MUHAMMADIYAH DI PERSIMPANGAN JALAN


oleh
Idris Mahmudi, Amd.Kep; M.Pd.I.[1]
No. HP : 081336385486

1. Latar Belakang
Sejak 1980-an, perkembangan Islam di Indonesia ditandai oleh munculnya fenomena menguatnya religiusitas umat Islam. Fenomena yang sering ditengarai sebagai kebangkitan Islam (Islamic revivalisme) ini muncul dalam bentuk meningkatnya kegiatan peribadatan, menjamurnya pengajian, merebaknya busana yang islami (jilbab besar atau cadar)[2], munculnya lembaga ekonomi Islam (bank Syariah), islamisasi hukum keluarga (UU Perkawinan), menguatnya warna keagamaan dalam sistem pendidikan (UU Pendidikan Nasional), fenomena “ijo royo-royo” di parlemen dan birokrasi, dipakainya simbol-simbol Islam dalam acara kenegaraan,[3] serta munculnya partai-partai yang memakai platform Islam. Fenomena mutakhir adalah dengan menguatnya tuntutan formalisasi Syariat Islam dalam negara, bahkan gerakan demonstrasi 212 yang terpicu akibat penistaan agama oleh Basuki Cahaya Purnama (Ahok) dituding oleh rezim sebagai dimotori oleh kepentingan politik Islam radikal.
Pasca reformasi 1998, kebangkitan Islam juga ditandai oleh munculnya aktor gerakan Islam baru. Aktor baru ini berbeda dengan aktor gerakan Islam yang lama, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Al-Washliyah, Jama’at Khair, dan sebagainya. Bahkan secara umum, awalnya umat Indonesia hanya bisa menyebut NU dan Muhammadiyah sebagai mainstream utama. Keran keterbukaan membuat faham-faham gerakan dan ideologi trans-nasional utamanya yang berasal dari Timur Tengah mulai menampakkan kelahirannya di bumi Indonesia. Gerakan mereka berada di luar kerangka mainstream. Fenomena munculnya aktor baru ini sering disebut “gerakan Islam Baru” (new Islamic movement). Gerakan dakwah yang dimotori kalangan mahasiswa melalui gerakan dakwah kampus di berbagai Perguruan Tinggi Umum (PTU) dengan metode “usroh” ini merupakan cikal bakal dari lahirnya 3 gerakan Islam baru yang menonjol, yakni Tarbiyah (yang kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera), Hizbut Tahrir Indonesia, dan Dakwah Salafi. Organisasi-organisasi baru inilah yang menjadi aktor utama revivalisme Islam di Indonesia kontemporer.
Organisasi-organisasi yang sering disebut “gerakan Islam Baru” (new Islamic movement) ini dapat dilacak asal-muasal pemikirannya dari berbagai organisasi gerakan Islam di Timur Tengah. Gerakan Tarbiyah pemikirannya sangat dekat dengan Ikhwanul Muslimin (IM), bahkan menyebut dirinya “anak ideologis” IM di Mesir. Hizbut Tahrir Indonesia secara resmi merupakan cabang dari Hizbut Tahrir Internasional yang berpusat di Yordania.[4] Sedangkan dakwah Salafi termasuk di dalamnya Lasykar Jihad adalah himpunan dari para aktivis dakwah Salafi yang berjejaring dengan gerakan Salafi di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi dan Kuwait.[5]
Bassam Tibi dalam berbagai tulisannya mengkategorikan kelompok-kelompok keagamaan tersebut sebagai kelompok gerakan Islam fundamentalis. Mereka merupakan komunitas muslim yang kecewa terhadap kemajuan barat, sehingga menurut perspektif mereka perlu kekuatan politik Islam untuk melawannya. Politik Islam dianggap mampu mengembalikan kejayaan Islam di masa kekhalifahan Turki Usmani. Kelompok Islam fundamentalis memiliki cara pandang keagamaan yang kaku, literalis dan tertutup. Dalam sikap keseharian, aktivisnya mudah menyalahkan penafsiran orang lain. Kebenaran dianggap mutlak datang dari hasil pemikirannya dan menolak pendapat yang berbeda dari kelompoknya. Tak pelak, bila cara pandang yang demikian ini mudah menimbulkan klaim sepihak dan akhirnya memunculkan aksi kekerasan. Dalam bukunya “The Challange of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder” Bassam Tibi secara luas menangkap gerakan Islam fundamentalis sebagai penyebab kekacauan dunia modern. Ia menegaskan, kemunculan gerakan-gerakan ini semakin memperparah benturan peradaban sebagaimana yang dikemukakan Samuel P. Huntington.[6] Kaum fundamentalis sering membangun klaim kebenaran mutlak berdasarkan logika yang tidak mengindahkan penyelidikan kritis. Waspadalah terhadap segala gerakan keagamaan yang berusaha membatasi kebebasan intelektual dan integritas individu pengikutnya. Ketika para penganut individual mengabaikan tanggung jawab pribadi dan mengabdi pada otoritas pemimpin karismatik atau diperbudak oleh gagasan atau ajaran tertentu, maka agama / ajaran / aliran itu dapat dengan mudah menjadi kerangka bagi kekerasan dan kerusakan.[7]
John L. Esposito[8] menilai penyebutan “fundamentalis” bagi sejumlah gerakan ini sangat berlebihan, karena “fundamentalisme” sendiri sangat dekat dengan “radikalisme” serta kelahirannya berasal dari agama Kristen sebagai umat beragama yang punya ciri literalis, statis, dan ekstrim.[9] Yusril Ihza Mahendra dalam disertasinya menyatakan bahwa istilah modernisme dan fundamentalisme mengandung beberapa masalah dan bahkan kontroversial. Modernisme dan fundamentalisme adalah istilah yang acapkali digunakan secara tidak seimbang dan jauh dari sikap netral. Gejala seperti itu memang bisa saja terjadi, jika pihak yang menggunakannya berada dalam suatu posisi yang berseberangan dengan pihak lainnya. tokoh-tokoh yang biasa digolongkan “modernis” dan “neo-modernis” menggunakan istilah “fundamentalisme” dengan nada yang berbau sinisme. Fazlur Rahman misalnya, menyebut kaum fundamentalis sebagai “orang-orang yang dangkal dan superfisial, anti intelektual, dan pemikirannya tidak bersumberkan kepada Al-Qur’an dan budaya intelektual tradisional Islam”. Bagi Nurcholish, fundamentalisme menyebarkan gagasan-gagasan yang “palsu dan bersifat menipu”. Di masa sekarang, menurutnya, fundamentalisme telah menjadi “sumber kekacauan dan penyakit mental” yang baru dalam masyarakat. Akibat-akibat yang ditimbulkannya jauh lebih buruk dibandingkan dengan masalah-masalah sosial yang sudah ada seperti kecanduan minuman keras dan penyalahgunaan narkoba. Menurut Allan Taylor, kaum fundamentalis adalah kelompok yang melakukan pendekatan konservatif dalam melakukan reformasi keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan pemurnian doktrin. Bagi Patrick Bannerman, kaum fundamentalis adalah kelompok ortodoks yang bercorak rigid dan ta’ashub. Daniel Pipes menyebut kaum fundamentalis sebagai “kaum legalis yang konservatif”.
Akibat istilah yang digunakan oleh media massa, secara sederhana pengertian “kaum fundamentalis muslim” kini cenderung diartikan sebagai kelompok Islam yang berjuang mencapai tujuannya dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Fundamentalisme Islam bagi media massa Barat tidak lain berarti “Islam yang kejam”, “Islam yang terbelakang” dan sejenisnya. Lebih jauh lagi, istilah “fundamentalisme Islam” sering pula dimanipulasi sedemikian rupa untuk memojokkan gerakan-gerakan Islam yang secara sadar berjuang untuk menentang dominasi politik dan kultural Barat di negeri mereka masing-masing. Pemerintah Indonesia sendiri secara khusus menggunakan istilah “ekstrim kanan” untuk menyebut kaum fundamentalis. Kelompok ini dituduh ingin mengganti “negara pancasila” dengan “negara Islam”.[10]
Disertasi dari Kasinyo Harto yang berjudul “Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus Gerakan keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang” menemukan keberadaan Harakah Tarbiyah, Salafi, HTI dan Jamaah Tabligh. Ia memetakan tipologi gerakannya menjadi 4 jenis, yakni Hizbut Tahrir masuk pada kategori tipologi pemikiran yang bercorak fundamentalis-radikal, gerakan Tarbiyah masuk pada tipologi pemikiran yang bercorak fundamentalis-rasional, Salafi lebih bercirikan pada keagamaan fundamentalis-literal, dan gerakan Jamaah Tabligh cenderung fundamentalis-tradisional. Ke-4 tipologi itu berbeda dengan model organisasi mainstream NU dan Muhammadiyah. NU (Nahdlatul Ulama) dikenal sebagai organisasi yang berhalauan “tradisional”.[11] Namun demikian, menurut Sitompul (1989 : 76), ia juga mampu bersikap radikal terutama apabila dirasakan perkembangan di luar dirinya mengancam keberadaannya sebagai golongan tradisional. Karena alasan yang sama, setelah menyaksikan secara langsung tradisi pemikiran NU pada Muktamar ke-26 tahun 1979, melalui tulisannya “The Radical Traditionalism of the Nahdlatul Ulama in Indonesia”, Nakamura (1996 : 68-94) akhirnya menjuluki organisasi para ulama ini sebagai “tradisonalisme radikal”. Dalam pandangan Latif dan Haryono (2001 : 6), sikap dan watak kiai umumnya tidak menggambarkan seorang demokrat sejati. Seperti ditemukannya pada sejumlah kiai di Jawa Timur, watak “asli” elite NU sesungguhnya lebih bersifat emosional, pemarah, dan bahkan oportunis.[12] Maka fenomena oknum Banser yang membakar bendera bertulis kalimat Tauhid (yang awalnya dianggap sebagai representasi dari bendera HTI) di Jawa Barat pada peringatan Hari Santri Nasional (HSN), Senin, 22 Oktober 2018 merupakan salah satu contoh sifat emosional, atau pemarah dari wajah “tradisonalisme radikal” itu. HTI dianggap sebagai ancaman bagi NU, selain konsep Khilafah yang bertentangan dengan ide kultural NU, seringkali aktivis HTI menggaet kader-kader NU sehingga memungkinkan terjadinya friksi.
