
Indonesia akan memori hitam “aksi-aksi terorisme” atas nama agama dengan
berbagai peledakan bom bunuh diri terutama “tiga serangkai” (Amrozi CS) di Bali
dan disusul oleh “aksi-aksi” di tempat lain. Memori hitam itu akhirnya
menghapus laporan Time dan Newsweek yang menggambarkan Indonesia sebagai negara
muslim dengan wajah yang ramah (Islam with a smiling face).[19]
Gerakan-gerakan
yang secara geneologis dari Timur Tengah itu tentunya juga berdakwah dan
bergerak secara militan untuk mencari pengikut yang dijadikan kader-kader.
Massa dan simpatisan dari Muhammadiyah maupun NU inilah yang kebanyakan disasar
gerakan dakwah fundamentalis ini. Dengan watak taqlid, ekslusif dan
tradisional-kulturalnya, NU justru lebih selamat baik massa maupun
fasilitas-fasilitasnya dari sasaran gerakan dakwah fundamentalis ini. Lain
halnya dengan Muhammadiyah, sikap toleran dan keterbukaan yang tinggi justru
membuat massanya tanpa sadar masuk gerakan dakwah fundamentalis asal Timur
Tengah tersebut. Dari 4 gerakan fundamentalis versi Kasinyo Harto tersebut (Harakah Tarbiyah, Salafi, HTI dan Jamaah Tabligh),
nampaknya hanya Jamaah Tabligh yang sulit bahkan tidak mungkin diterima oleh massa
/ simpatisan Muhammadiyah. Hal ini karena aspek sufistik dan nalar spiritual
Jama’ah Tabligh masih terjerat bid’ah, beraroma mistik sehingga tidak cocok
dengan alam pikir Muhammadiyah yang kontekstual-rasional. HTI setelah
dibubarkan cukup mampu dibaca oleh simpatisan Muhammadiyah bahwa HTI tidaklah
sama dengan Muhammadiyah dan membuat beberapa orang Muhammadiyah “kembali
pulang” ke rumah Muhammadiyah. Gerakan dalam selimut yang menyerang massa
Muhammadiyah, bahkan cukup berhasil menggunakan / menguasai masjid-masjid
Muhammadiyah adalah gerakan Tarbiyah. Banyak warga Muhammadiyah yang berpisah
jalan menuju gerakan Tarbiyah namun tetap merasa bermuhammadiyah. “Murtadin
Muhammadiyah” ini merasa masih bermuhammadiyah dan berdakwah di amal usaha
Muhammadiyah, namun substansi dakwahnya justru menyebar ideologi Tarbiyah.
Haedar Nashir saat menjabat Sekretaris Umum PP Muhammadiyah sempat mengeluarkan
buku berjudul “Manifesto Gerakan Tarbiyah” untuk menangkal infiltrasi ideologi
ini. Bahkan di eranya lahirlah SK PP Muhammadiyah nomer 149 yang memberi garis
tegas antara Muhammadiyah dengan gerak dakwah Tarbiyah.
Kesehatan dan imunitas ideologi warga Muhammadiyah
terhadap gerakan Tarbiyah mulai pulih meski masih ada yang merasa nyaman
tinggal dan berdakwah disana. Kini infiltrasi baru muncul dari gerakan Salafi.
Sifat Tajrid atau purifikasi Muhammadiyah menjadi titik temu sekaligus
awal dari titik persimpangan jalan bagi warga Muhammadiyah menuju gerakan
Salafi ini. Banyak warga Muhammadiyah yang tidak sadar bahkan mengalami “rabun
ideologis” sehingga menganggap tidak ada beda antara Muhammadiyah dengan
Salafi. Kasus itu persis yang dialami mahasiswi PRODI Matematika UM Jember, dan
beberapa simpatisan bahkan tokoh Muhammadiyah yang militan di Salafi namun
mengaku Muhammadiyah karena dianggap sama. Dari sinilah muncul anggapan bahwa
Muhammadiyah itu Wahabi nya Indonesia. Betulkah Muhammadiyah itu Wahabi ?
Betulkan Muhammadiyah itu sama dengan Salafi ? Kapankah atau seperti apakah
garis batas demarkasi antara Muhammadiyah dengan ideologi-ideologi gerakan
dakwah Timur Tengah ? Bagaimanakah ideologi-ideologi gerakan dakwah Timur
Tengah itu bisa memasuki Muhammadiyah ? dan Bagaimana menangkal / membentengi
warga Muhammadiyah dari ideologi-ideologi gerakan dakwah Timur Tengah itu ?
Sekilas tulisan ini akan mencoba memaparkan dan memberi solusi.
2. Betulkah Muhammadiyah itu Wahabi ?
Wahabi diartikan
sebagai orang-orang atau kelompok yang mengikuti faham pemikiran Muhammad Bin
Abdul Wahhab. Muhammad Bin Abdul Wahhab dan para pengikut-pengikut awal sendiri
menamakan gerakan mereka sebagai muwahhidun (موحد) yang diartikan sebagai gerakan pemurnian
tauhid, atau salafi (سلفي) yang bermaksud sebagai generasi lampau yang mengikuti Nabi
muhammad SAW atau Ahlul Hadis. Biasanya golongan ini merujuk pada 3 generasi
pertama yang disebut sebagai generasi Sahabat, generasi Tabi’in, dan generasi
Tabi’it-Tabi’in. Tidak ada istilah Wahabi yang muncul ketika itu. Penulis
menduga bahwa istilah Wahabi itu sengaja dimunculkan oleh orang-orang
orientalis untuk menstigmakan negatif gerakan Salafi ini.
Madzhab Salafi
secara historis telah muncul pertama pada abad ke-4 H. Mereka adalah terdiri
dari para ulama Hanabilah, para pengikut Ahmad bin Hanbal (w. 241 H / 855 M)
yang ingin melakukan revitalisasi akidah ulama Salaf dan berusaha menolak paham
lainnya. Selanjutnya paham ini muncul kembali pada abad ke-7 H oleh Ibnu
Taimiyah (w. 729 H / 1329 M). Selanjutnya pada abad ke-12 H pemikiran serupa
muncul kembali di jazirah Arab dihidupkan oleh Muhammad Bin Abdul Wahhab yang
kemudian dalam sejarah dikenal dengan sebutan gerakan Wahabiyah. Sebagai
sandaran legitimasi adanya kewenangan dan otoritas relegius pada 3 generasi
umat Islam tersebut, kaum Salafi merujuk Q.S. At-Taubah : 100 berikut :
والسابقون
الأولون من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان رضي الله عنهم ورضوا عنه
وأعد لهم جنات تجري تحتها الأنهار خالدين فيها أبدا ذلك الفوز العظيم
“Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin
dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho
kepada mereka dan mereka pun ridho kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi
mereka syorga-syorga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Inilah kemenangan yang besar”.
Dengan ayat ini,
kaum Salafi bermaksud mengatakan bahwa kaum Salafi itu seluruh perkataan dan
tingkah lakunya mendapat perkenan di sisi Tuhan, jadi mereka semua adalah
golongan yang berotoritas dan berwenang. Itulah sebabnya kaum Salafi
beranggapan mempunyai otoritas dan wewenang dalam menjelaskan ajaran Islam
sehingga layak dijadikan rujukan dalam memahami aqidah Islam. Inilah awal klaim
otoritas kebenaran dari kelompok Salafi.
Dalam wajah yang
ekstrim klaim kebenaran ini mengingatkan kita pada kaum Khowarij yang dalam
penggalan sejarah melahirkan Ibnu Muljam yang merasa paling benar dan membunuh
Ali bin Abi Tholib sahabat sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW. Jika dibiarkan,
pikiran ekslusif, fanatik dan ekstrim ini pada titik tertentu akan menimbulkan
anarkisme, dan fakta sejarah membuktikan itu. Klaim bahwa 3 generasi pertama
adalah yang terbaik belumlah final, bahkan munculnya aliran-aliran pemikiran
dalam Islam yang akhirnya saling friksi itu terjadi karenanya. Syi’ah,
Murji’ah, Khowarij, Mu’tazilah, Qodariyah, Jabariyah, maupun Asy’ariyah adalah
anak kandung dari polemik peradaban Islam tersebut. Hal itu bisa terjadi karena
menurut Nurcholish Madjid, disinyalir masih memiliki problem krusial jika
dihadapkan pada tingkat pribadi-pribadi para sahabat secara lebih mendalam,
tidak sepenuhnya mereka terbebas dari segi-segi kekurangan. Meski pada kaidah
hadis dalam tataran thobaqot sahabat muncul asas كل صحابة عدل (semua
sahabat adalah baik dan diterima riwayat hadisnya). Lantas bagaimana dengan
Syi’ah, yang hanya menerima integritas Ali bin Abi Tholib saja serta generasi
temurunnya, bahkan 3 sahabat sebelumnya (Abu Bakar, Umar dan Usman) ditolaknya
karena dianggap perampas otoritas Imamah yang telah “diwasiyatkan”. Lantas
pertanyaannya, siapakah generasi Salaf itu ? siapakah yang diridloi dalam ayat
100 dari surat At-Taubah itu ? Inilah awalnya sebagai problem politis yang
kemudian ditarik ke wilayah teologis dan akhirnya merembet menjadi klaim
ideologis.
