Bisakah Perempuan Menjadi Pimpinan Struktural Muhammadiyah?


Suksesi Pemilihan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, menyisakan beberapa pertanyaan umum yang mungkin sedikit banyak diberikan perhatian. Pertanyaan judul yang provokatif tersebut tentu dengan mudah dijawab. Kita mengenal Prof. Siti Baroroh Baried, Profesor Filologi masuk ke jajaran PP Muhammadiyah pada kepemimpinan Muhammad  Yunus Anis (1959-1962). Beliau merupakan seorang pakar sastra Arab dan tercatat sebagai perempuan pertama yang meraih guru besar di UGM dalam usia yang sangat belia. Selain itu Beliau adalah Ketua Umum PP Aisyiah selama 5 Periode dari tahun 1965-1981.

Kita juga  mengenal pula Dra. Hj. Siti Noordjannah Djohantini, M.M., M.Si. yang masuk dalam PP Muhammadiyah 2015-2022 beberapa waktu yang lalu. Maka jawaban tersebut tentu sudah cukup memuaskan dahaga para pencari jawaban dari judul pertanyaan tulisan ini.

Namun, muncul pula pertanyaan yang menggelitik. Sebagaimana demokrasi yang mensyaratkan adanya pergantian kekuasaan sebagai salah satu ciri demokrasi, apakah dengan masuknya perempuan dalam jajaran PP Muhammadiyah tersebut membuat  Muhammadiyah termasuk organisasi massa yang berlandaskan demokrasi?.

Memang, masuknya perempuan dalam jajaran PP Muhammadiyah tersebut sifatnya “ex officio”, seperti yang disampaikan Ketua PP Muhammadiyah lalu, Prof. Din Syamsudin. Artinya, bukan terpilih dalam muktamar, melainkan masuk melalui jalur tambahan.

Maka jawabannya tentu mudah,  “Ya, tentu saja”  Muhammadiyah memiliki ciri demokrasi. Tidak hanya keterwakilan perempuan dalam  jajaran PP Muhammadiyah, tetapi dalam proses pemilihan Ketua Umum Muhammadiyah melalui proses yang mencirikan demokrasi.
Lalu muncul lagi pertanyaan, bukankah dengan model ex officio itu mengisyaratkan bahwa dalam proses pemilihan itu memang sudah tidak ada perempuan sama sekali?.  Bila demikian,  apakah memang ini menandakan secara simbolik bahwa  dalam Muhammadiyah itu tidak ada peran serta perempuan?.

Pertanyaan tersebut mungkin saja terlintas dalam benak pikiran pembaca.  Bila pembaca memiliki keyakinan bahwa keterwakilan perempuan menjadi syarat bahwa sebuah organisasi itu menjadi organisasi yang sehat karena keberpihakan perempuan yang  diperhatikan.

Bahkan, lebih jauh keterlibatan perempuan menjadi sesuatu hal yang dijamin undang-undang. Misalnya dalam UU Pemilu 2017 yang memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 %. Keterwakilan sebagai bentuk representasi perempuan sebenarnya membawa bentuk simbolik keberadaan perempuan, bentuk substantif yang lebih mengetengahkan isi, dan bentuk transformatif yang mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik.

Maka, perempuan dalam lingkungan apapun memberikan dampak yang signifikan dalam segala lini, baik itu politik, sosial, kebudayaan, ekonomi, dsb. Terlebih keluarga sebagai salah satu bagian dari pembentuk masyarakat, peran perempuan menjadi hal yang vital.

Ibu sebagai perempuan yang memiliki peran vital dalam keluarga misalnya, Ibu adalah madrasah pertama bagi anak. Tempat belajar pertama bagi manusia, sebelum melewati tahapan berikutnya dalam kehidupan. Baik buruknya pun selain nanti dipengaruhi lingkungan, ibu tak pelak memberikan sebuah warna bagi  anak untuk menentukan mana yang baik mana yang buruk bagi dirinya maupun lingkungannya.

Perempuan,  di beberapa epos cerita masa lalu yang dilukiskan dengan tinta yang tidak memiliki warna emas. Bahkan ada yang mengatakan bila perempuan baik, maka baiklah negara tersebut. Sebuah pernyataan yang mengandung makna sebaliknya bila logika materianya diubah secara biner.  

Sejarah juga memperlihatkan bahwa karena perempuan, seseorang (baca: lelaki) bisa berbuat  kejam dengan seluruh kemampuan dan sumber daya yang dia miliki.
Amangkurat I misalnya, dalam Babad Tanah Jawi,  ketika ia mengetahui  putra mahkota mengambil salah seorang gadis dari simpanannya, Amangkurat pun memenggal yang ikut terlibat, lalu menyuruh sang putra mahkota agar menikam sendiri gadis tersebut. 

Atau kisah  Bima dalam Kakawin Bharata-Yuddha  yang membunuh Dursasana dengan kejam, karena Dursasana berusaha menelanjangi putri Drupadi  di depan khalayak saat  pertandingan dadu. Kisah berdirinya kerajaan Singosari tidak lepas dari kemampuan Ken Arok yang merebut Ken Dedes dari Tunggul Ametung. 

Atau kisah pertempuran troya, dalam Iliad and Odisseia karya Homeros, yang menceritakan  pasukan Akhaia  menyerang  kota troya karena Paris menculik Helene  yang merupakan istri dari raja Sparta.
Keempat kisah  tersebut menceritakan betapa perempuan dijadikan objek yang memperlihatkan ketidakberdayaan dan selalu dijadikan alasan laki-laki  sebagai pembenaran untuk melakukan apa yang diinginkan.