Sementara, Muhammadiyah dikenal dan dikelompokkan sebagai organisasi “modernis”. Bagi Mukti Ali, modernisme adalah paham yang bertujuan untuk memurnikan Islam dengan cara mengajak umat Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, dan mendorong kebebasan berfikir sepanjang tidak bertentangan dengan teks Al-Qur’an dan hadis yang shohih. Oleh karena itu wajar jika Muhammadiyah kemudian dikenal dengan organisasi modernis, organisasi pembaharu (Tajdid) namun pada saat yang sama sebagai gerakan pemurnian (purifikasi / Tajrid) yang berslogan الرجوع إلى القرأن والسنة (kembali pada semangat ajaran Al-Qur’an dan Hadis / Sunnah Nabi SAW). Istilah Tajrid tidak sepopuler istilah Tajdid. Istilah ini dipopulerkan oleh Prof. Dr. Din Syamsuddin, M.A. ketua PP Muhammadiyah periode tahun 2005-2015 melalui bukunya “Muhammadiyah Untuk Semua”. Dikatakan bahwa Muhammadiyah berada antara Tajrid dan Tajdid. Dalam ibadah Tajrid, hanya ikut Nabi SAW dan tidak ada pembaharuan, sedang dalam muamalah Tajdid, yakni melakukan modernisasi dan pembaharuan.[13] Kaum modernis berusaha menggalakkan ijtihad dan membedakan doktrin ke dalam 2 bidang, yaitu ibadah dan muamalah. Dalam bidang ibadah, semua peraturannya telah diperinci oleh syari’ah, sehingga tidak ada lagi “kreativitas” dalam bidang ini. Dalam bidang muamalah, syari’ah hanya memberikan “prinsip-prinsip umum” disamping menetapkan hudud (batas-batas) yang tidak boleh dilampaui. Dalam bidang mu’amalah ini, kaum modernis berpendapat bahwa “kreativitas” harus didorong. Mereka berdalih bahwa tanpa ijtihad (kreativitas), Islam akan kehilangan relevansinya dengan zaman.[14]
Label tradisionalis pada NU dan modernis pada Muhammadiyah ternyata tidaklah stagnan, ia amat dinamis bahkan saat ini seperti gerak pendulum. Pada tahun 1970, Nurcholish Madjid melihat bahwa Muhammadiyah sudah tidak lagi menjadi organisasi pembaharu sebagaimana klaim awalnya. Orang-orang di luar NU sendiri tak jarang merasa terkejut dengan dinamika kelompok pembaharu (di tubuh NU), karena telah melangkah jauh lebih maju bila dibandingkan dengan potret tradisionalnya tadi. Abdul Munir Mulkhan, seorang tokoh Muhammadiyah asal Yogyakarta, misalnya, bahkan melihat lompatan jauh pembaharuan yang dilakukan oleh anak-anak muda NU melampaui dinamika yang ada dalam kelompok Islam yang sudah sejak awal memperoleh label sebagai pembaharu.[15] Gejala pembaharuan justru nampak pada Nahdlatul Ulama (NU), tapi organisasi inipun bersikap setengah hati dalam pembaharuan. Sehingga kesimpulannya, 2 organisasi arus utama (mainstream) terbesar itu sudah menjadi kubu konservatif dan tidak mampu merespon tantangan-tantangan zaman. Bahkan, dengan misi purifikasinya, Muhammadiyah ingin kembali kemasa Salaf, 3 generasi sesudah zaman Nabi.[16] Jika demikian, maka Muhammadiyah bukan lagi “Islam Berkemajuan”, namun justru menjadi “Islam Berkemunduran”. Gejala ini juga dirasakan oleh Dr. Haedar Nashir ketua PP Muhammadiyah periode tahun 2015-2020 dalam kata pengantar buku karyanya : “Demikian pula masih dijumpai sebagian kalangan yang hanya menekankan misi pemurnian (purifikasi, tandhif) dari Muhammadiyah, dengan melupakan atau mengabaikan misi pembaharuan (Tajdid, dinamisasi). Dalam memahami Islam juga lebih menekankan pendekatan bayani (harfiah-tekstual) semata, kurang atau tidak disertai dengan pendekatan burhani (rasional-kontekstual) dan irfani (intuitif-spiritual) sebagaimana diputuskan Muktamar ke-44 tahun 2000 dan Munas Tarjih”.[17]
Penelitian yang dilakukan oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta dengan laporan buku bertajuk “Benih-benih Islam Radikal di Masjid: Studi Kasus Jakarta dan Solo” pada rentang 2008-2009 berhasil memetakan varian ideologi Islam yang berinfiltrasi ke masjid-masjid di sekitar Jakarta dan Solo. Penemuan CSRC ini membuat kaget masyarakat dimana pasca jatuhnya rezim Orde Baru banyak kelompok Islam garis keras yang bermunculan di berbagai masjid di pedesaan dan perkotaan. Noorhaidi menjelaskan, secara tidak terduga ruang publik dipertontonkan dengan munculnya beberapa pemuda berjenggot (lihyah) dengan jubah (jalabiyah / imamah) dan celana tanggung diatas mata kaki (isbal), maupun perempuan-perempuan dengan baju hitam dan penutup muka (niqob). Keberadaan kelompok ini memunculkan varian Islam baru yang kaku (rigid) dalam upayanya melakukan pemurnian (purifikasi) tauhid serta membentuk klaster-klaster tersendiri.[18] Simbol-simbol yang dikenakan gerakan fundamental itu mengingatkan publik Indonesia akan memori hitam “aksi-aksi terorisme” atas nama agama dengan berbagai peledakan bom bunuh diri terutama “tiga serangkai” (Amrozi CS) di Bali dan disusul oleh “aksi-aksi” di tempat lain. Memori hitam itu akhirnya menghapus laporan Time dan Newsweek yang menggambarkan Indonesia sebagai negara muslim dengan wajah yang ramah (Islam with a smiling face).[19]
Gerakan-gerakan yang secara geneologis dari Timur Tengah itu tentunya juga berdakwah dan bergerak secara militan untuk mencari pengikut yang dijadikan kader-kader. Massa dan simpatisan dari Muhammadiyah maupun NU inilah yang kebanyakan disasar gerakan dakwah fundamentalis ini. Dengan watak taqlid, ekslusif dan tradisional-kulturalnya, NU justru lebih selamat baik massa maupun fasilitas-fasilitasnya dari sasaran gerakan dakwah fundamentalis ini. Lain halnya dengan Muhammadiyah, sikap toleran dan keterbukaan yang tinggi justru membuat massanya tanpa sadar masuk gerakan dakwah fundamentalis asal Timur Tengah tersebut. Dari 4 gerakan fundamentalis versi Kasinyo Harto tersebut (Harakah Tarbiyah, Salafi, HTI dan Jamaah Tabligh), nampaknya hanya Jamaah Tabligh yang sulit bahkan tidak mungkin diterima oleh massa / simpatisan Muhammadiyah. Hal ini karena aspek sufistik dan nalar spiritual Jama’ah Tabligh masih terjerat bid’ah, beraroma mistik sehingga tidak cocok dengan alam pikir Muhammadiyah yang kontekstual-rasional. HTI setelah dibubarkan cukup mampu dibaca oleh simpatisan Muhammadiyah bahwa HTI tidaklah sama dengan Muhammadiyah dan membuat beberapa orang Muhammadiyah “kembali pulang” ke rumah Muhammadiyah. Gerakan dalam selimut yang menyerang massa Muhammadiyah, bahkan cukup berhasil menggunakan / menguasai masjid-masjid Muhammadiyah adalah gerakan Tarbiyah. Banyak warga Muhammadiyah yang berpisah jalan menuju gerakan Tarbiyah namun tetap merasa bermuhammadiyah. “Murtadin Muhammadiyah” ini merasa masih bermuhammadiyah dan berdakwah di amal usaha Muhammadiyah, namun substansi dakwahnya justru menyebar ideologi Tarbiyah. Haedar Nashir saat menjabat Sekretaris Umum PP Muhammadiyah sempat mengeluarkan buku berjudul “Manifesto Gerakan Tarbiyah” untuk menangkal infiltrasi ideologi ini. Bahkan di eranya lahirlah SK PP Muhammadiyah nomer 149 yang memberi garis tegas antara Muhammadiyah dengan gerak dakwah Tarbiyah.
Kesehatan dan imunitas ideologi warga Muhammadiyah terhadap gerakan Tarbiyah mulai pulih meski masih ada yang merasa nyaman tinggal dan berdakwah disana. Kini infiltrasi baru muncul dari gerakan Salafi. Sifat Tajrid atau purifikasi Muhammadiyah menjadi titik temu sekaligus awal dari titik persimpangan jalan bagi warga Muhammadiyah menuju gerakan Salafi ini. Banyak warga Muhammadiyah yang tidak sadar bahkan mengalami “rabun ideologis” sehingga menganggap tidak ada beda antara Muhammadiyah dengan Salafi. Kasus itu persis yang dialami mahasiswi PRODI Matematika UM Jember, dan beberapa simpatisan bahkan tokoh Muhammadiyah yang militan di Salafi namun mengaku Muhammadiyah karena dianggap sama. Dari sinilah muncul anggapan bahwa Muhammadiyah itu Wahabi nya Indonesia. Betulkah Muhammadiyah itu Wahabi ? Betulkan Muhammadiyah itu sama dengan Salafi ? Kapankah atau seperti apakah garis batas demarkasi antara Muhammadiyah dengan ideologi-ideologi gerakan dakwah Timur Tengah ? Bagaimanakah ideologi-ideologi gerakan dakwah Timur Tengah itu bisa memasuki Muhammadiyah ? dan Bagaimana menangkal / membentengi warga Muhammadiyah dari ideologi-ideologi gerakan dakwah Timur Tengah itu ? Sekilas tulisan ini akan mencoba memaparkan dan memberi solusi.
2. Betulkah Muhammadiyah itu Wahabi ?
Wahabi diartikan sebagai orang-orang atau kelompok yang mengikuti faham pemikiran Muhammad Bin Abdul Wahhab. Muhammad Bin Abdul Wahhab dan para pengikut-pengikut awal sendiri menamakan gerakan mereka sebagai muwahhidun (موحد) yang diartikan sebagai gerakan pemurnian tauhid, atau salafi (سلفي) yang bermaksud sebagai generasi lampau yang mengikuti Nabi muhammad SAW atau Ahlul Hadis. Biasanya golongan ini merujuk pada 3 generasi pertama yang disebut sebagai generasi Sahabat, generasi Tabi’in, dan generasi Tabi’it-Tabi’in. Tidak ada istilah Wahabi yang muncul ketika itu. Penulis menduga bahwa istilah Wahabi itu sengaja dimunculkan oleh orang-orang orientalis untuk menstigmakan negatif gerakan Salafi ini.
Madzhab Salafi secara historis telah muncul pertama pada abad ke-4 H. Mereka adalah terdiri dari para ulama Hanabilah, para pengikut Ahmad bin Hanbal (w. 241 H / 855 M) yang ingin melakukan revitalisasi akidah ulama Salaf dan berusaha menolak paham lainnya. Selanjutnya paham ini muncul kembali pada abad ke-7 H oleh Ibnu Taimiyah (w. 729 H / 1329 M). Selanjutnya pada abad ke-12 H pemikiran serupa muncul kembali di jazirah Arab dihidupkan oleh Muhammad Bin Abdul Wahhab yang kemudian dalam sejarah dikenal dengan sebutan gerakan Wahabiyah. Sebagai sandaran legitimasi adanya kewenangan dan otoritas relegius pada 3 generasi umat Islam tersebut, kaum Salafi merujuk Q.S. At-Taubah : 100 berikut :
والسابقون الأولون من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان رضي الله عنهم ورضوا عنه وأعد لهم جنات تجري تحتها الأنهار خالدين فيها أبدا ذلك الفوز العظيم
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka syorga-syorga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Inilah kemenangan yang besar”.