Metode berpikir
Salafi sebagaimana dijelaskan oleh Zurkani Jahja, adalah metode berpikir yang
berpegang teguh pada teks-teks wahyu secara harfiah. Kaum Salafi sebagai
kelompok teolog Muslim yang paling minimal menggunakan akal dalam berfikirnya.
Akal hanya menjadi bukti, bukan pembuat keputusan. Akal hanya menjadi penegas
dan penguat wahyu, bukan pembatal dan penolak, posisi akal lebih sebagai
penjelas dalil-dalil yang terkandung dalam Al-Qur’an. Mereka memposisikan akal
berjalan di belakang Naql.[20]
Dalam Tarikh Tasyri’, madzhab Maliki dan Hanbali dikenal sebagai pengembang
metode tekstual (madzhab ahlul hadis). Dalam antologi madzhab, kelompok ini
merupakan lingkaran ke-2 dari 5 lingkaran madzhab lain. Doktrin mereka, “Hadis
dhoif harus lebih diprioritaskan dari pada rasio atau akal”.[21]
Sementara, dalam mendefinisikan agama Muhammadiyah menyatakan :
الدين (اي
الدين الاسلامي) الذي جاء به محمد" صعس" هو ما انزله الله في القران وما
جاءت به السنة الصحيحة من الأوامر والنواهي والإرشادات لصلاح العباد دنياهم
واخراهم
“Agama yakni
agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ialah apa yang diturunkan di
dalam Al-Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shohih, berupa
perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia
di dunia dan akhirat”.[22]
Dalam definisi ini
secara eksplisit disebutkan bahwa yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk
merekonstruksi ajaran agama Islam menurut Muhammadiyah hanyalah Al-Qur’an dan
Sunnah Shohihah. Sunnah-sunnah atau hadis Dhoif tidak dapat dijadikan dasar.[23]
Bahkan lebih jauh Muhammadiyah menyatakan :
ومتى استدعت
الظروف عند مواجهة امور وقعت ودعت الحاجة الى العمل بها وليست هي من امور العبادات
المحضة ولم يرد في حكمها نص صريح من القرأن او السنة الصحيحة، فالوصول الى معرفة
حكمها عن طريق الإجتهاد والإستنباط من النصوص الواردة على اساس تساوى العلل كما
جرى عليه العمل عند علماء السلف والخلف
“Bahwa dimana perlu
dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk
diamalkannya mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ibadah mahdhoh
padahal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash shorih di dalam Al-Qur’an atau
sunnah shohihah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan Ijtihad dan Istinbath
dari pada nash-nash yang melalui persamaan illat, sebagaimana telah dilakukan
oleh ulama-ulama Salaf dan Khalaf”.[24]
Dalam MKCH (Matan
Keyakinan dan Cita-Cita Hidup) Muhammadiyah hasil muktamar ke-37 di Yogyakarta tahun
1968 dan ditindaklanjuti Tanwir di Ponorogo tahun 1969 urutan ke-3 point b,
Muhammadiyah menjelaskan “Sunnah Rosul : penjelasan dan pelaksanaan
ajaran-ajaran Al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan
menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam”.[25]
Jadi, Muhammadiyah memberikan porsi pada akal fikiran, karena dengannya akan
lahir kreativitas, dinamisitas dan progresifitas. Berbeda dengan Salafi yang
menegasikan akal. Akal memungkinkan untuk melahirkan kreatifitas demi tetap
terjaganya ruh agama dalam kehidupan yang selalu aktif dan dinamis. Oleh karena
itu muncullah kaidah : الإسلام صليح في كل وقت
وزمان (Islam itu relevan di setiap
waktu dan tempat).
Rosul bukanlah
seorang tokoh yang pasif, beliau bukan seorang yang selalu berorientasi ke
belakang (Salaf), namun seorang yang aktif, dinamis, dan progresif. Al-Qur’an
pun demikian. Kitab ini menolak cara pandang yang berorientasi ke belakang.
Kitab ini berkali-kali mengingatkan agar umat Islam “tidak mengikuti apa yang
dilakukan oleh bapak-bapak kami”. Kalaupun kitab ini menyuruh menengok ke
belakang, ini adalah dalam rangka untuk “belajar ke masa lalu untuk menguntai
masa depan”.[26] Maka tepat sekali slogan
Muhammadiyah sebagai “Islam yang Berkemajuan”, bukan Islam yang berkemunduran.
Penulis tidak bermaksud menyalahkan kaum Salafi, hanya ingin menegaskan bahwa
konsep ideologi Salafi tidaklah cocok bagi bingkai ideologi Muhammadiyah.
Salafi rigid dan puritan, sementara Nakamura mengkaji secara antropologis dan
mengkategorisasikan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berwajah
multidimensi antara pemurnian dan pembaharuan. James L. Peacock meneliti
Muhammadiyah sebagai gerakan pemurnian yang membaharu yang daya pembaharuannya
meluas, termasuk gerakan perempuannya (Aisyiyah) yang berpengaruh di dunia
Islam.[27]
Dr. Alwi Shihab
dalam Disertasinya menolak pandangan yang menyamakan Muhammadiyah dengan Wahabi
sebagai lazim dikumandangkan sebagian kalangan. Penelitian ini menunjukkan,
asumsi yang menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan puritan dan Salafi,
yang berafiliasi kepada gerakan pembaharuan Wahhabiyah di Arab Saudi adalah
asumsi yang salah. Asumsi ini didasarkan atas pertimbangan bahwa Muhammadiyah
berusaha menjadikan Islam “lebih murni” di Indonesia dan membersihkannya dari
sinkretisme. Pada kenyataannya, Muhammadiyah memiliki karakteristik perpaduan
yang canggih sesuai dengan sasaran dan tujuannya yang bermacam-macam dalam
rangka merespon kebutuhan zaman. Sejak berdirinya, Muhammadiyah menampilkan
dirinya sebagai gerakan pembaharuan yang tidak sejalan dengan gerakan
Wahhabiyah dalam hal-hal tertentu, terutama dalam pandangannya terhadap
tasawuf.[28] Dr. Arbiyah Lubis dalam
Disertasinya yang berjudul “Antara Muhammadiyah dan Muhammad Abduh”
mengidentifikasi bahwa dalam hal Aqidah Muhammadiyah cenderung Asy’ariyah,
namun dalam hal Muamalah, Muhammadiyah dekat pada Muhammad Abduh. Artinya,
dilihat dari sini jika Muhammadiyah disamakan dengan Salafi / Wahabi adalah
ahistoris.
Dr. Alwi Shihab
menyatakan, “Mungkin cukup relevan disini untuk mencatat bahwa banyak
sarjana yang keliru mengidentifikasi gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan yang
anti sufi, dan karenanya secara longgar diasosiasikan dengan gerakan
pembaharuan Wahhabiyah. Berdasarkan observasi saya, meskipun agak terbatas,
gerakan Muhammadiyah, khususnya pada tahap-tahap awal kelahirannya, tidak
pernah tampil sebagai gerakan yang anti sufi, apalagi untuk diasosiasikan
dengan gerakan Wahhabiyah. Banyak sarjana yang mengabaikan kenyataan bahwa pada
Kongres ke-3 Al-Islam di Surabaya, 24 Desember 1924, kaum muslim Indonesia,
baik yang berasal dari kubu tradisionalis maupun pembaharu, antara lain
membahas ajaran-ajaran Muhammadiyah. Konggres itu memutuskan bahwa Muhammadiyah
bukanlah organisasi Wahhabiyah”.[29]
Lantas
bagaimana dengan serangan bahwa ke-Wahabi-an Muhammadiyah nampak saat Muhammad
Darwisy (Ahmad Dahlan) pergi haji sambil belajar ke Mekkah bahkan diulang 2
kali dan terpengaruh pikiran-pikiran Wahabi ? Rentang masa hidup Dahlan adalah
1 Agustus 1868 hingga 23 Februari 1923. Sedang Muhammad bin Abdul Wahhab hidup
pada 1703-1787. Jadi, Dahlan tidak pernah bertemu dengan Muhammad bin Abdul
Wahhab, apalagi berguru langsung padanya. Dahlan naik haji yang pertama pada
Rojab 1308 H (1890 M). Sambil menunaikan ibadah haji, Dahlan memanfaatkan untuk
memperdalam ilmu pengetahuan keislamannya kepada beberapa ulama Indonesia
maupun Arab. Beberapa ulama yang dituju antara lain K.H. Mahfudz Termas, K.H.
Nahrawi Banyumas, K.H. Muhammad Nawawi Banten, dan beberapa ulama Arab di
Masjidil Haram termasuk Bakri Syata’ (yang memberikan ijazah nama Ahmad Dahlan
pada Muhammad Darwis) salah seorang pengikut Imam Syafi’i. Pada tahun 1903,
Dahlan berangkat naik haji kedua kalinya. Pada waktu naik haji kedua ini,
Dahlan tinggal sekitar 2 tahun di Mekkah untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman.
