Tinjauan Ilmiah, Hakikat Qurban Dalam Kisah Nabi Ibrahim

Tinjauan Ilmiah, Hakikat Qurban Dalam Kisah Nabi Ibrahim
Tinjauan ilmiah hakikat qurban dalam kisah nabi Ibrahim yang rela mengorbankan anaknya atas nama tauhid, kecintaan terhadap Allah SwT mengalahkan rasa cinta nabi Ibrahim pada dunia termasuk kepada anak yang bertahun-tahun dinantikan. ilustrasi: clutterbusting.com/google image
Artikel "Tinjauan Ilmiah, Hakikat Qurban Dalam Kisah Nabi Ibrahim" ini merupakan naskah khutbah Idul Adha 1438H yang dibawakan oleh Ustadz Idris Mahmudi, Amd.Kep, M.Pd.I di lapangan Panji Situbondo dengan judul Spiritualitas Ibrahim (download, klik disini).

Bismillahhirrahmanirrahim ...

Spiritualitas adalah potensi bawaan manusia yang membuatnya terhubung dengan kekuatan yang lebih besar, sehingga dia merasa ada keterkaitan antara dirinya dan alam semesta yang secara aplikatif ditunjukkan dalam sejumlah nilai. Spiritualitas bersifat universal, bersifat transetnik, transgeografis, transpolitik, transekonomi dan tak ada pembatas antara satu manusia dengan manusia lain. Bahkan Danah Zohar (Fisikawan-Teolog) dan Ian Marshall (Psikiater) menulis buku yang menjadi pembicaraan dunia, “Spiritual Intelligence: The Ultimate Intelligence” (Newyork: Bloomsbury, 2000), menegaskan bahwa spiritual merupakan modal kesuksesan (Spiritual Capital).

Hal itu karena spiritualitas berhubungan dengan pencarian makna dalam hidup dan mempengaruhi nilai-nilai serta keputusan.[1] Dan esensi spiritualitas menurut Doyle (1992. Cit., Colluci, 2008) adalah pencarian makna eksistensial. Para pakar filsafat Islam sepakat bahwa semua yang ada di alam eksistensinya sebenarnya bersifat relatif (Mumkinul Wujud), sedang hakikat eksistensi yang sebenar-benarnya adalah eksistensi Tuhan (Wajibul Wujud).

Kepercayaan tentang Tuhan merupakan bawaan manusia yang diturunkan dari generasi ke generasi (nature). Penelitian dalam bidang genetika menunjukkan bahwa kepercayaan pada Tuhan diturunkan secara genetis. Agama-agama langit secara tegas menyatakan bahwa manusia memang sudah dilahirkan “membawa” Tuhan dalam dirinya. Artinya, Tuhan itu bukan sesuatu yang berasal dari luar diri manusia. Tuhan ada di dalam diri manusia dan berada disana sejak manusia dilahirkan, bahkan sebelum dilahirkan.

Tentu, tidak dalam pengertian fisik laksana hadirnya sel-sel darah, gen-gen, atau zat-zat kimiawi tubuh. Dalam konteks ini, Tuhan menjadi “personal” (Personal God) sebagai manifestasi kehadiran dari semula sebagai impersonal God. Sebagai contoh, dalam kitab suci Al-Qur’an dinyatakan bahwa manusia adalah makhluk pencari kebenaran (Al-Hanif). Hal ini seperti yang tercantum dalam QS. Ar-Rum: 30. Pencarian kebenaran itu terjadi karena dalam diri manusia ada dorongan untuk itu yang berasal dari Tuhan sendiri.

Agama Kristen menyatakan bahwa manusia adalah “citra Tuhan” (Imago Dei). Tuhan yang “personal” ini akan terasa kehadirannya terutama ketika manusia mengalami penderitaan, kehidupan yang sarat beban dan sulit dipecahkan atau ketika manusia kehilangan arah.

Roger Trigg, Profesor filsafat dari the University of Warwick Inggris menegaskan bahwa pada masyarakat yang atheis pun (seperti Soviet-Rusia) tetap tidak bisa menghilangkan unsur-unsur keagamaan setidaknya dalam pengertian yang luas, sebagai belief system.[2]

Bahkan Rudolf Otto seorang pakar dalam sejarah agama, memahami prilaku manusia ini sebagai wujud dorongan kebutuhan akan yang gaib. Dia memakai istilah Nominous untuk menunjuk hal-hal gaib yang ada di sekitar manusia. Dan perasaan manusia kepada yang gaib itu adalah inti dari agama. Perasaan manusia kepada yang gaib dimanifestasikan berupa persepsi kepada Tuhan sebagai misteri yang menakutkan tetapi menarik (mysterium tremenendum et fascinosum).