Dengan ayat ini, kaum Salafi bermaksud mengatakan bahwa kaum Salafi itu seluruh perkataan dan tingkah lakunya mendapat perkenan di sisi Tuhan, jadi mereka semua adalah golongan yang berotoritas dan berwenang. Itulah sebabnya kaum Salafi beranggapan mempunyai otoritas dan wewenang dalam menjelaskan ajaran Islam sehingga layak dijadikan rujukan dalam memahami aqidah Islam. Inilah awal klaim otoritas kebenaran dari kelompok Salafi.
Dalam wajah yang ekstrim klaim kebenaran ini mengingatkan kita pada kaum Khowarij yang dalam penggalan sejarah melahirkan Ibnu Muljam yang merasa paling benar dan membunuh Ali bin Abi Tholib sahabat sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW. Jika dibiarkan, pikiran ekslusif, fanatik dan ekstrim ini pada titik tertentu akan menimbulkan anarkisme, dan fakta sejarah membuktikan itu. Klaim bahwa 3 generasi pertama adalah yang terbaik belumlah final, bahkan munculnya aliran-aliran pemikiran dalam Islam yang akhirnya saling friksi itu terjadi karenanya. Syi’ah, Murji’ah, Khowarij, Mu’tazilah, Qodariyah, Jabariyah, maupun Asy’ariyah adalah anak kandung dari polemik peradaban Islam tersebut. Hal itu bisa terjadi karena menurut Nurcholish Madjid, disinyalir masih memiliki problem krusial jika dihadapkan pada tingkat pribadi-pribadi para sahabat secara lebih mendalam, tidak sepenuhnya mereka terbebas dari segi-segi kekurangan. Meski pada kaidah hadis dalam tataran thobaqot sahabat muncul asas كل صحابة عدل (semua sahabat adalah baik dan diterima riwayat hadisnya). Lantas bagaimana dengan Syi’ah, yang hanya menerima integritas Ali bin Abi Tholib saja serta generasi temurunnya, bahkan 3 sahabat sebelumnya (Abu Bakar, Umar dan Usman) ditolaknya karena dianggap perampas otoritas Imamah yang telah “diwasiyatkan”. Lantas pertanyaannya, siapakah generasi Salaf itu ? siapakah yang diridloi dalam ayat 100 dari surat At-Taubah itu ? Inilah awalnya sebagai problem politis yang kemudian ditarik ke wilayah teologis dan akhirnya merembet menjadi klaim ideologis.
Metode berpikir Salafi sebagaimana dijelaskan oleh Zurkani Jahja, adalah metode berpikir yang berpegang teguh pada teks-teks wahyu secara harfiah. Kaum Salafi sebagai kelompok teolog Muslim yang paling minimal menggunakan akal dalam berfikirnya. Akal hanya menjadi bukti, bukan pembuat keputusan. Akal hanya menjadi penegas dan penguat wahyu, bukan pembatal dan penolak, posisi akal lebih sebagai penjelas dalil-dalil yang terkandung dalam Al-Qur’an. Mereka memposisikan akal berjalan di belakang Naql.[20] Dalam Tarikh Tasyri’, madzhab Maliki dan Hanbali dikenal sebagai pengembang metode tekstual (madzhab ahlul hadis). Dalam antologi madzhab, kelompok ini merupakan lingkaran ke-2 dari 5 lingkaran madzhab lain. Doktrin mereka, “Hadis dhoif harus lebih diprioritaskan dari pada rasio atau akal”.[21] Sementara, dalam mendefinisikan agama Muhammadiyah menyatakan :
الدين (اي الدين الاسلامي) الذي جاء به محمد" صعس" هو ما انزله الله في القران وما جاءت به السنة الصحيحة من الأوامر والنواهي والإرشادات لصلاح العباد دنياهم واخراهم
Agama yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ialah apa yang diturunkan di dalam Al-Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shohih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat”.[22]
Dalam definisi ini secara eksplisit disebutkan bahwa yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk merekonstruksi ajaran agama Islam menurut Muhammadiyah hanyalah Al-Qur’an dan Sunnah Shohihah. Sunnah-sunnah atau hadis Dhoif tidak dapat dijadikan dasar.[23] Bahkan lebih jauh Muhammadiyah menyatakan :
ومتى استدعت الظروف عند مواجهة امور وقعت ودعت الحاجة الى العمل بها وليست هي من امور العبادات المحضة ولم يرد في حكمها نص صريح من القرأن او السنة الصحيحة، فالوصول الى معرفة حكمها عن طريق الإجتهاد والإستنباط من النصوص الواردة على اساس تساوى العلل كما جرى عليه العمل عند علماء السلف والخلف
Bahwa dimana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ibadah mahdhoh padahal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash shorih di dalam Al-Qur’an atau sunnah shohihah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan Ijtihad dan Istinbath dari pada nash-nash yang melalui persamaan illat, sebagaimana telah dilakukan oleh ulama-ulama Salaf dan Khalaf”.[24]
Dalam MKCH (Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup) Muhammadiyah hasil muktamar ke-37 di Yogyakarta tahun 1968 dan ditindaklanjuti Tanwir di Ponorogo tahun 1969 urutan ke-3 point b, Muhammadiyah menjelaskan “Sunnah Rosul : penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam”.[25] Jadi, Muhammadiyah memberikan porsi pada akal fikiran, karena dengannya akan lahir kreativitas, dinamisitas dan progresifitas. Berbeda dengan Salafi yang menegasikan akal. Akal memungkinkan untuk melahirkan kreatifitas demi tetap terjaganya ruh agama dalam kehidupan yang selalu aktif dan dinamis. Oleh karena itu muncullah kaidah : الإسلام صليح في كل وقت وزمان (Islam itu relevan di setiap waktu dan tempat).
Rosul bukanlah seorang tokoh yang pasif, beliau bukan seorang yang selalu berorientasi ke belakang (Salaf), namun seorang yang aktif, dinamis, dan progresif. Al-Qur’an pun demikian. Kitab ini menolak cara pandang yang berorientasi ke belakang. Kitab ini berkali-kali mengingatkan agar umat Islam “tidak mengikuti apa yang dilakukan oleh bapak-bapak kami”. Kalaupun kitab ini menyuruh menengok ke belakang, ini adalah dalam rangka untuk “belajar ke masa lalu untuk menguntai masa depan”.[26] Maka tepat sekali slogan Muhammadiyah sebagai “Islam yang Berkemajuan”, bukan Islam yang berkemunduran. Penulis tidak bermaksud menyalahkan kaum Salafi, hanya ingin menegaskan bahwa konsep ideologi Salafi tidaklah cocok bagi bingkai ideologi Muhammadiyah. Salafi rigid dan puritan, sementara Nakamura mengkaji secara antropologis dan mengkategorisasikan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berwajah multidimensi antara pemurnian dan pembaharuan. James L. Peacock meneliti Muhammadiyah sebagai gerakan pemurnian yang membaharu yang daya pembaharuannya meluas, termasuk gerakan perempuannya (Aisyiyah) yang berpengaruh di dunia Islam.[27]
Dr. Alwi Shihab dalam Disertasinya menolak pandangan yang menyamakan Muhammadiyah dengan Wahabi sebagai lazim dikumandangkan sebagian kalangan. Penelitian ini menunjukkan, asumsi yang menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan puritan dan Salafi, yang berafiliasi kepada gerakan pembaharuan Wahhabiyah di Arab Saudi adalah asumsi yang salah. Asumsi ini didasarkan atas pertimbangan bahwa Muhammadiyah berusaha menjadikan Islam “lebih murni” di Indonesia dan membersihkannya dari sinkretisme. Pada kenyataannya, Muhammadiyah memiliki karakteristik perpaduan yang canggih sesuai dengan sasaran dan tujuannya yang bermacam-macam dalam rangka merespon kebutuhan zaman. Sejak berdirinya, Muhammadiyah menampilkan dirinya sebagai gerakan pembaharuan yang tidak sejalan dengan gerakan Wahhabiyah dalam hal-hal tertentu, terutama dalam pandangannya terhadap tasawuf.[28] Dr. Arbiyah Lubis dalam Disertasinya yang berjudul “Antara Muhammadiyah dan Muhammad Abduh” mengidentifikasi bahwa dalam hal Aqidah Muhammadiyah cenderung Asy’ariyah, namun dalam hal Muamalah, Muhammadiyah dekat pada Muhammad Abduh. Artinya, dilihat dari sini jika Muhammadiyah disamakan dengan Salafi / Wahabi adalah ahistoris.
Dr. Alwi Shihab menyatakan, “Mungkin cukup relevan disini untuk mencatat bahwa banyak sarjana yang keliru mengidentifikasi gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan yang anti sufi, dan karenanya secara longgar diasosiasikan dengan gerakan pembaharuan Wahhabiyah. Berdasarkan observasi saya, meskipun agak terbatas, gerakan Muhammadiyah, khususnya pada tahap-tahap awal kelahirannya, tidak pernah tampil sebagai gerakan yang anti sufi, apalagi untuk diasosiasikan dengan gerakan Wahhabiyah. Banyak sarjana yang mengabaikan kenyataan bahwa pada Kongres ke-3 Al-Islam di Surabaya, 24 Desember 1924, kaum muslim Indonesia, baik yang berasal dari kubu tradisionalis maupun pembaharu, antara lain membahas ajaran-ajaran Muhammadiyah. Konggres itu memutuskan bahwa Muhammadiyah bukanlah organisasi Wahhabiyah”.[29]
Lantas bagaimana dengan serangan bahwa ke-Wahabi-an Muhammadiyah nampak saat Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) pergi haji sambil belajar ke Mekkah bahkan diulang 2 kali dan terpengaruh pikiran-pikiran Wahabi ? Rentang masa hidup Dahlan adalah 1 Agustus 1868 hingga 23 Februari 1923. Sedang Muhammad bin Abdul Wahhab hidup pada 1703-1787. Jadi, Dahlan tidak pernah bertemu dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, apalagi berguru langsung padanya. Dahlan naik haji yang pertama pada Rojab 1308 H (1890 M). Sambil menunaikan ibadah haji, Dahlan memanfaatkan untuk memperdalam ilmu pengetahuan keislamannya kepada beberapa ulama Indonesia maupun Arab. Beberapa ulama yang dituju antara lain K.H. Mahfudz Termas, K.H. Nahrawi Banyumas, K.H. Muhammad Nawawi Banten, dan beberapa ulama Arab di Masjidil Haram termasuk Bakri Syata’ (yang memberikan ijazah nama Ahmad Dahlan pada Muhammad Darwis) salah seorang pengikut Imam Syafi’i. Pada tahun 1903, Dahlan berangkat naik haji kedua kalinya. Pada waktu naik haji kedua ini, Dahlan tinggal sekitar 2 tahun di Mekkah untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman. Menurut catatan muridnya, Dahlan berguru kepada K. Mahfudz Termas, K. Muhtarom Banyumas, Syeh Shalih Bafadhol, Syeh Sa’id Jamani, dan Syeh Sa’id Babusyel dalam bidang  ilmu fiqih, Mufti Syafi’i dalam ilmu hadis, K. Asy’ari Bawean dalam ilmu falaq, dan Syeh Ali Mishri dalam ilmu qiro’at. Selama di Mekkah ini, Dahlan juga menjalin persahabatan dengan beberapa ulama dari Indonesia, antara lain Syeh Muhammad Khatib Minangkabawi, K. Nawawi Bantani, K. Mas Abdullah Surabaya dan K. Fakih Maskumambang Gresik. Berbeda dengan ketika haji yang pertama, pada saat menunaikan haji kedua ini, Dahlan berinteraksi dengan gerakan pembaharuan. Menurut Djarnawi Hadikusuma, orang yang berjasa memperkenalkan Dahlan dengan gerakan pembaharuan adalah K.H. Baqir, seorang alim yang masih kerabat sendiri dan sudah bermukim di Mekkah sejak 1890. Alim inilah yang mempertemukan dan memperkenalkan Dahlan dengan ulama pembaharu Rasyid Ridha yang kebetulan sedang berada di tanah suci. Disamping berkenalan dengan Rasyid Ridha, Dahlan disinyalir juga membaca tulisan mujaddid yang selalu menekankan perlunya kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, misalnya karya-karya Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al-Jawziyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, dan karya Rasyid Ridha sendiri.
