Selamat Datang di Laman JemberMu.com - Portal Resmi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kab. Jember

Polemik Sound Horeg: Dosen Unmuh Jember Soroti Pentingnya Pendekatan Sosial-Kultural

 

Polemik Sound Horeg: Dosen Unmuh Jember Soroti Pentingnya Pendekatan Sosial-Kultural (Humas Unmuh Jember/JemberMu.com)

JemberMu.com — Fenomena penggunaan sound horeg kembali memicu perdebatan publik, terutama pasca munculnya respons sebagian pelaku yang menempelkan stiker bertuliskan “halal” pada perangkat mereka. Aksi tersebut dianggap sebagai bentuk tanggapan terhadap fatwa haram yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur pada awal 2025. Polemik semakin meruncing ketika unsur-unsur religius seperti busana gamis turut hadir dalam pertunjukan musik tersebut.

Menanggapi hal ini, Dr. Dhian Wahana Putra, M.Pd.I, Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jember (Unmuh Jember), menilai fenomena ini sebagai cerminan jarak komunikasi antara kebijakan keagamaan dan kondisi sosial masyarakat.

“Masyarakat mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap fatwa tersebut dengan menempelkan label ‘halal’. Ini menjadi sinyal bahwa pendekatan yang selama ini digunakan belum menyentuh aspek kultural masyarakat secara efektif,” ujarnya.

Fatwa MUI Jatim Nomor 1 Tahun 2025 menyatakan bahwa penggunaan sound system yang menimbulkan mudarat seperti kebisingan ekstrem, pemborosan (tabdzir), atau perilaku yang bertentangan dengan etika syariah—termasuk berjoget campur laki-laki dan perempuan—dinyatakan haram. Namun, Dr. Dhian menekankan bahwa tidak semua bentuk penggunaan sound horeg tergolong haram.

“Fatwa tersebut juga menyebutkan bahwa penggunaan sound untuk kegiatan yang positif, seperti pengajian atau hajatan, tetap diperbolehkan selama tidak melanggar batas kewajaran suara dan prinsip syariah,” jelasnya.

Ia juga menyoroti pentingnya proses edukasi sebelum mengeluarkan fatwa yang menyentuh aspek sosial budaya masyarakat. Menurutnya, pendekatan yang digunakan seharusnya tidak semata hukum, tetapi mengedepankan metode edu-sosiokultural yang menggabungkan pendidikan dan pemahaman terhadap budaya lokal.

“Tidak bisa serta-merta datang membawa label haram tanpa ada dialog atau pembinaan terlebih dahulu. Masyarakat kita punya kultur yang kuat, sehingga perlu diajak bicara secara sosial dan kultural,” tambahnya.

Terkait maraknya penggunaan sound horeg dalam iring-iringan jamaah haji yang sempat viral, Dr. Dhian juga memberikan pandangannya. Ia menegaskan bahwa meskipun ibadah hajinya sah, penggunaan perangkat yang menyalahi nilai-nilai syariat tetap harus dievaluasi.

“Ibadahnya sah, tapi perangkatnya harus disesuaikan. Jika tingkat kebisingan melebihi ambang batas 85 desibel sebagaimana ditetapkan WHO, maka itu sudah tidak sesuai dengan etika Islam,” ungkapnya.

Sebagai solusi, ia mendorong adanya sinergi antara tokoh agama, pendidik, dan pemerintah untuk melakukan edukasi secara perlahan namun konsisten kepada masyarakat. Pendekatan yang persuasif dinilai akan lebih diterima dan memberikan dampak jangka panjang daripada tindakan yang konfrontatif.



Penulis : Humas Unmuh Jember