Pada tahun 1990-an, Michael Persinger[3] melakukan penelitian terhadap dirinya sendiri dengan menggunakan Transcranial Magnetic Stimulation (alat semacam helm yang dapat menembakkan muatan listrik ke otak) untuk mencari tahu apa yang akan terjadi terhadap otak dan gejala apa yang muncul. Ia seorang atheis, yang tidak menganut agama formal tertentu. Ia merangsang lobus parietal dan temporalnya sendiri, yang didapatkan hasil bahwa setelah perangsangan lobus otaknya, dia seperti merasakan “kehadiran” Tuhan.

Untuk menguji hipotesisnya, Michael Persinger menggunakan 48 orang (24 pria dan 24 wanita) dari mahasiswa psikologi di Universitasnya. Subjek percobaan didudukkan di sebuah ruangan yang tenang, kemudian diberikan stimulus ringan (100 nT sampai 1µT). Lokasi perangsangan berada pada tempat, 1. Regio temporoparietal kanan, 2. Temporoparietal kiri, 3. Lokasi diantara temporoparietal.

Setiap kelompok diberikan sekali perlakuan masing-masing selama 20 menit. Hasilnya membuktikan, ada 32 orang subjek perlakuan mengalami sensed presence (kehadiran Tuhan). Untuk menguji validitas percobaan Persinger, Vilyanur Ramachandran (Directure centre of brain and cognition University of California di San Diego) dan Pehr Granqvist dari Uppsala University di Swedia melakukan percobaan sejenis, tetapi dengan perlakuan yang berbeda.

Ramachandran memasang elektroda pada kedua tangan 2 orang penderita epilepsi lobus temporalis yang memiliki obsesi relegius, kemudian menunjukkan kepada mereka berbagai gambar serta kata-kata di layar komputer dan mencatat respon kulit mereka (Electro Dermal Response, EDR). Ketika kepada kedua subjek diperlihatkan kata-kata yang familier, seperti gambar orang tua mereka atau kata “sepatu”, kedua subjek tidak memberikan reaksi.

Termasuk ketika diperlihatkan gambar orang-orang asing, foto gadis-gadis erotis, serta kata-kata jorok, bahkan gambar seorang manusia yang dimakan hidup-hidup oleh buaya. Namun, ketika diperlihatkan kata-kata serta gambar-gambar relegius, respon kulit mereka menunjukkan kenaikan tajam. Kesimpulan penting lain menunjukkan bahwa respon lobus temporalis hanya khusus bagi agama.[4]

Kisah Nabi Ibrahim

Dari perspektif penelitian tersebut, disimpulkan bahwa Tuhan bukan merupakan produk pikiran manusia. Tuhan “ditemukan” dan dialami dalam suatu pengalaman spiritual dimana manusia “mengundang” kehadiran-Nya. Hal ini amat berhubungan dengan pengalaman spiritual dalam kisah Nabi Ibrahim AS yang berusaha mencari Tuhan sebagaimana terekam dalam Q.S. Al-An’am: 76-79.

Quran Surat Al-An'am 76-79

Artinya:
(76) Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya Azar, "Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata."
(77) Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, "Inilah Tuhan-ku. "Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, "Sungguh, jika Tuhan-ku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku atermasuk orang-orang yang sesat."
(78) Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, "Inilah Tuhan-ku, ini lebih besar. "Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, "Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan."
(79) Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.

Mengapa Ibrahim mencari Tuhan, dan akhirnya menuju pada ketauhidan (konsep Tuhan yang monotheisme)? Karena jauh sebelum Michael Persinger dan Ramachandran melakukan riset, Allah sendiri (sebagai salah satu nama Tuhan dalam konsepsi agama Islam) telah menegaskan dalam Q.S. Al-A’raf: 172,

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab “betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-Esaan Tuhan).”

Oleh karena itu Nabi Muhammad SAW menegaskan, “Setiap bayi terlahir dalam keadaan fitrah”.[5]

Fitrah disini dapat dimaknai telah beragama atau telah ber-Tuhan sebagaimana konsep ayat diatas.
Konsep penemuan eksistensi Tuhan yang jelas dan spiritualitas agama yang mantab dalam kisah nabi Ibrahim memberikan dampak visi hidup yang jelas pula. Sehingga amat wajar jika Rosul kita Muhammad selalu disandingkan dengannya dalam bacaan tahiyat sholat kita. Bahkan keteladanan Ibrahim diakui oleh semua agama-agama tsamawi dari bangsa semit.