Ada perbedaan yang menarik menyangkut referensi Dahlan antara sebelum dan sesudah haji yang kedua. Sebelum naik haji yang kedua kitab-kitab yang dipelajari Dahlan sama dengan kitab-kitab yang dipelajari kebanyakan ulama Indonesia yakni kitab-kitab yang beraliran ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam bidang aqo’id, kitab-kitab dari madzhab Syafi’i dalam bidang fiqih, dan kitab-kitab Al-Ghozali dalam bidang tasawuf. Jadi lazim jika beredar kitab fikih jilid 3 yang menyatakan konsep amaliyah ibadah praktis Dahlan seperti NU, karena memang awalnya cenderung Syafi’iyyah. Lantas benarkah jika dikatakan bahwa Muhammadiyah saat ini sudah melenceng dari pendirinya Dahlan yang dulunya amaliyah ubudiyah praktisnya seperti NU ? Terlalu reduktif dan tendensius mengatakan hal itu. Proses pikiran seseorang selalu berjalan. Sangat mungkin Dahlan merubah ijtihadnya menjadi seperti amalan Muhammadiyah saat ini sesuai yang dikukuhkan oleh Majelis Tarjih. Hal itu sah-sah saja, sebagaimana Syafi’i pun merubah pendapatnya hingga lahir Qoul Qodim dan Qoul Jadid. Setelah naik haji kedua, kitab-kitab yang dibaca dan banyak dirujuk Dahlan antara lain Tafsir Al-Manar (Rasyid Ridha), at-Tawashul wal Wasilah (Ibnu Taimiyah), kitab-kitab Ibnu Taimiyah lainnya yang banyak mengupas hal-hal yang bid’ah, majalah Al-Manar dan al-Urwatul Wutsqa, kitab-kitab hadis karya ulama madzhab Hanbali dan kitab at-Tauhid (Muhammad bin Abdul Wahhab). Tampaknya pemikiran Ibnu Taimiyah dan Muhammad Abduh mendapat tempat istimewa di hati Dahlan. Jika pemikiran Ibnu Taimiyah di tangan Muhammad bin Abdul Wahhab ditampilkan dalam corak literal dan puritan, tetapi di tangan Muhammad Abduh (gurunya Rasyid Ridha yang bertemu dengan Dahlan) tampil dalam corak rasional dan liberal. Mencermati hal diatas, dapatlah dikatakan bahwa Muhammadiyah lahir dari pergumulan Dahlan terhadap teks dan konteks.[30] Pikiran-pikiran moderat Syafi’i, pikiran-pikiran puritan pengkiut Hanbali seperti Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab, serta pikiran-pikiran progresif Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha pernah mampir dalam perjalanan hidup Dahlan. Jadi, disinilah hebatnya Dahlan / Muhammadiyah yang berada diantara puritan dan rasional, diantara literal dan liberal, diantara teks dan konteks, dan diantara Tajrid (pemurnian) dan Tajdid (pembaharuan). Untuk melaksanakan Tajdid, diperlukan aktualisasi akal fikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih yang dijiwai oleh ajaran Islam. Muhammadiyah bukan lagi Abduh yang liberal, bukan pula Salafi yang distigma Wahabi yang literal, apalagi Syafi’i yang diklaim NU sebagai moderat-akomodatif yang tradisional. Muhammadiyah adalah gerakan Islam wasatiyah khas Indonesia hasil dari  kontemplasi dan artikulasi pikiran-pikiran multidimensional Dahlan.
3. Betulkah Muhammadiyah sama dengan Salafi dan beberapa Ideologi TransNasional Lain ?
Terlalu banyak ketidaksamaan antara Muhammadiyah dengan Salafi. Berikut ini sekilas tabel antologi pemikiran Muhammadiyah jika diperhadapkan dengan Salafi :
Tabel Diadaptasi dari hasil analisis Idris Mahmudi dari berbagai sumber literasi


Demi cepat terselesaikannya tulisan ini, maka penulis memilih beberapa item saja untuk dibahas. Yang pertama terkait perspektif tentang musik. Ibnu Taimiyah adalah salah satu ulama Hanabilah yang sering dirujuk kaum Salafi. Dalam Majmu’ Fatawa 10 / 417 Ibnu Taimiyah menyatakan :
والمعازف هي خمر النفوس تفعل بالنفوس اعظم مما تفعل حميا الكؤوس
Dan alat-alat musik itu adalah khomernya jiwa, pengaruhnya lebih dahsyat dibanding khomer dalam gelas”.
Kemudian lebih jauh ia menyatakan :
والغناء رقية الزنا
Nyayian itu adalah mantra perzinahan”. (10 / 418).
Kesenian merupakan bagian kodrati (fitroh) manusia itu sendiri, sebagai perwujudan nilai keindahan manusia. Islam adalah agama yang sesuai dengan fitroh manusia. Kesenian adalah sebagian dari kebudayaan manusia yang lahir dari rasa / emosional manusia dan menjadikan manusia merasakan keindahan dalam hidup, sebagaimana ciptaan Allah ini adalah indah, sebab Allah sendiri adalah maha indah dan menyukai keindahan. Kesenian merupakan ekspresi jiwa manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Merupakan suatu hal yang mustahil, jika Allah yang menganugerahkan kepada manusia potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan, kemudian Dia melarangnya. Oleh karena itu, agama Islam mendorong berkembangnya kesenian. Rosul SAW sendiri pernah menganjurkan memainkan rebana untuk memeriahkan suatu pesta perkawinan agar menjadi lebih semarak.[31] Rasul bersabda:
أعلنوا هذا النكاح واجعلوه في المساجد واضربوه عليه بالدف
Umumkanlah pernikahan ini, selenggarakanlah di masjid-masjid, dan tabuhlah rebana pada (acara) pernikahan”.[32]
Bahkan pada peristiwa hijrah ke Madinah, Rosululloh disambut dengan meriah. Wanita-wanita Anshor menyanyikan bait-bait berikut sebagai ekspresi kegembiraan dan keriangan.
طلع البدر علينا
من ثنيات الوداع
وجب الشكر علينا
ما دعى لله داع
أيها المبعوث فينا
جئت بالأمر المطاع
Bulan purnama telah menyinari kita, Dari lembah Tsaniyyatil Wadā‘. Wajiblah kita mengucap syukur, Selama ada yang berdoa kepada Allah. Wahai orang yang diutus kepada kami, Engkau telah membawa perkara yang ditaati.[33]
Perbedaan pendapat tentang hukum musik dapat diketahui bahwa sebagian besar ahli fikih, seperti Abu Hanifah, Malik, Hanbaliyah, Sofyan al-Tsauri, Hammad, Ibrahim, Ibnu Abi al-Dunya dan Ibnul Jauzi mengharamkan musik. Sedangkan disisi lain, sebagian besar ulama sufi, seperti Dzun Nun Al-Mishri, Abu Ya’qub al-Nahrajuri, al-Junaid, Abu Tholib, al-Makki, al-Sarraj, al-Qusyairi, Abu Hafs Umar Suhrawardi, al-Syadzili, Muhammad al-Ghozali, Ahmad al-Ghozali dan lain sebagainya menghalalkan musik dan bahkan mereka menggunakannya sebagai sarana peningkatan kualitas spiritualitas. Dalam pendekatan tasawuf, selain melalui maqomat, tingkatan tauhid murni juga bisa dicapai melalui jalan mendengarkan musik. Karena menurut Ahmad al-Ghozali mendengarkan musik itu dapat menghilangkan tabir hati, menggelorakan rasa cinta Ilahi, mengantarkan seorang sufi ke derajat kesempurnaan dan ke tingkatan Musyahadah.[34]
Kecintaan orang kepada nabi Muhammad SAW telah melahirkan berbagai bentuk puisi yang berisi pujian kepada beliau, semisal karya puisi al-Barzanzi, bahkan karya ini kemudian tidak hanya diapresiasi melalui pembacaannya, melainkan ditampilkan dalam suatu acara membaca Barzanzi. Prof. Dr. H. A. Mukti Ali, M.A. dalam amanat pada pembukaan MTQ nasional pernah mengemukakan bahwa untuk hidup yang baik di dunia, paling tidak harus didukung oleh 3 hal, yaitu : agama, ilmu, dan seni. Dengan agama hidup kita menjadi terarah, dengan ilmu hidup kita menjadi mudah, dan dengan seni hidup kita menjadi indah. Hadis Nabi SAW riwayat Muslim menyatakan, “sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan”. Memang ada beberapa hadis yang keras melarang membuat patung dan melukis. Dalam memahami hadis-hadis tersebut Muhammadiyah tidak hanya menggunakan metode Bayani saja, tapi juga menggunakan metode Burhani (konteks), dan metode Irfani (filosofi intuisi).
Sebenarnya agama dan seni budaya tidak memiliki pertentangan sejauh seni budaya hanya merupakan pengungkapan dan apresiasi keindahan. Masalah kesenian banyak disoroti oleh nabi SAW, seperti seni patung, seni suara, seni tari, dan seni lukis. Peringatan Rosul SAW tersebut dapat dipahami dalam rangka menjaga tauhid dan keimanan. Ditinjau dari segi asas umum ajaran agama, tari, nyanyi dan musik termasuk kategori muamalah duniawiyah yang asasnya adalah “segala sesuatu itu pada dasarnya boleh sampai ada dalil yang melarang” ( الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم ). Atas dasar itu maka menari, menyanyi, dan memainkan musik pada dasarnya mubah (boleh). Larangan timbul karena suatu yang lain, misalnya dilakukan dengan cara dan tujuan yang tidak dibenarkan agama. Adapun larangan-larangan Islam terhadap kesenian tertentu seperti seni patung, seni lukis yang porno, seni tari yang menampakkan aurat dan lainnya, larangan-larangan tersebut ada Illat atau sebabnya. Jika sebab tersebut tidak ada, maka tidak ada pula larangannya sebagaimana bunyi kaidah ushul fikih :
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
 Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya Illat hukum. Maksudnya, jika illat atau sebab pelarangan itu ada, maka hukumnya juga ada yakni dilarang. Sebaliknya jika sebab pelarangannya tidak ada, maka demikian pula hukumnya tidak ada”.