Menurut catatan muridnya, Dahlan berguru kepada K. Mahfudz Termas, K. Muhtarom
Banyumas, Syeh Shalih Bafadhol, Syeh Sa’id Jamani, dan Syeh Sa’id Babusyel
dalam bidang ilmu fiqih, Mufti Syafi’i
dalam ilmu hadis, K. Asy’ari Bawean dalam ilmu falaq, dan Syeh Ali Mishri dalam
ilmu qiro’at. Selama di Mekkah ini, Dahlan juga menjalin persahabatan dengan
beberapa ulama dari Indonesia, antara lain Syeh Muhammad Khatib Minangkabawi,
K. Nawawi Bantani, K. Mas Abdullah Surabaya dan K. Fakih Maskumambang Gresik.
Berbeda dengan ketika haji yang pertama, pada saat menunaikan haji kedua ini,
Dahlan berinteraksi dengan gerakan pembaharuan. Menurut Djarnawi Hadikusuma,
orang yang berjasa memperkenalkan Dahlan dengan gerakan pembaharuan adalah K.H.
Baqir, seorang alim yang masih kerabat sendiri dan sudah bermukim di Mekkah
sejak 1890. Alim inilah yang mempertemukan dan memperkenalkan Dahlan dengan
ulama pembaharu Rasyid Ridha yang kebetulan sedang berada di tanah suci.
Disamping berkenalan dengan Rasyid Ridha, Dahlan disinyalir juga membaca
tulisan mujaddid yang selalu menekankan perlunya kembali kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah, misalnya karya-karya Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al-Jawziyah,
Muhammad bin Abdul Wahhab, dan karya Rasyid Ridha sendiri.
Ada
perbedaan yang menarik menyangkut referensi Dahlan antara sebelum dan sesudah
haji yang kedua. Sebelum naik haji yang kedua kitab-kitab yang dipelajari
Dahlan sama dengan kitab-kitab yang dipelajari kebanyakan ulama Indonesia yakni
kitab-kitab yang beraliran ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam bidang aqo’id,
kitab-kitab dari madzhab Syafi’i dalam bidang fiqih, dan kitab-kitab Al-Ghozali
dalam bidang tasawuf. Jadi lazim jika beredar kitab fikih jilid 3 yang
menyatakan konsep amaliyah ibadah praktis Dahlan seperti NU, karena memang
awalnya cenderung Syafi’iyyah. Lantas benarkah jika dikatakan bahwa Muhammadiyah
saat ini sudah melenceng dari pendirinya Dahlan yang dulunya amaliyah ubudiyah
praktisnya seperti NU ? Terlalu reduktif dan tendensius mengatakan hal itu.
Proses pikiran seseorang selalu berjalan. Sangat mungkin Dahlan merubah
ijtihadnya menjadi seperti amalan Muhammadiyah saat ini sesuai yang dikukuhkan
oleh Majelis Tarjih. Hal itu sah-sah saja, sebagaimana Syafi’i pun merubah
pendapatnya hingga lahir Qoul Qodim dan Qoul Jadid. Setelah naik haji
kedua, kitab-kitab yang dibaca dan banyak dirujuk Dahlan antara lain Tafsir
Al-Manar (Rasyid Ridha), at-Tawashul wal Wasilah (Ibnu Taimiyah), kitab-kitab
Ibnu Taimiyah lainnya yang banyak mengupas hal-hal yang bid’ah, majalah
Al-Manar dan al-Urwatul Wutsqa, kitab-kitab hadis karya ulama madzhab Hanbali
dan kitab at-Tauhid (Muhammad bin Abdul Wahhab). Tampaknya pemikiran Ibnu
Taimiyah dan Muhammad Abduh mendapat tempat istimewa di hati Dahlan. Jika
pemikiran Ibnu Taimiyah di tangan Muhammad bin Abdul Wahhab ditampilkan dalam
corak literal dan puritan, tetapi di tangan Muhammad Abduh (gurunya Rasyid
Ridha yang bertemu dengan Dahlan) tampil dalam corak rasional dan liberal.
Mencermati hal diatas, dapatlah dikatakan bahwa Muhammadiyah lahir dari
pergumulan Dahlan terhadap teks dan konteks.[30]
Pikiran-pikiran moderat Syafi’i, pikiran-pikiran puritan pengkiut Hanbali
seperti Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab, serta pikiran-pikiran
progresif Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha pernah mampir dalam perjalanan hidup
Dahlan. Jadi, disinilah hebatnya Dahlan / Muhammadiyah yang berada diantara
puritan dan rasional, diantara literal dan liberal, diantara teks dan konteks,
dan diantara Tajrid (pemurnian) dan Tajdid (pembaharuan). Untuk
melaksanakan Tajdid, diperlukan aktualisasi akal fikiran yang cerdas dan
fitri, serta akal budi yang bersih yang dijiwai oleh ajaran Islam. Muhammadiyah
bukan lagi Abduh yang liberal, bukan pula Salafi yang distigma Wahabi yang
literal, apalagi Syafi’i yang diklaim NU sebagai moderat-akomodatif yang
tradisional. Muhammadiyah adalah gerakan Islam wasatiyah khas Indonesia hasil
dari kontemplasi dan artikulasi
pikiran-pikiran multidimensional Dahlan.
3. Betulkah Muhammadiyah sama dengan Salafi dan beberapa Ideologi
TransNasional Lain ?
Terlalu
banyak ketidaksamaan antara Muhammadiyah dengan Salafi. Berikut ini sekilas
tabel antologi pemikiran Muhammadiyah jika diperhadapkan dengan Salafi :
Demi cepat terselesaikannya tulisan
ini, maka penulis memilih beberapa item saja untuk dibahas. Yang pertama
terkait perspektif tentang musik. Ibnu Taimiyah adalah salah satu ulama Hanabilah
yang sering dirujuk kaum Salafi. Dalam Majmu’ Fatawa 10 / 417 Ibnu Taimiyah menyatakan :
والمعازف هي خمر
النفوس تفعل بالنفوس اعظم مما تفعل حميا الكؤوس
“Dan alat-alat musik itu adalah
khomernya jiwa, pengaruhnya lebih dahsyat dibanding khomer dalam gelas”.
Kemudian
lebih jauh ia menyatakan :
والغناء رقية الزنا
“Nyayian
itu adalah mantra perzinahan”. (10 / 418).
Kesenian merupakan
bagian kodrati (fitroh) manusia itu sendiri, sebagai perwujudan nilai keindahan
manusia. Islam adalah agama yang sesuai dengan fitroh manusia. Kesenian adalah
sebagian dari kebudayaan manusia yang lahir dari rasa / emosional manusia dan
menjadikan manusia merasakan keindahan dalam hidup, sebagaimana ciptaan Allah
ini adalah indah, sebab Allah sendiri adalah maha indah dan menyukai keindahan.
Kesenian merupakan ekspresi jiwa manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan.
Merupakan suatu hal yang mustahil, jika Allah yang menganugerahkan kepada
manusia potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan, kemudian Dia
melarangnya. Oleh karena itu, agama Islam mendorong berkembangnya kesenian.
Rosul SAW sendiri pernah menganjurkan memainkan rebana untuk memeriahkan suatu
pesta perkawinan agar menjadi lebih semarak.[31]
Rasul bersabda:
أعلنوا هذا النكاح واجعلوه في المساجد واضربوه عليه بالدف
“Umumkanlah pernikahan ini, selenggarakanlah di
masjid-masjid, dan tabuhlah rebana pada (acara) pernikahan”.[32]
Bahkan pada peristiwa hijrah ke
Madinah, Rosululloh disambut dengan meriah. Wanita-wanita Anshor menyanyikan
bait-bait berikut sebagai ekspresi kegembiraan dan keriangan.
طلع البدر علينا
من ثنيات الوداع
وجب الشكر علينا
ما دعى لله داع
أيها المبعوث فينا
جئت بالأمر المطاع
“Bulan
purnama telah menyinari kita, Dari lembah Tsaniyyatil Wadā‘. Wajiblah kita
mengucap syukur, Selama ada yang berdoa kepada Allah. Wahai orang yang diutus
kepada kami, Engkau telah membawa perkara yang ditaati”.[33]
Perbedaan pendapat
tentang hukum musik dapat diketahui bahwa sebagian besar ahli fikih, seperti
Abu Hanifah, Malik, Hanbaliyah, Sofyan al-Tsauri, Hammad, Ibrahim, Ibnu Abi
al-Dunya dan Ibnul Jauzi mengharamkan musik. Sedangkan disisi lain, sebagian
besar ulama sufi, seperti Dzun Nun Al-Mishri, Abu Ya’qub al-Nahrajuri,
al-Junaid, Abu Tholib, al-Makki, al-Sarraj, al-Qusyairi, Abu Hafs Umar
Suhrawardi, al-Syadzili, Muhammad al-Ghozali, Ahmad al-Ghozali dan lain
sebagainya menghalalkan musik dan bahkan mereka menggunakannya sebagai sarana
peningkatan kualitas spiritualitas. Dalam pendekatan tasawuf, selain melalui
maqomat, tingkatan tauhid murni juga bisa dicapai melalui jalan mendengarkan
musik. Karena menurut Ahmad al-Ghozali mendengarkan musik itu dapat
menghilangkan tabir hati, menggelorakan rasa cinta Ilahi, mengantarkan seorang
sufi ke derajat kesempurnaan dan ke tingkatan Musyahadah.[34]
Kecintaan orang
kepada nabi Muhammad SAW telah melahirkan berbagai bentuk puisi yang berisi
pujian kepada beliau, semisal karya puisi al-Barzanzi, bahkan karya ini
kemudian tidak hanya diapresiasi melalui pembacaannya, melainkan ditampilkan
dalam suatu acara membaca Barzanzi. Prof. Dr. H. A. Mukti Ali, M.A. dalam
amanat pada pembukaan MTQ nasional pernah mengemukakan bahwa untuk hidup yang
baik di dunia, paling tidak harus didukung oleh 3 hal, yaitu : agama, ilmu, dan
seni. Dengan agama hidup kita menjadi terarah, dengan ilmu hidup kita menjadi
mudah, dan dengan seni hidup kita menjadi indah. Hadis Nabi SAW riwayat Muslim
menyatakan, “sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan”.