Hakikat Qurban

Termasuk ibadah haji dan ibadah qurban yang kita lakukan hari ini. Suatu distorsi dan mispersepsi jika para orientalis hari ini menyatakan bahwa penyembelihan kurban umat Islam dikatakan sebagai sadistic killing. Justru hakikat qurban merupakan wujud dan buah akan keyakinan pada Tuhan dan ketaatan beragama. Kesadaran tentang keyakinan adanya Tuhan ini dapat melahirkan perasaan saling memahami dan toleransi.

Bukti seorang ber-Tuhan dan beragama selain berefek pada pribadi yang bersifat personal juga mampu berefek secara sosial yang bersifat komunal. Maka hakikat qurban dengan menyembelih hewan ternak yang telah disyariatkan adalah bukti relasi cinta manusia pada Tuhan.

Kecintaan itu tiada duanya sehingga Ibrahim pun rela menyembelih putranya Ismail meskipun (untuk mendapatkannya) sekian lama sangat dinantikannya. Lihatlah ilustrasi itu dalam QS. Ash-Shoffat: 100-107. Jadi kurban bukanlah menyembelih kambing, sapi, atau onta, akan tetapi hakikat qurban adalah menyembelih hawa nafsu kita akan kecintaan materialistik duniawi yang berlebihan sehingga mengalahkan cinta hakiki pada Tuhan.

Ibrahim pun meninggalkan anak dan isterinya di Mekkah yang saat itu tandus, kering, dan tak berpenghuni. Lihatlah QS. Ibrohim: 37, justru karena itu Zam-zam tercipta dan Sa’i menjadi rukun haji. Jika orang sudah dilanda cinta, tentu ia rela berkorban dan selalu rindu ingin bertemu dengan yang dicinta. Maka momentum ibadah haji itulah bentuk relasi cinta untuk saling bertemu dan meluapkan cinta.

Labbaik Allohumma labbaik (aku datang ya Allah memenuhi panggilan-Mu).

Seberapa besar cinta kita kepada Allah?, apakah kita berat mengeluarkan uang 3 juta untuk seekor kambing?, berat mengeluarkan 22 juta untuk seekor sapi lemosin?, Padahal Ibrahim menyembelih putranya yang diimpikan bertahun-tahun lamanya, bahkan terpaksa harus dari isteri keduanya untuk membuktikan cintanya pada Allah lebih besar dari pada putranya Ismail.

Begitu amat berat cinta kita pada uang sehingga tidak menginvestasikan 25 juta untuk ONH (Ongkos Naik Haji) menemui yang dirindu di Baitulloh, “aku rindu padamu ya Allah... ,” tapi kalimat itu bohong!.

Seringkali orang berlindung dari teks QS. Ali Imron: 97, yakni surah tentang perintah haji dalam al-quran bahwa haji itu hanya diperuntukkan bagi yang sudah mampu.

QS Ali-Imran 97 tentang perintah haji dalam Al-Quran

Artinya:
"Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam."

Lantas dengan berani berucap, “saya kan belum mampu”, padahal bisa kredit sepeda motor, kredit rumah dan kredit mobil di lising mobil.

Merasa tidak mampu ber-qurban walau sekedar kambing, padahal tiap hari merokok seharga 10 ribu/bungkus dan sehari bisa 3 bungkus. Banyak orang yang tiap hari habis rokok 3 bungkus tidak mampu berkurban, tapi di Jember seorang pemulung berkurban dengan kambing terbaik di suatu masjid.

Banyak orang bisa kredit rumah dan mobil mewah, tapi tidak mampu daftar haji, sementara seorang tukang sol sepatu bisa berangkat haji. Bukan mampu atau tidak mampu, tapi mau atau tidak. Ternyata kita lebih takut dengan developer rumah, debt kolektor bank dan lising mobil dari pada takut kepada Allah. Astaghfirullohal adziim.

Sejatinya, Allah tidak butuh darah maupun daging kurban yang kita persembahkan. Yang Allah butuhkan adalah nilai ketaatan seorang hamba, sementara dagingnya untukmu dan untuk masyarakat sekitar sebagai manifestasi dari spiritualitas.