Sebagai contoh, membuat patung pada zaman dahulu itu hukumnya haram. Ini karena patung atau berhala itu dijadikan sesembahan oleh orang-orang pada waktu itu. Namun sekarang ini, ada orang membuat patung bukan untuk disembah, tapi untuk dijadikan alat pendidikan, hiasan dan lainnya, maka apakah hukumnya juga haram ? Tentu tidak, karena hukum larangan itu berlaku menurut ada atau tidak adanya illat atau sebab yang menjadi dasar pelarangannya. Oleh karena illatnya (yaitu patung untuk disembah) tidak ada, maka hukumnya (larangannya) juga tidak ada.
Dalam HPT Muhammadiyah jilid 1 (2015 halaman 284-285) bab hukum Alatul Malahi (alat bunyi-bunyian atau musik) hukumnya berkisar pada illatnya (sebabnya), dan ia ada 3 kategori :
1.    Jika menarik pada keutamaan seperti menarik kepada keberanian di medan peperangan, hukumnya sunat.
2.    Jika untuk main-main belaka (tak mendatangkan apa-apa), mukumnya makruh.
3.    Jika menarik kepada maksiat, hukumnya haram.
Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah ke-23 tahun 1995 di Banda Aceh yang mengangkat tema “Kebudayaan dan  Kesenian dalam Perspektif Islam” memutuskan diktum-diktum sebagai berikut :
1.    Seni adalah salah satu fitrah manusia yang dianugerahkan Allah, yang harus dipelihara sesuai dengan ketentuan Allah.
2.    Menciptakan dan menikmati karya seni hukumnya mubah (boleh), selama tidak mengarah dan mengakibatkan fasad (kerusakan), dharar (bahaya), ‘Isyan (kedurhakaan), dan ba’id anillah (menjauhkan diri mengingat Allah).
Selanjutnya keputusan ini dipertegas lagi dalam Muktamar Muhammadiyah ke-44 tahun 2000 di Jakarta yang menetapkan “Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHI-WM)”. Pedoman ini memuat pedoman warga Muhammadiyah dalam kehidupan seni budaya, dengan diktum-diktum sebagai berikut :
1.    Setiap warga Muhammadiyah baik dalam menciptakan maupun menikmati seni budaya, selain dapat menimbulkan perasaan halus dan keindahan, juga menjadikan seni dan budaya sebagai sarana, media atau sarana dakwah untuk membangun kehidupan yang berkeadaban.
2.    Menghidupkan sastra Islam sebagai bagian dari strategi membangun peradaban dan kebudayaan manusia.
Muhammadiyah sesungguhnya dapat disebut sebagai gerakan dakwah Islam yang juga merupakan gerakan budaya yang penuh nilai keagamaan Islam. Bagi Muhammadiyah, dakwah adalah wajib ‘ain (kewajiban pribadi) dan wajib kifayah (kewajiban kolektif yang dilaksanakan secara organisasi). Untuk suksesnya dakwah Muhammadiyah tersebut dperlukan media yaitu seni dan budaya. Bahkan melalui kaidah fikih :
مالايتم الواجب إلابه فهو واجب
Tidak sempurna suatu kewajiban tanpa dengannya, maka hal yang dapat menyempurnakan itu menjadi wajib”.
Maka hukum seni dan budaya dapat dipahami sebagai suatu hal yang wajib, demi suksesnya dakwah Muhammadiyah (wajib ain maupun wajib kifayah). Bagi Muhammadiyah, kalau tujuannya untuk dakwah, karena dakwah hukumnya wajib, maka kesenian (salah satunya musik / nyanyian) hukumnya dapat menjadi sunnah atau wajib, paling tidak menjadi wajib kifayah.[35] Karena dengan sarana / media kesenian itu dakwah bisa tercapai dengan baik. Maka tidak heran jika lagu “Sang Surya” sangat mendarah daging bagi aktivis, warga maupun simpatisan Muhammadiyah.
Pembahasan kedua tentang peran dan penampilan wanita. 2 ayat dalam Al-Qur’an, yaitu Q.S. An-Nur : 60 dan Al-Ahzab : 33 menjadi menjadi landasan teologis akan minimnya peran wanita di sektor publik. Wanita sebaiknya di rumah saja, karena sering bertabarruj, tidak aman baginya, dan mengundang perzinahan. Kata (تبرجن) tabarrajna dan (تبرج) tabarruj terambil dari kata (برج) baraja, yaitu tampak dan meninggi. Dari sini kemudian ia dipahami juga dalam arti kejelasan dan keterbukaan karena demikian itulah keadaan sesuatu yang tampak dan tinggi. Larangan ber-tabarruj berarti larangan menampakkan “perhiasan” dalam pengertiannya yang umum yang biasanya tidak ditampakkan oleh wanita baik-baik, atau memakai sesuatu yang tidak wajar dipakai, seperti berdandan secara berlebihan, atau berjalan dengan berlenggak-lenggok, dan sebagainya. Menampakkan sesuatu yang biasanya tidak ditampakkan (kecuali kepada suami) dapat mengundang decak kagum pria lain yang pada gilirannya dapat menimbulkan rangsangan atau mengakibatkan gangguan dari yang usil.[36]
Al-Qurthubi berkata dalam tafsir al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’an, “Ayat ini menunjukkan perintah kepada kaum perempuan untuk selalu tinggal di rumah. Walaupun seruan ini ditujukan secara khusus untuk istri-istri Rasululah, tapi tercakup di dalamnya perintah kepada semua muslimah. Secara tegas, syariat Islam telah mewajibkan kaum perempuan untuk selalu tinggal di rumah dan tidak keluar rumah kecuali dalam keadaan darurat. “Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kepada kalian keluar–rumah untuk memenuhi hajat (keperluan) kalian.” (HR Bukhari, hadits sahih). Nawawi mengatakan bahwa maksud Ibnu Hisyam mengenai sabda Rasulullah, “Sesungguhnya Allah telah mengizinkan kepada kalian keluar rumah untuk memenuhi hajat-hajat kalian,” adalah keluar untuk buang air besar, bukan semua bentuk keperluan duniawi. Nawawi juga berkata, “Hadits ini menunjukkan bolehnya seorang wanita keluar dari rumah suaminya untuk buang hajat (buang air besar) di tempat yang sudah menjadi kebiasaan orang-orang buang hajat tanpa minta izin dari suami. Al-Qurthubi menegaskan bahwa agama dipenuhi oleh tuntutan agar wanita-wanita tinggal dirumah dan tidak keluar rumah kecuali keadaan darurat. Al-Maududi pemikir Muslim Pakistan kontemporer dalam bukunya al-Hijab, menulis bahwa “Tempat Wanita adalah dirumah, mereka tidak dibebaskan dari pekerjaan luar rumah dengan tenang dan hormat sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah tangga. Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk keluar, boleh saja mereka keluar rumah dengan syarat memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu”. Thahir Ibn Asyur menggarisbawahi bahwa perintah ayat ini ditunjukkan kepada istri-istri Nabi sebagai kewajiban, sedang bagi wanita-wanita muslimah selain mereka sifatnya adalah kesempurnaan. Yakni, tidak wajib tetapi sangat baik.[37]
Dalam Himpunan Putusan Tarjih, Muhammadiyah menyatakan “Tiada halal bagi wanita bepergian perjalanan sehari atau lebih, kecuali beserta mahramnya atau suaminya, dan kecuali untuk keperluan yang diizinkan Syara’ serta aman. Demikian pula wanita boleh bepergian seorang diri dalam perjalanan sehari atau lebih, jika perjalanan itu untuk keperluan yang diinginkan Syara’ dan dalam keadaan aman. ‘Adi bin Hatim berkata: Waktu aku di hadapan Nabi saw. Tiba-tiba ada seorang lelaki datang mengadukan kepada beliau tentang kemiskinan,  kemudian datanglah seorang lagi yang mengadukan tentang gangguan jalan (tidak ada keamanan); maka sabda beliau saw; “sudah pernah lihatkah kamu desa Hirah,  hai ‘Adi?’’ Jawabku “Belum, tetapi sudah pernah mendengar beritanya”.  Sambung beliau: “kalau kiranya panjang umurmu tentulah kamu akan mengalami zaman seorang wanita bepergian dari desa Hirah itu sampai berthawaf (mengelilingi)  Ka’bah dengan tiada yang ditakuti melainkan Allah ’’.  Kata ‘Adi “Dikemudian hari aku melihat wanita bepergian dari desa Hirah itu sehingga berthawaf di Ka’bah, tiada yang ditakuti melainkan Allah’’. (Diriwayatkan oleh Bukhari). Tarjih Muhammadiyah juga menyatakan, Pria mengajar wanita itu boleh. Wanita mengajar pria pun boleh, karena tidak ada larangan yang mencegah hal itu, yang sudah tentu saja disyaratkan adanya keamanan, seperti memejamkan mata hati dan tidak berkhalwat (menyendiri, berduaan). Di halaman lain dinyatakan, Setelah rapat mendengarkan hujjah masing-masing pihak yang membolehkan wanita bepergian asal dengan aman, dan yang tak membolehkannya kecuali dengan mahram, ternyata kuat kedua-duanya, maka forum rapat berpendapat bahwa hal ini maukuf, artinya Majelis belum dapat memutuskan di antara kedua itu.[38]
Dilema wanita berperan di sektor publik masih menimbulkan perdebatan pada sebagian kelompok Islam. Namun bagi Muhammadiyah, hal itu dianggap selesai dengan terjaminnya keamanan, tidak terjadinya fitnah, dan keluar dengan menutup aurot. Oleh karenanya penghargaan Muhammadiyah terhadap wanita dengan bukti munculnya Organisasi Otonom Aisiyah yang sangat egaliter. Berbeda dengan kelompok-kelompok organisasi Islam lain sebagaimana kasus berikut :
ada banyak kendala bagi perempuan untuk menjadi pemimpin, terutama kendala personal, mungkin yang menyangkut fisik. Kepemimpinan perempuan di KAMMI belum pernah terjadi dan belum bisa diramal itu bisa terjadi. Secara sistem hal itu tidak dikehendaki teman-teman aktivis KAMMI ini. Karena memang semua masih menganggap, bahwa yang berada di posisi puncak adalah seorang laki-laki yang memiliki kelebihan fisik dibanding wanita”.[39]
Lebih ekstrim pengakuan kelompok Salafi berikut :
semua istri dari pria ini tidak ada yang bekerja. Ketika istrinya minta izin untuk bekerja dengan menggunakan ijazah yang dipunyai, ijazahnya dirobek, dia mengatakan “sudahlah saya masih mampu memberi nafkah”. Istrinya lalu berkata “ini kan ijazah sebagai bukti saya sekolah”. Pria Betawi ini berkata “selama masih bersama saya, saya tidak akan mengizinkan istri untuk bekerja”. Istrinya pun berkata “ya sudah, kalau begitu sobek saja ijazah itu”. “kalau kamu masih mau mentaati dan mendengar perkataan suamimu, ikuti kata-kata saya”.[40]

Problem baru muncul lagi mengenai bagaimana menutup aurot itu, dan manakah aurot wanita itu ? Dalam situs resmi kaum Salafi (muslim.or.id), penulis mendapati pernyataan Ahmad Bin Hanbal :
كل شيء منها (اي من المرأة الحرة) عورة حتى الظفر
Setiap bagian tubuh wanita adalah aurot, termasuk pula kukunya”. (dinukil dari Zaadul Masiir, 6/31).
Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin berkata :
القول الراجح في هذه المسألة وجوب ستر الوجه عن الرجال الأجانب
Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah wajib hukumnya bagi wanita untuk menutup wajah dari pada lelaki yang bukan mahrom”. (Fatawa Nurun ‘Alad Darb).[41]
Konstruksi menutup aurot atau memakai jilbab termaktub dalam Q.S. An-Nur : 31 dan Q.S. Al-Ahzab : 59. Sengaja untuk menghemat waktu penulis tampilkan Q.S. Al-Ahzab : 59 saja :
يأيها النبي قل لأزوجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلبيبهن . ذلك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين . وكان الله غفورا رحيما.
Hai Nabi, katakanlah pada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, “hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang”.
Kata (جلباب) jilbab diperselisihkan maknanya oleh ulama. Al-Biqa’i menyebut beberapa pendapat. Antara lain, baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya, atau semua pakaian yang menutupi wanita. Kalau yang dimaksud dengannya adalah baju, ia adalah menutupi tangan dan kakinya, kalau kerudung, perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan lehernya. Kalau maknanya pakaian yang menutupi baju, perintah mengulurkan adalah membuatnya longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian.[42] Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa jilbab adalah selendang (rida’). Ada juga ulama yang menyebutkan bahwa jilbab adalah penutup muka. Tetapi, pendapat yang benar adalah pendapat yang mengatakan bahwa jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh anggota badan. Adapun jilbab yang dimaksud adalah selendang yang  berada di atas kerudung kepala. Pendapat ini dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ubaidillah, Qatadah, al-Hasan al-Bishri, Said bin Jubair, Ibrahim an-Nakhai, dan Atha’ al-Kharasani dan lainnya. Jilbab seperti  itu, pada saat ini, sama dengan sarung (kain). Al-Jauhari berkata, “Jilbab itu adalah selimut besar (mantel)”.  Thabathaba’i memahami kata jilbab dalam arti pakaian yang menutupi seluruh badan atau kerudung yang menutupi kepala dan wajah wanita. Ibn ‘Asyur memahami kata jilbab dalam arti pakaian yang lebih kecil dari jubah tetapi lebih besar dari kerudung atau penutup wajah.
Abu al-A’la al-Maududi berkata di dalam tafsirnya, jilbab secara etimologi berarti selimut, baju luar, dan pakaian lebar. Adapun idna asal kata dari yudnina berarti mendekatkan dan melipat. Jika kata idna diikuti dengan huruf jar  ‘ala misalnya, yudnina ‘alaihinna  maka maksudnya adalah mengulurkan ke atas. Sebagian penulis dan ahli tasfir hadist saat ini memiliki intuisi barat sehingga mereka menerjemahkan kata idna dengan makna mengitari agar bisa menghapus hukum menutupi wajah. Jika Allah menginginkan seperti apa yang disebutkan oleh mereka, niscaya Allah akan berfirman, yudnina ilaihinna yakni mengintari dirinya sendiri. Hal itu berdasarkan asumsi bahwa firman-Nya, jalabibihinna menjadi penghalang untuk bisa memberikan makna seperti yang mereka katakan itu. Huruf min pada kalimat min jalabibinna adalah menunjukkan tab’idh sebagian dari jilbab mereka. Andai kata perempuan itu menyelimuti dari mereka dengannya, maka secara tabiat dia menyelimuti keseluruhannya dan bukan dengan sebagian jilbab atau dengan sobekan jilbab. Dengan begitu, maka makna ayat ini secara gamblang adalah perempuan itu menutupi seluruh tubuhnya dan menyelimuti diri mereka dengan jilbabnya, kemudian mengeluarkan dari atas sebagian darinya. Saat ini, kita mengenal jilbab tesebut dengan istilah niqab / “cadar.[43]
Menutup aurot dengan memakai jilbab / kerudung telah disepakati akan kewajibannya,[44] namun seperti apa dan bagaimana cara berjilbab itu masih merupakan kontroversi. Karena konsep perintah jilbab itu tidak lepas dari konteks situasi maupun kondisi sosiologis masyarakat Arab saat itu. Semua ulama juga telah bersepakat bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Abu Ubaid menceritakan bahwa jilbab dipakai dari kepala sehingga tidak ada yang tampak kecuali mata. Salah satu model pakaian ini adalah cadar. Ada yang berpendapat bahwa perempuan diwajibkan mengenakan cadar, tapi pendapat yang benar bahwa perempuan tidak wajib memakai cadar dan sarung tangan. Ulama sepakat tentang  bolehnya melihat  wajah dan telapak tangan wanita yang bukan mahram. Hadist lain menyatakan: “Apabila wanita telah haid,tidak wajar terlihat darinya kecuali wajah dan tangannya sampai ke pergelangan”(HR.Abu Daud). Pakar tafsir, al-Qurthubi, dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ulama besar, Sa’id Ibn Jubair,‘Arta dan al-Auza’i, berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan, dan busana yang dipakainya.
Fakhrurrazi berkata di dalam tafsirnya, “pada masa jahiliah, kaum perempuan yang berstatus budak maupun yang bukan budak sama-sama keluar rumah dengan kepala dan wajah terbuka. Tidak heran, jika  mereka selalu diikuti oleh para laki-laki jahil sehingga terjadilah berbagai tuduhan dan prasangka. Karena itu, Allah memerintahkan para perempuan merdeka untuk mengenakan jilbab”.  Kalangan perempuan mukminah sebelum turunnya Q.S. Al-Ahzab ayat 59 di atas biasa keluar rumah untuk membuang hajat. Pada saat itulah, ada sebagian laki-laki yang suka usil mengganggunya karena mereka mengira perempuan-perempuan itu adalah budak. Akibatnya perempuan berteriak dan laki-laki yang iseng itu pun kabur. Perempuan-perempuan pun mengadukan hal itu kepada Rasulullah. Tidak lama kemudian, Allah mewahyukan ayat ini untuk menyingkap peristiwa itu. As-Sudi memberi komentar. Tatkala malam tiba, para perempuan keluar ke jalan-jalan untuk membuang hajat mereka di padang pasir yang terbuka. Orang-orang fasik mengikuti mereka. Jika mereka melihat perempuan memakai jilbab,mereka mengatakan, “ini adalah perempuan merdeka,” dan mereka tidak mengganggunya. Jika mereka melihat perempuan yang tidak mengenakan jilbab, mereka mengatakan, “ini adalah perempuan budak,” kemudian mereka menghampirinya.
Ada sebagian mufasir yag mengatakan bahwa secara etimologi, firman jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…”tidak mesti bermakna menutup wajah, dan tidak ada satu nash baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah, dan juga ijma yang mengatakan bahwa ayat tersebut mesti bermakna menutup wajah. Karena itu, ayat tersebut tidak bisa dijadikan landasan bahwa jilbab seorang perempuan harus menutupi wajahnya. Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai maksud mengulurkan jilbab yang Allah perintahkan kepada mereka. Sebagian ahli tafsir mengatakan, “Maksudnya, hendaklah mereka menutupi wajah dan kepala mereka, dan janganlah mereka menampakkan sesuatupun dari anggota tubuhnya kecuali mata saja.” Ibnu Aun mengatakan bahwa dia mengenakan selendangnya lalu dia menutup tubuhnya dengan selendang itu; Dia menutup hidungnya, juga matanya yang sebelah kiri, serta tidak  menutup matanya yang sebelah kanan. Ibnu Abbas dan Abu Ubaidah berkata, “Allah memerintahkan para muslimah untuk menutup kepala dan wajahnya dengan jilbab, kecuali satu mata, agar mudah dikenali bahwa mereka adalah perempuan-perempuan merdeka”. Menutup kepala dan wajah merupakan garis pemisah antara permpuan-perempuan merdeka dan para budak perempuan. Umar meriwayatkan bahwa dia pernah memukul seorang budak perempuan lalu berkata “Bukalah tutup kepala kalian, dan janganlah kalian menyerupai perempuan-perempuan merdeka”
Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur, seorang ulama besar dari tunis yang diakui otoritasnya dalam bidang ilmu agama, menulis dalam bukunya,Maqashid asy-Syari’ah, bahwa: “Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh (dalam kedudukannya sebagai adat) untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.” Contoh yang diangkatnya dari al-Qur’an adalah surah al-Ahzab ayat 59, yang memerintahkan kaum mukminah agar mengulurkan jilbabnya. Ulama tersebut berkomentar: “Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab (yang sering mengganggu wanita saat keluar rumah / buang hajat) sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka ketentuan ini)”. Ketika menafsirkan ayat al-Ahzab yang berbicara tentang jilbab, ulama ini menulis bahwa: “Cara memakai jilbab berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan wanita dan adat mereka. Tetapi, tujuan perintah ini adalah seperti bunyi ayat itu yakni “Agar  mereka dapat dikenal (sebagai wanita muslim yang baik) sehingga mereka tidak diganggu.”
أن يعرفن (agar dikenali) maksudnya bisa dibedakan wanita merdeka atau budak wanita. فلا يؤذين (maka tidak diganggu) maksudnya aman dari lelaki yang mau mengganggu atau melihat aurotnya. Itulah 2 klausul diwajibkannya mengulurkan jilbab, dimana makna jilbab terjadi kontroversi itu. Berjilbab itu wajib hampir semua bersepakat, namun bercadar masih banyak yang ikhtilaf. Yang pasti wajah dan tangan bukanlah aurot. Jika dilihat dalam konteks saat ini wanita semua sama, tidak ada lagi wanita merdeka maupun budak wanita. Di negara Indonesia yang berdasar Rechstaat (berlandaskan hukum), pria tidak semudah di Arab yang mengganggu wanita, karena dilindungi oleh hukum. Kebebasan berekspresi dijamin undang-undang, jangankan yang berjilbab, yang tidak berjilbab (sampai memakai rok mini, pakaian ketat, dll) masih dilindungi undang-undang sehingga jarang lelaki mengganggunya. Maka bercadar tidaklah menjadi keharusan karena illat (penyebab) keharusan bercadar itu sudah tidak ada.