Memang ada beberapa hadis yang keras melarang membuat patung dan melukis. Dalam
memahami hadis-hadis tersebut Muhammadiyah tidak hanya menggunakan metode
Bayani saja, tapi juga menggunakan metode Burhani (konteks), dan metode Irfani
(filosofi intuisi).
Sebenarnya agama dan
seni budaya tidak memiliki pertentangan sejauh seni budaya hanya merupakan
pengungkapan dan apresiasi keindahan. Masalah kesenian banyak disoroti oleh
nabi SAW, seperti seni patung, seni suara, seni tari, dan seni lukis.
Peringatan Rosul SAW tersebut dapat dipahami dalam rangka menjaga tauhid dan
keimanan. Ditinjau dari segi asas umum ajaran agama, tari, nyanyi dan musik
termasuk kategori muamalah duniawiyah yang asasnya adalah “segala
sesuatu itu pada dasarnya boleh sampai ada dalil yang melarang” ( الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم ). Atas dasar itu maka menari, menyanyi,
dan memainkan musik pada dasarnya mubah (boleh). Larangan timbul karena suatu
yang lain, misalnya dilakukan dengan cara dan tujuan yang tidak dibenarkan
agama. Adapun larangan-larangan Islam terhadap kesenian tertentu seperti seni
patung, seni lukis yang porno, seni tari yang menampakkan aurat dan lainnya,
larangan-larangan tersebut ada Illat atau sebabnya. Jika sebab tersebut
tidak ada, maka tidak ada pula larangannya sebagaimana bunyi kaidah ushul fikih
:
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
“Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak
adanya Illat hukum. Maksudnya, jika illat atau sebab pelarangan itu ada, maka
hukumnya juga ada yakni dilarang. Sebaliknya jika sebab pelarangannya tidak
ada, maka demikian pula hukumnya tidak ada”.
Sebagai contoh, membuat patung pada
zaman dahulu itu hukumnya haram. Ini karena patung atau berhala itu dijadikan
sesembahan oleh orang-orang pada waktu itu. Namun sekarang ini, ada orang
membuat patung bukan untuk disembah, tapi untuk dijadikan alat pendidikan,
hiasan dan lainnya, maka apakah hukumnya juga haram ? Tentu tidak, karena hukum
larangan itu berlaku menurut ada atau tidak adanya illat atau sebab yang
menjadi dasar pelarangannya. Oleh karena illatnya (yaitu patung untuk disembah)
tidak ada, maka hukumnya (larangannya) juga tidak ada.
Dalam HPT
Muhammadiyah jilid 1 (2015 halaman 284-285) bab hukum Alatul Malahi (alat
bunyi-bunyian atau musik) hukumnya berkisar pada illatnya (sebabnya), dan ia
ada 3 kategori :
1. Jika menarik pada keutamaan seperti menarik kepada
keberanian di medan peperangan, hukumnya sunat.
2. Jika untuk main-main belaka (tak mendatangkan
apa-apa), mukumnya makruh.
3. Jika menarik kepada maksiat, hukumnya haram.
Musyawarah Nasional Tarjih
Muhammadiyah ke-23 tahun 1995 di Banda Aceh yang mengangkat tema “Kebudayaan
dan Kesenian dalam Perspektif Islam”
memutuskan diktum-diktum sebagai berikut :
1. Seni adalah salah satu fitrah manusia yang
dianugerahkan Allah, yang harus dipelihara sesuai dengan ketentuan Allah.
2. Menciptakan dan menikmati karya seni hukumnya
mubah (boleh), selama tidak mengarah dan mengakibatkan fasad
(kerusakan), dharar (bahaya), ‘Isyan (kedurhakaan), dan ba’id
anillah (menjauhkan diri mengingat Allah).
Selanjutnya keputusan ini dipertegas
lagi dalam Muktamar Muhammadiyah ke-44 tahun 2000 di Jakarta yang menetapkan
“Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHI-WM)”. Pedoman ini memuat pedoman
warga Muhammadiyah dalam kehidupan seni budaya, dengan diktum-diktum sebagai
berikut :
1. Setiap warga Muhammadiyah baik dalam menciptakan
maupun menikmati seni budaya, selain dapat menimbulkan perasaan halus dan
keindahan, juga menjadikan seni dan budaya sebagai sarana, media atau sarana
dakwah untuk membangun kehidupan yang berkeadaban.
2. Menghidupkan sastra Islam sebagai bagian dari
strategi membangun peradaban dan kebudayaan manusia.
Muhammadiyah
sesungguhnya dapat disebut sebagai gerakan dakwah Islam yang juga merupakan
gerakan budaya yang penuh nilai keagamaan Islam. Bagi Muhammadiyah, dakwah
adalah wajib ‘ain (kewajiban pribadi) dan wajib kifayah
(kewajiban kolektif yang dilaksanakan secara organisasi). Untuk suksesnya
dakwah Muhammadiyah tersebut dperlukan media yaitu seni dan budaya. Bahkan
melalui kaidah fikih :
مالايتم الواجب
إلابه فهو واجب
“Tidak sempurna suatu kewajiban
tanpa dengannya, maka hal yang dapat menyempurnakan itu menjadi wajib”.
Maka hukum seni dan budaya dapat
dipahami sebagai suatu hal yang wajib, demi suksesnya dakwah Muhammadiyah
(wajib ain maupun wajib kifayah). Bagi Muhammadiyah, kalau tujuannya untuk
dakwah, karena dakwah hukumnya wajib, maka kesenian (salah satunya musik /
nyanyian) hukumnya dapat menjadi sunnah atau wajib, paling tidak menjadi wajib
kifayah.[35] Karena dengan sarana /
media kesenian itu dakwah bisa tercapai dengan baik. Maka tidak heran jika lagu
“Sang Surya” sangat mendarah daging bagi aktivis, warga maupun simpatisan
Muhammadiyah.
Pembahasan kedua
tentang peran dan penampilan wanita. 2 ayat dalam Al-Qur’an, yaitu Q.S. An-Nur
: 60 dan Al-Ahzab : 33 menjadi menjadi landasan teologis akan minimnya peran
wanita di sektor publik. Wanita sebaiknya di rumah saja, karena sering
bertabarruj, tidak aman baginya, dan mengundang perzinahan. Kata (تبرجن) tabarrajna
dan (تبرج) tabarruj terambil dari kata (برج) baraja,
yaitu tampak dan meninggi. Dari sini kemudian ia dipahami juga dalam arti kejelasan dan keterbukaan karena demikian itulah keadaan sesuatu yang tampak dan tinggi. Larangan ber-tabarruj
berarti larangan menampakkan “perhiasan”
dalam pengertiannya yang umum yang biasanya tidak ditampakkan oleh wanita
baik-baik, atau memakai sesuatu yang tidak wajar dipakai, seperti berdandan
secara berlebihan, atau berjalan dengan berlenggak-lenggok, dan sebagainya.