Pada zaman modern saat ini tentu hal tersebut sudah hampir tidak ditemukan kembali. Setidaknya tidak dalam sebuah kisah epos besar, mungkin dalam kisah individual yang hanya dianggap sebagai peristiwa kriminal pidana saja, mengikuti perubahan paradigma ilmu dimana manusia berubah dari sebagai objek menuju subjek.
Pada saat ini, keberadaan perempuan  di-amini oleh banyak pihak di berbagai negara di belahan dunia lainya. Di Indonesia, kita bisa melihatnya dari perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah, sebutlah seperti Cut  Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Rasuna Said, Raden Ajeng Kartini, Nyi Ageng serang, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu, Maria Walanda Maramis, Nyi Ahmad Dahlan, Fatmawati Sukarno dan lain sebagainya.

Lalu kembali menjawab pertanyaan bagaimana dengan suksesi kepemimpinan PP Muhammadiyah?, bagaimana peran perempuan dalam proses pemilihan di Muhammadiyah?.

Bila dijawab secara cepat-cepat, sebenarnya dalam proses pemilihan di Muhammadiyah ada perempuan yang masuk dalam daftar calon sementara anggota PP Muhammadiyah Periode 2022-2027 beberapa waktu lalu. Sebutlah, Rahmawati Husein,  dosen Ilmu Pemerintahan UMY.  Lalu  nama Siti Noordjannah Djohantini juga masuk dalam daftar calon sementara.

Di Jawa Timur, perempuan yang masuk dalam calon sementara anggota Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim 2022-2027 seperti Dwi Endah Purwanti, Wakil Ketua  Majelis Pendidikan Kader  PWM Jawa Timur, periode 2015-2022 dan Aini Sukriyah sebagai Ketua PWNA Jatim periode 2015-2022.

Maka secara cepat pula kesimpulan yang bisa diambil memperlihatkan bahwa perempuan bisa berpeluang menjadi ketua di  Muhammadiyah melalui proses pemilihan sebagaimana demokrasi berlaku semestinya.

Konsekuensinya adalah terpilih atau tidak tergantung dari para pemilih yang memberikan suara. Tentunya, apabila pemilih tidak banyak memberikan suara kepada keterwakilan perempuan, maka bisa jadi dalam struktur Muhammadiyah terpilih, keterwakilan perempuan belum bisa diakomodir.

Maka penting untuk membedakan struktur dan proses. Kesimpulannya adalah, tentu dalam proses pemilihan, Muhammadiyah sudah mengakomodir keterwakilan perempuan, bahkan kita bisa melihat kiprah perempuan di PP Muhammadiyah periode 2022-2027 dengan Ketua Bidang Pembinaan Ketahanan Keluarga yang diketuai oleh Dr. Apt. Hj. Salmah Orbayinah, M.Kes. 
Bila melihat secara kacamata pandang politis, melihat  pentingnya keterwakilan perempuan di dalam proses pemilihan PP Muhammadiyah, boleh-boleh saja. Hanya saja pandangan ini seperti mencerabut  akar dari dasar berdirinya Muhammadiyah yang tidak berada pada jalur politik.

Artinya, kalau boleh mengambil pendapat Din Syamsudin, suksesi pemilihan ketua PP Muhammadiyah itu biasa saja. Tidak hanya di PP Muhammadiyah, sampai level Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) pun, pemilihan pimpinan itu biasa saja. Jabatan  Pimpinan itu  bukanlah seperti pandangan politis sebagaimana khalayak umum memahaminya, namun sebagai amanah yang harus dilaksanakan. 
Maka jabatan bukanlah kekuasaan yang harus dipertahankan, bukanlah sesuatu hal yang diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Menilik pendapat Idris Mahmudi, jabatan di Muhammadiyah itu tidak diberikan gaji, dari level ranting hingga pusat. Jadi untuk apa diperebutkan?.  

Selain itu Muhammadiyah menganut kolektif kolegial,  pimpinan di level manapun di Muhammadiyah tidaklah berdasarkan kacamata pandang dunia barat dalam memandang jabatan (baca: kekuasaan). Artinya, siapapun yang menjadi Ketua tidak bisa berperilaku one man one show, akan tetapi seluruh keputusan organisasi diputuskan secara bersama dengan ketua yang lain. 

Inilah yang harus disadari dalam melihat suksesi kepemimpinan di Muhammadiyah. Menilik pendapat Din Syamsudin, Muhammadiyah sangat menghormati kaum perempuan, maka disediakan Aisyiah untuk berbagi tugas. Bahwa perempuan di Aisyiah memiliki Maqomnya sendiri.

Maka yang masih mempersoalkan suksesi kepemimpinan di  Muhammadiyah itu dianggap tidak menghormati perempuan, atau berpendapat bahwa di Muhammadiyah  tidak demokratis, maka sebelumnya perlu untuk melihat Muhammadiyah secara komprehensif dan paripurna.

Dengan melihat Muhammadiyah secara komprehensif dan paripurna nantinya akan terlihat bahwa ada yang lebih penting dari sekedar suksesi kekuasaan. Yang lebih penting adalah mewujudkan tujuan Muhammadiyah yaitu terwujudnya baldatun toyyibatun warobbun Ghofur yang artinya “Negeri yang baik (Baldatun Thoyyibatun)” bisa mencakup seluruh kebaikan alamnya, dan “Rabb yang maha pengampun (Rabbun Ghafur)” bisa mencakup seluruh kebaikan perilaku penduduknya sehingga mendatangkan ampunan dari Allah SwT. 

Wallahua’lambisshowab. 

Oleh:
Iffan Gallant El Muhammady
Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan,  Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jember
 
Lebih baru Lebih lama