Penulis menilai cadar saat ini memiliki 2 nilai, pertama bernilai ideologis yang memang betul-betul ingin menjaga diri, dan yang kedua bernilai modis, dimana wanita bercadar hanya sekedar sensasi mode sesaat. Bagi wanita bercadar secara ideologis, ia bermaksud melindungi diri dari fitnah dan omongan lelaki. Seharusnya semua tertutup oleh cadar kecuali satu mata saja yang sebelah kanan untuk melihat. Namun dalam standar kultur Indonesia, wanita bercadar justru menjadi buah bibir masyarakat, jadi bahan gunjingan yang akhirnya menimbulkan fitnah dan membuka kemaksiatan berupa ghibah. Bercadar dinilai sebagai prilaku berlebih-lebihan dalam agama (ghuluw), dimana berlebih-lebihan dalam agama itu dilarang. Maka dalam konteks Indonesia, melepas cadar dinilai lebih maslahat dan memperkecil kemaksiatan baru (buah bibir dan prasangka negatif masyarakat). Apalagi konteks Indonesia yang memiliki trauma memori negatif, beberapa pelaku peledakan bom melibatkan wanita bercadar. Menutup aurot dengan berjilbab itu jelas sebagai kewajiban, namun janganlah berlebih-lebihan, karena Rosul SAW sendiri bersabda : خير الأمور أوساطهاsebaik-baik perkara adalah yang pertengahan” (tidak berlebihan namun juga tidak kekurangan).
Dalam pandangan Muhammadiyah, Majelis Tarjih telah memutuskan untuk memasang tabir atau sesamanya di dalam rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan Persyarikatan Muhammadiyah yang dihadiri oleh pria dan wanita guna mencegah terjadinya yang dilarang (diharamkan). Muktamar Majelis Tarjih Muhammadiyah (Cetakan tahun 1964 bab 20). Menyatakan tetap adanya hijab  dalam rapat-rapat Persyarikatan Muhammadiyah yang dihadiri oleh pria dan wanita. Dari sini kita juga melihat bahwa Muhammadiyah tidak menganjurkan cadar, seperti kaum Salafi. Selain itu, Anggaran Dasar Muhammadiyah, Bab 3 pasal 6 dinyatakan : “Maksud dan tujuan muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) yang diputuskan dalam  muktamar ke-37 di Yogyakarta tahun 1968 ditindaklanjuti dalam Tanwir di Ponorogo tahun 1969 Point ke-5 menyatakan : Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan negara Rebuplik Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil makmur yang diridloi Allah SWT : Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofur”. Hal ini diperkuat dengan lahirnya konsep Darul Ahdi Wasy Syahadah saat Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar pada tahun 2015. Oleh karena itu, William Shepard (2014), mengkategorisasikan muhammadiyah sebagai kelompok “islamic modernism”, yang lebih berfokus bergerak membangun “islamic society” (masyarakat islam) dari pada perhatian terhadap “islamic state” (negara islam) yang fokus gerakannya pada bidang pendidikan, kesejahteraaan sosial, serta tidak menjadi organisasi politik kendati para anggotanya tersebar ke berbagai partai politik. Ini pula yang membedakan Muhammadiyah dengan Hizbut Tahrir yang mengusung konsep Khilafah yang dinilai utopis itu.[45]
Pada tanwir tahun 2012 di Bandung kemudian ditegaskan pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 tahun 2015 di Makassar bahwa Negara Republik Indonesia yang didirikan tahun 1945 bagi Muhammadiyah merupakan konsensus nasional yang sudah selesai (sebagai Dar al-ahdi dan Dar al-syahadah). Muhammadiyah tentang negara dan kebangsaan di Indonesia ini dengan konsep NKRI menganggap sudah selesai, oleh karenanya Muhammadiyah tinggal mengisi bangsa ini dengan berkontribusi dan bersinergi terhadap bangsa secara riil. Inilah ikrar “Darus Syahadah” Muhammadiyah melalui bentuk jihad baru, Jihad Konstitusi. Menurut Muhammadiyah, ada 115 undang-undang yang dinilai bermasalah dan tidak berpihak untuk kepentingan rakyat, dan hajat hidup orang banyak di Indonesia. Dari tujuh undang-undang yang didaftarkan untuk uji materi, baru empat diantaranya yang dikabulkan, yaitu: Undang-undang No. 22 Tahun 2011 tentang Migas; undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; undang-undang No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas; dan undang-undang Tahun 2004 tentang Rumah Sakit.[46] Tiga UU yang diajukan Muhammadiyah berikutnya kepada Mahkamah Konstitusi untuk uji materi adalah UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Sistem Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing dan UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Jadi dengan konsep Darul Ahdi wasy Syahadah, Muhammadiyah berjuang, berdakwah, dan berjihad secara riil untuk bangsa sehingga terwujud “Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.[47]
4.    Bagaimanakah Ideologi-Ideologi Trans Nasional Masuk Muhammadiyah ?
Surat Ulil Abshor Abdalla pada K.H. Ma’ruf Amin (ketua lembaga Fatwa MUI pada Januari 2008).menyatakan :  “... Sebuah gagasan (ideologi) seperti udara, ia bisa masuk ke ruang manapun...   ... Gagasan (ideologi) adalah sesuatu yang sifatnya fluid, cair”.[48]
Artinya, masuknya ideologi atau faham tertentu itu begitu mudah dan seringkali tidak terasa bagi orang yang dibidik, apalagi jika orang itu tidak memiliki pemahaman yang kuat sebelumnya. Dalam pengamatan penulis, ideologi-ideologi trans nasional itu bisa masuk  ke Muhammadiyah dan mempengaruhi warga atau para aktivis Muhammadiyah melalui cara-cara :
1.    Kelompok ideologi tertentu mengadakan acara kajian yang diadakan di Amal usaha Muhammadiyah (AUM) seperti masjid, Mushola, atau sekolah Muhammadiyah.
2.    Muhammadiyah atau ORTOM nya mengadakan acara di AUM nya sendiri atau di tempat luar AUM namun pematerinya dari yang berlatar belakang ideologi lain atau belum jelas latar belakang ideologinya.
3.    Dibiarkannya buletin-buletin (seperti buletin Al-Ilmu, Al-Islam, Kaffah, Hidayatulloh dll) atau majalah-majalah (seperti majalah As-Sunnah, Ummi, Annida, Al-Wa’i, Al-Falah, YDSF, Sabili, dll) yang bukan resmi keluaran Muhammadiyah beredar di AUM terutama di masjid-masjid Muhammadiyah saat sholat Jumat atau waktu-waktu lain.
4.    Para warga atau aktivis Muhammadiyah membaca dan berlangganan buletin atau majalah-majalah tersebut secara rutin, atau membaca / mengkaji buku-buku (seperti sifat sholat nabi karya Nashirudin Al-Albani, Majmu’ Fatawa karya Ibnu Taimiyah, kitab At-Tauhid karya Muhammad bin Abdul Wahab, Al-Fikrul Islami karya Taqiyudin An-Nabhani, Risalah Gerakan Tarbiyah karya Anis Matta, dll). Yang demikian, jika faham ideologinya kurang kuat, maka akan terbawa oleh ideologi yang diusung buletin / majalah tersebut.
5.    Para warga atau aktivis Muhammadiyah menghadiri atau mengikuti secara rutin kajian-kajian yang diselenggarakan oleh kelompok ideologi lain, meski di tempat mereka sendiri. Jika point ke-5 ini terjadi, maka itulah yang terparah dari kondisi ideologi kader Muhammadiyah tersebut. Mengapa menghidupkan kegiatan kelompok lain, justru meninggalkan kegiatan Muhammadiyah sendiri.
Kapankah seorang warga atau aktivis Muhammadiyah mulai keluar dari Muhammadiyah ? jika salah satu, apalagi kesemua 5 point diatas dilakukan oleh warga Muhammadiyah, maka disitulah garis batas baginya di detik-detik akan menyeberang meninggalkan Muhammadiyah menuju ideologi lain sesuai bacaan atau kajian dari kelompok ideologi yang mengusung itu. Oleh karena itu, bagaimanakah menjaga dan membentengi warga Muhammadiyah dari serangan ideologi lain (trans nasional) ? Menurut pengalaman penulis, caranya adalah :
1.    Hindari 5 point diatas. Jangan diperbolehkan kelompok ideologi lain mengadakan kegiatan atau menyebar buletin jumat di masjid Muhammadiyah. Semua kegiatan yang diadakan warga Muhammadiyah, pematerinya harus dari dan betul-betul berideologi Muhammadiyah yang dibuktikan dengan KTM (Kartu Tanda Muhammadiyah) dan terbukti keaktifannya dalam kegiatan atau kepengurusan Muhammadiyah baik di tingkat Ranting, Cabang, Daerah, bahkan mungkin sampai Wilayah maupun Pusat.
2.    Warga atau kader dicukupkan dengan kitab atau buku-buku resmi yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah (seperti HPT, Suara Muhammadiyah, Matan, dll), dan dicukupkan dengan menghadiri kajian atau kegiatan-kegiatan yang diadakan Muhammadiyah saja. Kecuali bagi yang bermaksud melakukan perbandingan ideologi dan dipastikan ideologi ke-Muhammadiyahan yang bersangkutan betul-betul kuat.
3.    Jadikan kesepakatan bahwa dimana saja dan siapa saja yang mengadakan kegiatan  jika kader Muhammadiyah dijadikan sebagai pembicara, maka bisa dihadiri bahkan sebaiknya harus dihadiri, karena itulah dakwah penyebaran ideologi Muhammadiyah secara aktif. Namun siapa saja dan dimana saja kader Muhammadiyah diundang jika hanya sekedar sebagai jamaah pendengar, maka katakan dengan tegas “maaf saya tidak bisa hadir, cukup bagi saya mengikuti kegiatan-kegiatan Muhammadiyah dan membaca buku-buku resmi Muhammadiyah saja”. Karena jika merasa tidak enak untuk menolak, maka disitulah awal doktrinasi. Masuknya ideologi itu halus dan tanpa disadari, bahkan seringkali warga atau aktivis Muhammadiyah merasa nyaman saat mengikuti kajian ideologi lain itu. Rasa nyaman itu menjebak, dan tatkala terasa nyaman dengan materi-materi kajian ideologi lain, disitulah ia telah terdoktrin.



[1] Penulis adalah Dosen dan Sekretaris LP-AIK (Lembaga Pengembangan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan) Universitas Muhammadiyah Jember. Penulis buku “Seks Islami ditinjau dari segi Al-Qur’an, Hadis dan Medis” yang diterbitkan oleh Dianloka Pustaka Jogja dan buku “Mesra Bercinta Meski haid Melanda” yang diterbitkan oleh Pustaka Abadi Jember.