Menampakkan sesuatu yang biasanya tidak ditampakkan (kecuali kepada suami) dapat
mengundang decak kagum pria lain yang pada gilirannya dapat menimbulkan
rangsangan atau mengakibatkan gangguan dari yang usil.[36]
Al-Qurthubi berkata
dalam tafsir al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’an, “Ayat ini menunjukkan
perintah kepada kaum perempuan untuk selalu tinggal di rumah. Walaupun seruan ini ditujukan secara khusus untuk istri-istri
Rasululah, tapi tercakup di dalamnya perintah kepada semua muslimah. Secara
tegas, syariat Islam telah mewajibkan kaum perempuan untuk selalu tinggal di rumah dan tidak keluar
rumah kecuali dalam keadaan darurat. “Sesungguhnya Allah telah mengizinkan
kepada kalian keluar–rumah untuk memenuhi hajat (keperluan) kalian.” (HR Bukhari, hadits sahih). Nawawi mengatakan bahwa maksud Ibnu Hisyam mengenai sabda Rasulullah,
“Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kepada kalian keluar rumah untuk
memenuhi hajat-hajat kalian,” adalah keluar untuk buang air besar, bukan
semua bentuk keperluan duniawi. Nawawi juga berkata, “Hadits ini menunjukkan bolehnya
seorang wanita keluar dari rumah suaminya untuk buang hajat (buang air besar)
di tempat yang sudah menjadi kebiasaan orang-orang buang hajat tanpa minta izin
dari suami. Al-Qurthubi menegaskan bahwa agama dipenuhi oleh
tuntutan agar wanita-wanita tinggal dirumah dan tidak keluar rumah kecuali
keadaan darurat. Al-Maududi pemikir Muslim Pakistan kontemporer dalam bukunya al-Hijab, menulis bahwa “Tempat Wanita
adalah dirumah, mereka tidak dibebaskan dari pekerjaan luar rumah dengan tenang
dan hormat sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah tangga. Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk keluar, boleh saja mereka
keluar rumah dengan syarat memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu”. Thahir Ibn
Asyur menggarisbawahi bahwa perintah ayat ini ditunjukkan kepada istri-istri
Nabi sebagai kewajiban, sedang bagi wanita-wanita muslimah selain mereka sifatnya
adalah kesempurnaan. Yakni, tidak wajib tetapi sangat baik.[37]
Dalam Himpunan
Putusan Tarjih, Muhammadiyah menyatakan “Tiada halal bagi wanita bepergian
perjalanan sehari atau lebih, kecuali beserta mahramnya atau suaminya, dan
kecuali untuk keperluan yang diizinkan Syara’ serta aman. Demikian pula wanita
boleh bepergian seorang diri dalam perjalanan sehari atau lebih, jika
perjalanan itu untuk keperluan yang diinginkan Syara’ dan dalam keadaan aman. ‘Adi bin Hatim berkata: Waktu aku di hadapan Nabi saw. Tiba-tiba ada seorang
lelaki datang mengadukan kepada beliau tentang kemiskinan, kemudian datanglah seorang lagi yang
mengadukan tentang gangguan jalan (tidak ada keamanan); maka sabda beliau saw;
“sudah pernah lihatkah kamu desa Hirah,
hai ‘Adi?’’ Jawabku “Belum, tetapi sudah pernah mendengar
beritanya”. Sambung beliau: “kalau
kiranya panjang umurmu tentulah kamu akan mengalami zaman seorang wanita
bepergian dari desa Hirah itu sampai berthawaf (mengelilingi) Ka’bah dengan tiada yang ditakuti melainkan
Allah ’’. Kata ‘Adi “Dikemudian hari
aku melihat wanita bepergian dari desa Hirah itu sehingga berthawaf di Ka’bah,
tiada yang ditakuti melainkan Allah’’. (Diriwayatkan oleh
Bukhari). Tarjih Muhammadiyah juga
menyatakan, Pria mengajar wanita itu boleh. Wanita mengajar pria pun boleh,
karena tidak ada larangan yang mencegah hal itu, yang sudah tentu saja disyaratkan
adanya keamanan, seperti memejamkan mata hati dan tidak berkhalwat (menyendiri,
berduaan). Di halaman lain dinyatakan, Setelah rapat mendengarkan hujjah
masing-masing pihak yang membolehkan wanita bepergian asal dengan aman, dan
yang tak membolehkannya kecuali dengan mahram, ternyata kuat kedua-duanya, maka
forum rapat berpendapat bahwa hal ini maukuf, artinya Majelis belum dapat
memutuskan di antara kedua itu.[38]
Dilema wanita
berperan di sektor publik masih menimbulkan perdebatan pada sebagian kelompok
Islam. Namun bagi Muhammadiyah, hal itu dianggap selesai dengan terjaminnya
keamanan, tidak terjadinya fitnah, dan keluar dengan menutup aurot. Oleh
karenanya penghargaan Muhammadiyah terhadap wanita dengan bukti munculnya
Organisasi Otonom Aisiyah yang sangat egaliter. Berbeda dengan
kelompok-kelompok organisasi Islam lain sebagaimana kasus berikut :
“ada banyak
kendala bagi perempuan untuk menjadi pemimpin, terutama kendala personal,
mungkin yang menyangkut fisik. Kepemimpinan perempuan di KAMMI belum pernah
terjadi dan belum bisa diramal itu bisa terjadi. Secara sistem hal itu tidak
dikehendaki teman-teman aktivis KAMMI ini. Karena memang semua masih
menganggap, bahwa yang berada di posisi puncak adalah seorang laki-laki yang
memiliki kelebihan fisik dibanding wanita”.[39]
Lebih ekstrim pengakuan kelompok
Salafi berikut :
“semua istri
dari pria ini tidak ada yang bekerja. Ketika istrinya minta izin untuk bekerja
dengan menggunakan ijazah yang dipunyai, ijazahnya dirobek, dia mengatakan
“sudahlah saya masih mampu memberi nafkah”. Istrinya lalu berkata “ini kan
ijazah sebagai bukti saya sekolah”. Pria Betawi ini berkata “selama masih
bersama saya, saya tidak akan mengizinkan istri untuk bekerja”. Istrinya pun
berkata “ya sudah, kalau begitu sobek saja ijazah itu”. “kalau kamu masih mau
mentaati dan mendengar perkataan suamimu, ikuti kata-kata saya”.[40]
Problem baru muncul lagi
mengenai bagaimana menutup aurot itu, dan manakah aurot wanita itu ? Dalam
situs resmi kaum Salafi (muslim.or.id), penulis mendapati pernyataan Ahmad Bin
Hanbal :
كل شيء منها (اي من المرأة الحرة)
عورة حتى الظفر
“Setiap bagian tubuh wanita adalah
aurot, termasuk pula kukunya”. (dinukil dari Zaadul Masiir, 6/31).
Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin
berkata :
القول الراجح في هذه المسألة وجوب ستر
الوجه عن الرجال الأجانب
“Pendapat yang kuat dalam
masalah ini adalah wajib hukumnya bagi wanita untuk menutup wajah dari pada
lelaki yang bukan mahrom”. (Fatawa Nurun ‘Alad Darb).[41]
Konstruksi menutup
aurot atau memakai jilbab termaktub dalam Q.S. An-Nur : 31 dan Q.S. Al-Ahzab :
59. Sengaja untuk menghemat waktu penulis tampilkan Q.S. Al-Ahzab : 59 saja :
يأيها النبي
قل لأزوجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلبيبهن . ذلك أدنى أن يعرفن فلا
يؤذين . وكان الله غفورا رحيما.
“Hai Nabi, katakanlah pada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin,
“hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.
Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang”.
Kata (جلباب) jilbab diperselisihkan maknanya oleh
ulama. Al-Biqa’i menyebut beberapa pendapat. Antara lain, baju yang longgar
atau kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan
kerudung yang dipakainya, atau semua pakaian yang menutupi wanita. Kalau yang
dimaksud dengannya adalah baju, ia adalah menutupi tangan dan kakinya, kalau
kerudung, perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan lehernya. Kalau maknanya pakaian yang menutupi baju, perintah mengulurkan
adalah membuatnya longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian.[42]
Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa jilbab adalah selendang (rida’). Ada juga ulama yang
menyebutkan bahwa jilbab adalah penutup muka. Tetapi, pendapat yang benar adalah pendapat yang mengatakan
bahwa jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh anggota badan. Adapun jilbab
yang dimaksud adalah selendang yang
berada di atas kerudung kepala. Pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Mas’ud,
Ubaidillah, Qatadah, al-Hasan al-Bishri, Said bin Jubair, Ibrahim an-Nakhai, dan Atha’
al-Kharasani dan lainnya. Jilbab seperti
itu, pada saat ini, sama dengan sarung (kain). Al-Jauhari berkata, “Jilbab
itu adalah selimut besar (mantel)”. Thabathaba’i
memahami kata jilbab dalam arti
pakaian yang menutupi seluruh badan atau kerudung yang menutupi kepala dan
wajah wanita. Ibn ‘Asyur memahami kata jilbab
dalam arti pakaian yang lebih kecil dari jubah tetapi lebih besar dari
kerudung atau penutup wajah.
Abu
al-A’la al-Maududi berkata di dalam tafsirnya, jilbab secara etimologi berarti
selimut, baju luar, dan pakaian lebar. Adapun idna asal kata dari yudnina
berarti mendekatkan dan melipat. Jika kata idna diikuti dengan huruf
jar ‘ala misalnya, yudnina
‘alaihinna maka maksudnya adalah mengulurkan ke atas. Sebagian penulis dan ahli
tasfir hadist saat ini memiliki intuisi barat sehingga mereka menerjemahkan
kata idna dengan makna mengitari agar bisa menghapus hukum menutupi
wajah. Jika Allah menginginkan seperti apa yang disebutkan oleh mereka, niscaya
Allah akan berfirman, “yudnina ilaihinna” yakni mengintari dirinya sendiri. Hal itu berdasarkan asumsi bahwa
firman-Nya, “jalabibihinna” menjadi penghalang untuk bisa
memberikan makna seperti yang mereka katakan itu. Huruf min
pada kalimat min jalabibinna adalah menunjukkan tab’idh sebagian
dari jilbab mereka. Andai kata perempuan itu menyelimuti dari mereka dengannya,
maka secara tabiat dia menyelimuti keseluruhannya dan bukan dengan sebagian
jilbab atau dengan sobekan jilbab. Dengan begitu, maka makna ayat ini secara
gamblang adalah perempuan itu menutupi seluruh tubuhnya dan menyelimuti diri
mereka dengan jilbabnya, kemudian mengeluarkan dari atas sebagian darinya. Saat
ini, kita mengenal jilbab tesebut dengan istilah niqab / “cadar”.[43]
Menutup aurot dengan
memakai jilbab / kerudung telah disepakati akan kewajibannya,[44] namun
seperti apa dan bagaimana cara berjilbab itu masih merupakan kontroversi.