Ada sebuah pembuktian ilmiah yang cukup menarik, Fetzer Institut (2003) menunjukkan sejumlah studi epidemiologis membuktikan bahwa ketaatan dan keaktifan dalam kelompok spiritual menurunkan angka kematian searah dengan peningkatan keaktivan itu. Artinya, semakin aktif dan taat seseorang dalam kegiatan spiritual maka semakin panjang usianya.

Bahkan studi yang dilakukan oleh Kaplan (1992) yang membandingkan perokok dan bukan perokok pada orang-orang religius dengan perokok dan bukan perokok dari kelompok non-relegius untuk menilai tekanan darah mereka. Perokok dari kelompok religius memiliki tekanan diastolik abnormal 7 kali lebih rendah dibanding dengan perokok dari kelompok non-relegius. Perokok dari kelompok relegius yang mengikuti kegiatan spiritual sekali seminggu memiliki tekanan diastolik abnormal lebih rendah 4 kali dibanding dengan perokok kelompok non-relegius.

Riset oleh Kaplan ini menunjukkan bahwa komitmen relegius berkontribusi mencegah masalah kesehatan diantara mereka yang memiliki perilaku beresiko. Sama-sama perokok saja, tapi yang satunya taat dalam perintah agama ternyata terbukti lebih sehat dari pada perokok yang meninggalkan ajaran agama.

Orang yang ber-Tuhan dan beragama harus berdampak baik secara personal maupun sosial. Dimensi sosial dan interpersonal dari spiritualitas makna hidup itu meletakkan posisi seseorang dalam hubungan antar manusia. Belajar dari kisah para Nabi dan tokoh-tokoh besar hubungan antar manusia ini merupakan bagian sangat penting dari keberadaan seorang manusia. Nabi Muhammad SAW, setelah berdiam diri di gua Hiro lalu menerima wahayu dari Allah, tidak lantas berdiam diri dan menikmati kesendirian dalam hubungannya dengan Allah.

Rasulullah SAW keluar dari gua hiro, kembali ke masyarakat dan melakoni kehidupan sosial sebagaimana sepatutnya. Salah satu pernyataannya yang terkenal adalah “sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain”. Sidharta Gautama perlu meninggalkan kehidupan kerajaan yang sangat nikmat, bersemadi dibawah pohon Bodhi, lalu kembali ke kehidupan sosial. Tokoh abad 20 seperti Mahatma Gandhi, Bunda Theressa dari Kalkuta dan Muhammad Yunus dari bangladesh, memilih tidak berdiam diri dalam kesenangan individual. Mereka “turun lapangan”, berbaur dengan masyarakat dan bersama-sama membangun kehidupan.

Maka, momentum hari raya Idul Adha adalah saat yang tepat untuk meneladani kisah nabi Ibrahim yang tauhidnya mantab dan spiritualitasnya jelas sehingga hidup penuh makna dan membawa bahagia yang hakiki meskipun beristri dua. Isteri yang baik seperti isteri pertama Ibrahim yang nilai agamanya tinggi memancar dengan keinginan berbagi terhadap suami yang paling dicintai untuk isteri berikutnya yang perlu untuk diayomi. Hal itu salah satu dari wujud kepekaan sosial yang bisa kita petik dari keteladanan kisah nabi Ibrahim dan keluarganya. Semoga kita dijadikan hamba yang sholih sebagaimana yang dicontohkan Ibrahim dan ketaatan sempurna layaknya Ismail. ● fhr

Ditulis Oleh:
Ust. Idris Mahmudi, A.Md, M.Pd.I
Dosen dan Sekretaris AIK Unmuh Jember
Cp. 081336385486

Referensi:
1). Lihat Sheldon, Lisa Kennedy, Komunikasi Untuk Keperawatan, Erlangga, 2010. Jakarta. Hal. 34.
2). Lihat Halid Alkaf. “Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia”, Kompas, 2011. Jakarta. Hal. xv.
3). Dia adalah guru besar Psikologi dan peneliti dari Laurentian University.
4). Lihat Pasiak, Taufiq. Tuhan Dalam Otak Manusia, Mizan, 2012. Bandung. Hal. 42, 235-236, 273-274, 288-289, 295, 305, 324-325, 332.
5). H.R. Bukhori No. 1296, No. 1271, dan banyak lagi tersebar hadis dengan redaksi tersebut baik di kitab Bukhori, Muslim, maupun Ash-habus Sunan.
Lebih baru Lebih lama