[2] Fenomena mahasiswa bercadar di Perguruan Tinggi termasuk di UNMUH Jember banyak ditemui. Oleh karena itu tim Lembaga Pengembangan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (LP-AIK) UM Jember berinisiatif melakukan pembinaan ideologi pada para mahasiswa yang tergabung dalam ORTOM (Organisasi Otonom) Muhammadiyah yang meliputi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Hizbul Wathan (HW), dan Tapak Suci Putra Muhammadiyah (TSPM) pada Selasa, 23 Oktober 2018 jam 13.00-17.30.  IAIN Jember malah sempat mengeluarkan aturan yang kontroversial, yaitu mahasiswi bercadar tidak diterima kuliah di IAIN Jember demi meneguhkan slogan “Islam Nusantara”.
[3] Menarik mencermati karya Andre’e Feillard dalam Disertasinya berjudul “NU vis-a-vis Negara” yang menyatakan bahwa pada zaman Soekarno kopiah (songkok) yang biasanya terbuat dari beludru hitam menjadi lambang identitas nasional.  Lihat Feillard, Andre’e. NU vis-a-vis Negara, BasaBasi, 2017. Yogyakarta. hal. 427.
[4] Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik Islam yang didirikan oleh Taqiyuddin An-Nabhany di Al-Quds, Palestina pada tahun 1952. Ia masuk ke Indonesia pada tahun 1982-1983 melalui M. Mustofa dan Abdurrahman Al-Baghdadi. Tahun 2018 di era rezim Jokowi Hizbut Tahrir Indonesia dibekukan / dibubarkan melalui PERPPU No. 2 tahun 2017 tentang ORMAS. Lihat Rahmat, M. Imdadun. Arus Baru Islam Radikal, Erlangga, 2005. Jakarta. Hal. X dan hal. 51 dan 100.
[5] Lihat Rahmat, M. Imdadun. Arus Baru Islam Radikal, Erlangga, 2005. Jakarta. Hal. X dan 75.
[6] Lihat Muthohirin, Nafi’. Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus, Indo Strategi, 2014. Jakarta. Hal. 17-18 dan 32-33.
[7] Lihat Kimball, Charles. Kala Agama Jadi Bencana, Mizan, 2013. Bandung. Hal.  106 dan 129.
[8] Seorang ahli Islam dari Center for Muslim and Christian Understanding, Georgetown University, Washington.
[9] Lihat Muthohirin, Nafi’. Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus, Indo Strategi, 2014. Jakarta. Hal. 17-18 dan 32-33.
[10] Lihat Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, Paramadina, 1999. Jakarta. Hal. 6-9 dan 17-18. Buku ini adalah Disertasinya Prof. Yusril Ihza Mahendra, Ph.D. untuk memperoleh gelar Doctor of Philosophy di Universitas Sains Malaysia pada tahun 1993.
[11] NU disebut demikian, karena NU memang bertujuan untuk mempertahankan atau memelihara tradisi Islam yang disebut paham “Ahlus Sunnah wal Jamaah” (ASWAJA). Tradisi itu sebenarnya adalah sebuah konsensus besar di bidang teologi dan fikih. Di bidang teologi, mereka mengikuti aliran kalam Asy’ariyah dan Maturidiyah. Di bidang fikih, mereka mengikuti 4 madzhab besar, yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Sedang di bidang Tasawuf mengikuti Al-Ghozali. Lihat Muhtadi, Asep Saiful. Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama, LP3ES, 2004. Jakarta. Hal. xxiii. Buku ini adalah terbitan dari Disertasi S3 nya.
[12] Lihat Muhtadi, Asep Saiful. Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama, LP3ES, 2004. Jakarta. Hal. 23 dan 134.
[13] Lihat buku Al-Islam dan Kemuhammadiyahan III, tim penulis Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, 2016. Yogyakarta. Hal. 140.
[14] Lihat Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, Paramadina, 1999. Jakarta. Hal. 6-9 dan 13-15.
[15] Lihat. Ida, Laode. NU Muda Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, Erlangga. 2004. Hal. 11. Buku ini adalah Disertasinya Laode Ida saat menempuh S3 di Universitas Indonesia pada tahun 2002.
[16] Lihat Rachman, Budhy Munawar. Reorientasi Pembaharuan Islam, Madani, 2017. Malang. Hal. xxxvi.
[17] Lihat Nashir, Haedar. Memahami Ideologi Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, 2014. Yogyakarta. Hal. viii.
[18] Lihat Muthohirin, Nafi’. Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus, Indo Strategi, 2014. Jakarta. Hal. 26 dan 36-38.
[19] Muthohirin, Nafi’. Fundamentalisme Islam:... hal. 16.
[20]Lihat Muniron. Ilmu Kalam (Sejarah, Metode, Ajaran dan Analisis Perbandingan), STAIN Jember Press, 2015. Jember.  Hal. 123-149.
[21] Lihat Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid (Analisa Fiqih Para Mujtahid), Pustaka Amani, 2007. Jakarta. Hal. xvi dan liv.
[22] Lihat Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, 2015. Yogyakarta. Hal. 278.
[23] Lihat Kasman. Hadits Dalam Pandangan Muhammadiyah, Mitra Pustaka, 2012. Yogyakarta. Hal. vi. Buku ini merupakan terbitan Disertasi S3 nya.
[24] Lihat Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, 2015. Yogyakarta. Hal. 280.
[25] Lihat Nashir, Haedar. Memahami Ideologi Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, 2014. Yogyakarta. Hal. 117. Lihat pula buku Al-Islam dan Kemuhammadiyahan III, tim penulis Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, 2016. Yogyakarta. Hal. 77.
[26] Lihat Setiawan, M. Nur Kholis. Akar-Akar Pemikiran Progresif Dalam Kajian Al-Qur’an, eLSAQ Press, 2008. Yogyakarta. Hal. VII.
[27] Lihat Dr. Alwi Shihab dalam Disertasinya di Universitas Temple, Amerika Serikat, tahun 1995 yang telah diterbitkan menjadi buku berjudul “Membendung Arus : Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia”, Suara Muhammadiyah, 2016. Yogyakarta. Hal. xix.
[28] Lihat Dr. Alwi Shihab dalam Disertasinya... hal.xxiv dan 354.
[29] Lihat Dr. Alwi Shihab dalam Disertasinya... hal.xxiv dan 246.
[30] Lihat Kasman. Hadits Dalam Pandangan Muhammadiyah, Mitra Pustaka, 2012. Yogyakarta. Hal. 57-77.
[31] Lihat Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah jilid 3, Suara Muhammadiyah, 2018. Yogyakarta. Hal. 128, 131, 137, 148, 151, dan 155.
[32]Hadis ini sanadnya Hasan, sedangkan penilaian imam At-Tirmidzi yang menilai hadis ini sebagai hadis dhoif adalah tertolak. Lihat Rosidin. Koreksi Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Banyumedia, 2013. Malang. hal. 8. Buku ini adalah terjemahan kitab karya Hadlratus Syaikh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari yang berjudul “Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bil Munkarot”.
[33] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, Sygma Publishing, 2010. Bandung. Hal. 222.
[34] Lihat Jurnal Walisongo edisi 11 tahun 1999, ISSN 0852-7172. IAIN Walisongo Semarang. hal. 5. Tulisan ini adalah abstraksi dari Disertasi Dr. Abdul Muhaya, M.A. saat menyelesaikan S3 nya di IAIN Syarif Hidayatulloh Jakarta tahun 1998. Objek penelitiannya adalah kitab Bawariq al-‘Ilma fir-Rad ‘Ala Man Yuharrimu as-Sama’ bil Ijma’ (Sebuah Pembelaan Musik Sufi oleh Ahmad Al-Ghozali). Ahmad Al-Ghozali adalah adik imam Ghozali pengarang kitab Ihya’ ‘Ulumuddin. Kitab Bawariq ini memiliki 3 manuskrip, pertama disimpan di Berlin, kedua di Kairo, dan ke-3 di Paris. J. Robson seorang profesor bahasa Arab universitas Glasgow, mengedit teks kitab tersebut dan kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku “Tracks on Listening to Music : London, the Royal Asiatic Society, 1983.
[35] Lihat Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah jilid 3, Suara Muhammadiyah, 2018. Yogyakarta. Hal. 131, 156, 161-164, 181 & 183.
[36] Lihat Shihab,Quraish. Al-Misbah Jilid 10, Lentera Hati, 2011. Ciputat. Hal. 465.
[37] Lihat Al-Barudi, Imad zaki. Tafsir Al-Qur’an Wanita, Jilid 2, Pena Pundi Aksara, 2007. Jakarta. Hal. 532.
[38] Lihat Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, 2015. Yogyakarta. Hal. 287-288, 290-291, dan 297.
[39] Wawancara dengan MH, 23 th. Mahasiswa PTN di Jogja, aktivis KAMMI sebagai ketua Umum Komisariat, th. 2009. Lihat A. Munir Mulkhan, dalam “Demokrasi Dibawah Bayangan Mimpi NII”, Kompas, 2011. Jakarta. Hal. 226 & 231.
[40] Wawancara dengan SD, 48 th, pernah menikah 3 x, punya 9 anak (wawancara 10 juli 2008). Lihat A. Munir Mulkhan, dalam “Demokrasi Dibawah Bayangan Mimpi NII”, Kompas, 2011. Jakarta. Hal. 255 & 262-263.
[41] http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_4913.shtml).
[42] Lihat Shihab,Quraish. Al-Misbah Jilid 10, Lentera Hati, 2011. Ciputat. Hal. 533.
[43] Lihat Al-Barudi, Imad zaki. Tafsir Al-Qur’an Wanita, Jilid 2, Pena Pundi Aksara, 2007. Jakarta. Hal. 353.
[44] Kecuali Quraish Shihab. Dalam tafsirnya, secara implisit ia menyatakan : “Ayat diatas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab karena agaknya ketika itu sebagian mereka telah memakainya. Hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kesan ini diperoleh dari redaksi ayat diatas yang menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah “Hendaklah mereka mengulurkannya”. Lihat Shihab,Quraish. Al-Misbah Jilid 10, Lentera Hati, 2011. Ciputat. Hal. 534.
[45] Utopis sering diartikan sebagai khayalan. Ainur Rofiq al-Amin seorang mantan aktivis HTI yang akhirnya memilih keluar dan kembali pulang ke “rumahnya” NU dalam disertasi S3 nya di IAIN Sunan Ampel Surabaya menyatakan : “HTI pantas mendapat piala sebagai pengkhayal terbesar abad ini karena proyek palsunya mewujudkan Negara Islam di Indonesia”. Lihat al-Amin, Ainur Rofiq. Membongkar Proyek Khilafah ala Hizbut Tahrir di Indonesia, LkiS, 2012. Yogyakarta.
[46] Kompas 8/7/2015
[47] Anggaran Dasar Muhammadiyah hasil keputusan Muktamar ke-45 di Malang tahun 2005, dalam buku panduan “PWM Jawa Timur periode 2005-2010”. Hal. 38.
[48] Dikutib dari Budhy Munawar Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam, Madani, 2017. Malang. hal. 32.

Lebih baru Lebih lama