Karena konsep perintah jilbab itu tidak lepas dari konteks situasi maupun
kondisi sosiologis masyarakat Arab saat itu. Semua ulama juga telah bersepakat
bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak
tangannya. Abu Ubaid menceritakan bahwa jilbab dipakai
dari kepala sehingga tidak ada yang tampak kecuali mata. Salah satu model
pakaian ini adalah cadar. Ada yang berpendapat bahwa perempuan diwajibkan
mengenakan cadar, tapi pendapat yang benar bahwa perempuan tidak wajib memakai
cadar dan sarung tangan. Ulama sepakat tentang bolehnya melihat wajah dan telapak tangan wanita yang bukan
mahram. Hadist lain
menyatakan: “Apabila wanita telah haid,tidak wajar terlihat darinya kecuali
wajah dan tangannya sampai ke pergelangan”(HR.Abu Daud). Pakar tafsir, al-Qurthubi, dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ulama besar,
Sa’id Ibn Jubair,‘Arta dan al-Auza’i, berpendapat bahwa yang boleh dilihat
hanya wajah wanita, kedua telapak tangan, dan busana yang dipakainya.
Fakhrurrazi
berkata di dalam tafsirnya, “pada masa jahiliah, kaum perempuan yang berstatus
budak maupun yang bukan budak sama-sama keluar rumah dengan kepala dan wajah
terbuka. Tidak heran, jika mereka selalu
diikuti oleh para laki-laki jahil sehingga terjadilah berbagai tuduhan dan
prasangka. Karena itu, Allah memerintahkan para perempuan merdeka untuk
mengenakan jilbab”. Kalangan perempuan mukminah sebelum turunnya Q.S. Al-Ahzab ayat 59 di atas biasa keluar
rumah untuk membuang hajat. Pada saat itulah, ada sebagian laki-laki yang suka
usil mengganggunya karena mereka mengira perempuan-perempuan itu adalah budak.
Akibatnya perempuan berteriak dan laki-laki yang iseng itu pun kabur.
Perempuan-perempuan pun mengadukan hal itu kepada Rasulullah. Tidak lama
kemudian, Allah mewahyukan ayat ini untuk menyingkap peristiwa itu. As-Sudi
memberi komentar. Tatkala malam tiba, para perempuan keluar ke jalan-jalan
untuk membuang hajat mereka di padang pasir yang terbuka. Orang-orang fasik
mengikuti mereka. Jika mereka melihat perempuan memakai jilbab,mereka
mengatakan, “ini adalah perempuan merdeka,” dan mereka tidak mengganggunya.
Jika mereka melihat perempuan yang tidak mengenakan jilbab, mereka mengatakan,
“ini adalah
perempuan budak,” kemudian mereka menghampirinya.
Ada sebagian mufasir
yag mengatakan bahwa secara etimologi, firman jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…”tidak mesti bermakna menutup
wajah, dan tidak ada satu nash baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, dan juga ijma yang mengatakan bahwa ayat
tersebut mesti bermakna menutup wajah. Karena itu, ayat
tersebut tidak bisa dijadikan landasan bahwa jilbab seorang perempuan harus
menutupi wajahnya. Para ahli tafsir berbeda pendapat
mengenai maksud mengulurkan jilbab yang
Allah perintahkan kepada mereka. Sebagian ahli tafsir mengatakan, “Maksudnya,
hendaklah mereka menutupi wajah dan kepala mereka, dan janganlah mereka
menampakkan sesuatupun dari anggota tubuhnya kecuali mata saja.” Ibnu Aun
mengatakan bahwa dia mengenakan selendangnya lalu dia menutup tubuhnya dengan
selendang itu; Dia menutup hidungnya, juga matanya yang sebelah kiri, serta
tidak menutup matanya yang sebelah
kanan. Ibnu Abbas dan Abu
Ubaidah berkata, “Allah memerintahkan para muslimah untuk menutup kepala dan
wajahnya dengan jilbab, kecuali satu mata, agar mudah dikenali bahwa mereka
adalah perempuan-perempuan merdeka”. Menutup kepala dan wajah merupakan garis
pemisah antara permpuan-perempuan merdeka dan para budak perempuan. Umar meriwayatkan bahwa dia pernah
memukul seorang budak perempuan lalu berkata “Bukalah tutup kepala kalian, dan
janganlah kalian menyerupai perempuan-perempuan merdeka”
Muhammad Thahir Ibn
‘Asyur, seorang ulama besar dari tunis yang diakui otoritasnya dalam bidang
ilmu agama, menulis dalam bukunya,Maqashid asy-Syari’ah, bahwa: “Kami percaya
bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh (dalam kedudukannya sebagai adat) untuk
dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula
terhadap kaum itu.” Contoh yang diangkatnya dari al-Qur’an adalah surah
al-Ahzab ayat 59, yang memerintahkan kaum mukminah agar mengulurkan jilbabnya.
Ulama tersebut berkomentar: “Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat
orang-orang Arab (yang sering mengganggu wanita saat keluar rumah / buang
hajat) sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak
memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka ketentuan ini)”. Ketika
menafsirkan ayat al-Ahzab yang berbicara tentang jilbab, ulama ini menulis
bahwa: “Cara memakai jilbab berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan wanita
dan adat mereka. Tetapi,
tujuan perintah ini adalah seperti bunyi ayat itu yakni
“Agar mereka dapat dikenal (sebagai wanita muslim yang baik) sehingga
mereka tidak diganggu.”
أن يعرفن (agar dikenali) maksudnya bisa dibedakan wanita merdeka atau
budak wanita. فلا يؤذين (maka tidak diganggu) maksudnya aman dari lelaki yang mau
mengganggu atau melihat aurotnya. Itulah 2 klausul diwajibkannya mengulurkan
jilbab, dimana makna jilbab terjadi kontroversi itu. Berjilbab itu wajib hampir
semua bersepakat, namun bercadar masih banyak yang ikhtilaf. Yang pasti wajah
dan tangan bukanlah aurot. Jika dilihat dalam konteks saat ini wanita semua
sama, tidak ada lagi wanita merdeka maupun budak wanita. Di negara Indonesia
yang berdasar Rechstaat (berlandaskan hukum), pria tidak semudah di Arab
yang mengganggu wanita, karena dilindungi oleh hukum. Kebebasan berekspresi
dijamin undang-undang, jangankan yang berjilbab, yang tidak berjilbab (sampai memakai
rok mini, pakaian ketat, dll) masih dilindungi undang-undang sehingga jarang
lelaki mengganggunya. Maka bercadar tidaklah menjadi keharusan karena illat
(penyebab) keharusan bercadar itu sudah tidak ada.
Penulis menilai
cadar saat ini memiliki 2 nilai, pertama bernilai ideologis yang memang
betul-betul ingin menjaga diri, dan yang kedua bernilai modis, dimana wanita
bercadar hanya sekedar sensasi mode sesaat. Bagi wanita bercadar secara
ideologis, ia bermaksud melindungi diri dari fitnah dan omongan lelaki. Seharusnya
semua tertutup oleh cadar kecuali satu mata saja yang sebelah kanan untuk
melihat. Namun dalam standar kultur Indonesia, wanita bercadar justru menjadi
buah bibir masyarakat, jadi bahan gunjingan yang akhirnya menimbulkan fitnah
dan membuka kemaksiatan berupa ghibah. Bercadar dinilai sebagai prilaku
berlebih-lebihan dalam agama (ghuluw), dimana berlebih-lebihan dalam
agama itu dilarang. Maka dalam konteks Indonesia, melepas cadar dinilai lebih
maslahat dan memperkecil kemaksiatan baru (buah bibir dan prasangka negatif
masyarakat). Apalagi konteks Indonesia yang memiliki trauma memori negatif,
beberapa pelaku peledakan bom melibatkan wanita bercadar. Menutup aurot dengan
berjilbab itu jelas sebagai kewajiban, namun janganlah berlebih-lebihan, karena
Rosul SAW sendiri bersabda : خير الأمور أوساطها “sebaik-baik perkara adalah yang
pertengahan” (tidak berlebihan namun juga tidak kekurangan).
Dalam pandangan
Muhammadiyah, Majelis Tarjih telah memutuskan untuk memasang tabir atau sesamanya di dalam rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan Persyarikatan
Muhammadiyah yang dihadiri oleh pria dan wanita guna mencegah terjadinya
yang dilarang (diharamkan). Muktamar Majelis Tarjih Muhammadiyah (Cetakan tahun
1964 bab 20). Menyatakan tetap adanya hijab dalam rapat-rapat Persyarikatan Muhammadiyah
yang dihadiri oleh pria dan wanita. Dari sini kita juga melihat bahwa
Muhammadiyah tidak menganjurkan cadar, seperti kaum Salafi. Selain itu, Anggaran Dasar
Muhammadiyah, Bab 3 pasal 6 dinyatakan : “Maksud dan tujuan muhammadiyah ialah menegakkan
dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya”. Dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah
(MKCH) yang diputuskan dalam muktamar ke-37 di Yogyakarta tahun 1968 ditindaklanjuti dalam Tanwir di Ponorogo tahun 1969 Point ke-5 menyatakan : “Muhammadiyah
mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah
berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan
negara Rebuplik Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945, untuk berusaha
bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil makmur yang diridloi Allah SWT :
Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofur”. Hal ini diperkuat dengan lahirnya
konsep Darul Ahdi Wasy Syahadah saat Muktamar Muhammadiyah ke-47 di
Makassar pada tahun 2015. Oleh karena itu, William
Shepard (2014), mengkategorisasikan muhammadiyah sebagai kelompok “islamic
modernism”, yang lebih berfokus bergerak membangun “islamic society”
(masyarakat islam) dari pada perhatian terhadap “islamic state” (negara
islam) yang fokus gerakannya pada bidang pendidikan, kesejahteraaan sosial,
serta tidak menjadi organisasi politik kendati para anggotanya tersebar ke
berbagai partai politik. Ini pula
yang membedakan Muhammadiyah dengan Hizbut Tahrir yang mengusung konsep Khilafah
yang dinilai utopis itu.[45]
Pada tanwir tahun
2012 di Bandung kemudian ditegaskan pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2015
di Makassar bahwa Negara Republik Indonesia yang didirikan tahun 1945 bagi
Muhammadiyah merupakan konsensus nasional yang sudah selesai (sebagai Dar
al-ahdi dan Dar al-syahadah). Muhammadiyah tentang negara dan kebangsaan di
Indonesia ini dengan konsep NKRI menganggap sudah selesai, oleh karenanya
Muhammadiyah tinggal mengisi bangsa ini dengan berkontribusi dan bersinergi
terhadap bangsa secara riil. Inilah ikrar “Darus
Syahadah” Muhammadiyah melalui bentuk jihad baru, Jihad Konstitusi. Menurut Muhammadiyah, ada 115
undang-undang yang dinilai bermasalah dan tidak berpihak untuk kepentingan
rakyat, dan hajat hidup orang banyak di Indonesia. Dari tujuh undang-undang
yang didaftarkan untuk uji materi, baru empat diantaranya yang dikabulkan,
yaitu: Undang-undang No. 22 Tahun 2011 tentang Migas; undang-undang No. 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air; undang-undang No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas;
dan undang-undang Tahun 2004 tentang Rumah Sakit.[46]
Tiga UU yang diajukan Muhammadiyah berikutnya kepada
Mahkamah Konstitusi untuk uji materi adalah UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang
Sistem Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal Asing dan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan. Jadi dengan konsep Darul Ahdi wasy Syahadah,
Muhammadiyah berjuang, berdakwah, dan berjihad secara riil untuk bangsa
sehingga terwujud “Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.[47]
4. Bagaimanakah Ideologi-Ideologi Trans Nasional
Masuk Muhammadiyah ?
Surat Ulil Abshor Abdalla pada K.H.
Ma’ruf Amin (ketua lembaga Fatwa MUI
pada Januari 2008).menyatakan : “... Sebuah gagasan (ideologi) seperti udara, ia bisa masuk ke
ruang manapun... ... Gagasan (ideologi) adalah sesuatu yang
sifatnya fluid, cair”.[48]
Artinya, masuknya ideologi atau faham
tertentu itu begitu mudah dan seringkali tidak terasa bagi orang yang dibidik,
apalagi jika orang itu tidak memiliki pemahaman yang kuat sebelumnya. Dalam
pengamatan penulis, ideologi-ideologi trans nasional itu bisa masuk ke Muhammadiyah dan mempengaruhi warga atau
para aktivis Muhammadiyah melalui cara-cara :
1. Kelompok ideologi tertentu mengadakan acara kajian
yang diadakan di Amal usaha Muhammadiyah (AUM) seperti masjid, Mushola, atau
sekolah Muhammadiyah.
2. Muhammadiyah atau ORTOM nya mengadakan acara di
AUM nya sendiri atau di tempat luar AUM namun pematerinya dari yang berlatar
belakang ideologi lain atau belum jelas latar belakang ideologinya.
3. Dibiarkannya buletin-buletin (seperti buletin
Al-Ilmu, Al-Islam, Kaffah, Hidayatulloh dll) atau majalah-majalah (seperti
majalah As-Sunnah, Ummi, Annida, Al-Wa’i, Al-Falah, YDSF, Sabili, dll) yang
bukan resmi keluaran Muhammadiyah beredar di AUM terutama di masjid-masjid
Muhammadiyah saat sholat Jumat atau waktu-waktu lain.
4. Para warga atau aktivis Muhammadiyah membaca dan
berlangganan buletin atau majalah-majalah tersebut secara rutin, atau membaca /
mengkaji buku-buku (seperti sifat sholat nabi karya Nashirudin
Al-Albani, Majmu’ Fatawa karya Ibnu Taimiyah, kitab At-Tauhid
karya Muhammad bin Abdul Wahab, Al-Fikrul Islami karya Taqiyudin
An-Nabhani, Risalah Gerakan Tarbiyah karya Anis Matta, dll). Yang
demikian, jika faham ideologinya kurang kuat, maka akan terbawa oleh ideologi
yang diusung buletin / majalah tersebut.
5. Para warga atau aktivis Muhammadiyah menghadiri
atau mengikuti secara rutin kajian-kajian yang diselenggarakan oleh kelompok
ideologi lain, meski di tempat mereka sendiri. Jika point ke-5 ini terjadi,
maka itulah yang terparah dari kondisi ideologi kader Muhammadiyah tersebut.
Mengapa menghidupkan kegiatan kelompok lain, justru meninggalkan kegiatan
Muhammadiyah sendiri.
Kapankah seorang
warga atau aktivis Muhammadiyah mulai keluar dari Muhammadiyah ? jika salah
satu, apalagi kesemua 5 point diatas dilakukan oleh warga Muhammadiyah, maka
disitulah garis batas baginya di detik-detik akan menyeberang meninggalkan
Muhammadiyah menuju ideologi lain sesuai bacaan atau kajian dari kelompok ideologi
yang mengusung itu. Oleh karena itu, bagaimanakah menjaga dan membentengi warga
Muhammadiyah dari serangan ideologi lain (trans nasional) ? Menurut pengalaman
penulis, caranya adalah :
1. Hindari 5 point diatas. Jangan diperbolehkan
kelompok ideologi lain mengadakan kegiatan atau menyebar buletin jumat di
masjid Muhammadiyah. Semua kegiatan yang diadakan warga Muhammadiyah,
pematerinya harus dari dan betul-betul berideologi Muhammadiyah yang dibuktikan
dengan KTM (Kartu Tanda Muhammadiyah) dan terbukti keaktifannya dalam kegiatan
atau kepengurusan Muhammadiyah baik di tingkat Ranting, Cabang, Daerah, bahkan
mungkin sampai Wilayah maupun Pusat.
2. Warga atau kader dicukupkan dengan kitab atau
buku-buku resmi yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah (seperti HPT, Suara
Muhammadiyah, Matan, dll), dan dicukupkan dengan menghadiri kajian atau
kegiatan-kegiatan yang diadakan Muhammadiyah saja. Kecuali bagi yang bermaksud
melakukan perbandingan ideologi dan dipastikan ideologi ke-Muhammadiyahan yang
bersangkutan betul-betul kuat.
3. Jadikan kesepakatan bahwa dimana saja dan siapa
saja yang mengadakan kegiatan jika kader
Muhammadiyah dijadikan sebagai pembicara, maka bisa dihadiri bahkan sebaiknya
harus dihadiri, karena itulah dakwah penyebaran ideologi Muhammadiyah secara
aktif. Namun siapa saja dan dimana saja kader Muhammadiyah diundang jika hanya
sekedar sebagai jamaah pendengar, maka katakan dengan tegas “maaf saya tidak
bisa hadir, cukup bagi saya mengikuti kegiatan-kegiatan Muhammadiyah dan
membaca buku-buku resmi Muhammadiyah saja”. Karena jika merasa tidak enak
untuk menolak, maka disitulah awal doktrinasi. Masuknya ideologi itu halus dan
tanpa disadari, bahkan seringkali warga atau aktivis Muhammadiyah merasa nyaman
saat mengikuti kajian ideologi lain itu. Rasa nyaman itu menjebak, dan tatkala
terasa nyaman dengan materi-materi kajian ideologi lain, disitulah ia telah
terdoktrin.
[1] Penulis adalah Dosen dan Sekretaris LP-AIK
(Lembaga Pengembangan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan) Universitas Muhammadiyah
Jember. Penulis buku “Seks Islami
ditinjau dari segi Al-Qur’an, Hadis dan Medis” yang diterbitkan oleh
Dianloka Pustaka Jogja dan buku “Mesra Bercinta Meski haid Melanda” yang
diterbitkan oleh Pustaka Abadi Jember.
[2] Fenomena mahasiswa
bercadar di Perguruan Tinggi termasuk di UNMUH Jember banyak ditemui. Oleh
karena itu tim Lembaga Pengembangan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (LP-AIK) UM
Jember berinisiatif melakukan pembinaan ideologi pada para mahasiswa yang
tergabung dalam ORTOM (Organisasi Otonom) Muhammadiyah yang meliputi Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Hizbul Wathan (HW), dan Tapak Suci Putra
Muhammadiyah (TSPM) pada Selasa, 23 Oktober 2018 jam 13.00-17.30. IAIN Jember malah sempat mengeluarkan aturan
yang kontroversial, yaitu mahasiswi bercadar tidak diterima kuliah di IAIN
Jember demi meneguhkan slogan “Islam Nusantara”.
[3] Menarik mencermati karya Andre’e Feillard dalam
Disertasinya berjudul “NU vis-a-vis Negara” yang menyatakan bahwa pada zaman
Soekarno kopiah (songkok) yang biasanya terbuat dari beludru hitam menjadi
lambang identitas nasional. Lihat
Feillard, Andre’e. NU vis-a-vis Negara, BasaBasi, 2017. Yogyakarta. hal.
427.
[4] Hizbut Tahrir adalah
sebuah partai politik Islam yang didirikan oleh Taqiyuddin An-Nabhany di
Al-Quds, Palestina pada tahun 1952. Ia masuk ke Indonesia pada tahun 1982-1983
melalui M. Mustofa dan Abdurrahman Al-Baghdadi. Tahun 2018 di era rezim Jokowi
Hizbut Tahrir Indonesia dibekukan / dibubarkan melalui PERPPU No. 2 tahun 2017
tentang ORMAS. Lihat Rahmat, M. Imdadun. Arus Baru
Islam Radikal, Erlangga, 2005. Jakarta. Hal. X dan hal. 51 dan 100.
[5] Lihat Rahmat, M. Imdadun. Arus Baru Islam Radikal, Erlangga,
2005. Jakarta. Hal. X dan 75.
[6] Lihat Muthohirin, Nafi’. Fundamentalisme
Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus, Indo Strategi, 2014. Jakarta. Hal. 17-18 dan 32-33.
[8] Seorang ahli Islam dari
Center for Muslim and Christian Understanding, Georgetown University, Washington.
[9] Lihat Muthohirin, Nafi’. Fundamentalisme
Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus, Indo Strategi, 2014. Jakarta. Hal. 17-18 dan 32-33.
[10] Lihat Mahendra, Yusril
Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, Paramadina,
1999. Jakarta. Hal. 6-9 dan 17-18. Buku ini adalah Disertasinya Prof. Yusril
Ihza Mahendra, Ph.D. untuk memperoleh gelar Doctor of Philosophy di Universitas
Sains Malaysia pada tahun 1993.
[11] NU disebut demikian,
karena NU memang bertujuan untuk mempertahankan atau memelihara tradisi Islam
yang disebut paham “Ahlus Sunnah wal Jamaah” (ASWAJA). Tradisi itu
sebenarnya adalah sebuah konsensus besar di bidang teologi dan fikih. Di bidang
teologi, mereka mengikuti aliran kalam Asy’ariyah dan Maturidiyah. Di bidang
fikih, mereka mengikuti 4 madzhab besar, yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hanbali. Sedang di bidang Tasawuf mengikuti Al-Ghozali. Lihat Muhtadi, Asep
Saiful. Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama, LP3ES, 2004. Jakarta. Hal.
xxiii. Buku ini adalah terbitan dari Disertasi S3 nya.
[12] Lihat Muhtadi, Asep Saiful. Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama, LP3ES,
2004. Jakarta. Hal. 23 dan 134.
[13] Lihat buku Al-Islam
dan Kemuhammadiyahan III, tim penulis Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian
dan Pengembangan PP Muhammadiyah, 2016. Yogyakarta. Hal. 140.
[14] Lihat Mahendra, Yusril
Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, Paramadina,
1999. Jakarta. Hal. 6-9 dan 13-15.
[15] Lihat. Ida, Laode. NU
Muda Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, Erlangga. 2004. Hal. 11. Buku ini
adalah Disertasinya Laode Ida saat menempuh S3 di Universitas Indonesia pada
tahun 2002.
[17] Lihat Nashir, Haedar. Memahami
Ideologi Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, 2014. Yogyakarta. Hal. viii.
[18] Lihat Muthohirin, Nafi’. Fundamentalisme
Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus, Indo Strategi, 2014. Jakarta. Hal. 26 dan 36-38.
[20]Lihat Muniron. Ilmu Kalam (Sejarah,
Metode, Ajaran dan Analisis Perbandingan), STAIN Jember Press, 2015.
Jember. Hal. 123-149.
[21] Lihat Rusyd, Ibnu. Bidayatul
Mujtahid (Analisa Fiqih Para Mujtahid), Pustaka Amani, 2007.
Jakarta. Hal. xvi dan liv.
[23] Lihat Kasman. Hadits
Dalam Pandangan Muhammadiyah, Mitra Pustaka, 2012. Yogyakarta. Hal. vi.
Buku ini merupakan terbitan Disertasi S3 nya.
[25] Lihat Nashir, Haedar. Memahami
Ideologi Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, 2014. Yogyakarta. Hal. 117.
Lihat pula buku Al-Islam dan Kemuhammadiyahan III, tim penulis Majelis
Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, 2016.
Yogyakarta. Hal. 77.
[26] Lihat Setiawan, M. Nur
Kholis. Akar-Akar Pemikiran Progresif Dalam Kajian Al-Qur’an, eLSAQ
Press, 2008. Yogyakarta. Hal. VII.
[27] Lihat Dr. Alwi Shihab dalam Disertasinya di
Universitas Temple, Amerika Serikat, tahun 1995 yang telah diterbitkan menjadi
buku berjudul “Membendung Arus : Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap
Penetrasi Misi Kristen di Indonesia”, Suara Muhammadiyah, 2016. Yogyakarta.
Hal. xix.
[30] Lihat Kasman. Hadits
Dalam Pandangan Muhammadiyah, Mitra Pustaka, 2012. Yogyakarta. Hal. 57-77.
[31] Lihat Himpunan Putusan
Tarjih Muhammadiyah jilid 3, Suara Muhammadiyah, 2018. Yogyakarta. Hal.
128, 131, 137, 148, 151, dan 155.
[32]Hadis ini sanadnya Hasan, sedangkan penilaian imam
At-Tirmidzi yang menilai hadis ini sebagai hadis dhoif adalah tertolak. Lihat Rosidin. Koreksi Peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW, Banyumedia, 2013. Malang. hal. 8. Buku ini adalah terjemahan
kitab karya Hadlratus Syaikh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari yang berjudul “Tanbihat
al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bil Munkarot”.
[33] Syaikh Shafiyurrahman
Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, Sygma Publishing, 2010. Bandung. Hal.
222.
[34] Lihat Jurnal Walisongo
edisi 11 tahun 1999, ISSN 0852-7172. IAIN Walisongo Semarang. hal. 5. Tulisan
ini adalah abstraksi dari Disertasi Dr. Abdul Muhaya, M.A. saat menyelesaikan
S3 nya di IAIN Syarif Hidayatulloh Jakarta tahun 1998. Objek penelitiannya
adalah kitab Bawariq al-‘Ilma fir-Rad ‘Ala Man Yuharrimu as-Sama’ bil Ijma’ (Sebuah
Pembelaan Musik Sufi oleh Ahmad Al-Ghozali). Ahmad Al-Ghozali adalah adik imam
Ghozali pengarang kitab Ihya’ ‘Ulumuddin. Kitab Bawariq ini memiliki 3
manuskrip, pertama disimpan di Berlin, kedua di Kairo, dan ke-3 di Paris. J.
Robson seorang profesor bahasa Arab universitas Glasgow, mengedit teks kitab
tersebut dan kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku “Tracks on Listening
to Music : London, the Royal Asiatic Society, 1983.
[35] Lihat Himpunan Putusan
Tarjih Muhammadiyah jilid 3, Suara Muhammadiyah, 2018. Yogyakarta. Hal.
131, 156, 161-164, 181 & 183.
[37] Lihat Al-Barudi, Imad
zaki. Tafsir Al-Qur’an Wanita, Jilid 2, Pena Pundi Aksara, 2007.
Jakarta. Hal. 532.
[38] Lihat Himpunan Putusan
Tarjih Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, 2015. Yogyakarta. Hal. 287-288,
290-291, dan 297.
[39] Wawancara dengan MH, 23 th. Mahasiswa PTN di Jogja, aktivis KAMMI sebagai ketua Umum
Komisariat, th. 2009. Lihat A. Munir Mulkhan, dalam “Demokrasi
Dibawah Bayangan Mimpi NII”, Kompas, 2011. Jakarta. Hal. 226 & 231.
[40] Wawancara dengan SD, 48 th, pernah menikah 3 x, punya 9 anak (wawancara 10 juli 2008). Lihat
A. Munir Mulkhan, dalam “Demokrasi Dibawah Bayangan Mimpi NII”, Kompas,
2011. Jakarta. Hal. 255 & 262-263.
[43] Lihat Al-Barudi, Imad
zaki. Tafsir Al-Qur’an Wanita, Jilid 2, Pena Pundi Aksara, 2007.
Jakarta. Hal. 353.
[44] Kecuali Quraish Shihab. Dalam tafsirnya, secara implisit ia menyatakan :
“Ayat diatas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab karena agaknya
ketika itu sebagian mereka telah memakainya. Hanya saja
cara memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kesan ini
diperoleh dari redaksi ayat diatas yang menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah “Hendaklah mereka mengulurkannya”.
Lihat Shihab,Quraish. Al-Misbah
Jilid 10, Lentera Hati, 2011. Ciputat. Hal. 534.
[45] Utopis sering diartikan
sebagai khayalan. Ainur Rofiq al-Amin seorang mantan aktivis HTI yang akhirnya
memilih keluar dan kembali pulang ke “rumahnya” NU dalam disertasi S3 nya di
IAIN Sunan Ampel Surabaya menyatakan : “HTI pantas mendapat piala sebagai
pengkhayal terbesar abad ini karena proyek palsunya mewujudkan Negara Islam di
Indonesia”. Lihat al-Amin, Ainur Rofiq. Membongkar Proyek Khilafah ala
Hizbut Tahrir di Indonesia, LkiS, 2012. Yogyakarta.
[47] Anggaran Dasar
Muhammadiyah hasil keputusan Muktamar ke-45 di Malang tahun 2005, dalam buku
panduan “PWM Jawa Timur periode 2005-2010”. Hal. 38.
[48] Dikutib dari Budhy
Munawar Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam, Madani, 2017. Malang.
hal. 32.