Pemilu 2019 semakin dekat. Mesin-mesin politik tiap caleg maupun capres sudah mulai bergerak. Isu-isu sensitif siap direbus dan disajikan kepada masyarakat, tingkat minat baca masyarakat Indonesia yang tergolong rendah mudah sekali dimanfaatkan untuk menjadi target hoaks dan narasi pesimistis. Dan bukan menjadi berita besar lagi bahwa fanatisme masyarakat masih menjadi senjata utama untuk dimanfaatkan.
Fanatisme yang kerap kali timbul dari rasa takut individu, kemudian menjadi rasa takut kelompok dan membentuk suatu komunitas. Lalu, komunitas tersebut merasa saling seperjuangan hingga akhirnya pecahlah demonstrasi dan segala aksi-aksi yang berujung anarkis. Hal seperti inilah yang saya yakini dianggap sebagai harta karun dan menjadi sasaran elit politik.
Bagi saya, tidak masalah bila kelompok-kelompok fanatik tersebut melakukan demontrasi (asal tidak anarkis). Dengan mereka berdemonstrasi, setidaknya menunjukan bahwa ilmu politik rakyat telah berkembang dari acuh tak acuh menjadi peduli. Butuh proses untuk menjadi kritis, tapi tidak apa-apa,kita nikmati proses pendewasaan politik di negeri ini. Namun, yang perlu diperhatikan adalah para elit politik. Momentum demonstrasi ini adalah sasaran empuk untuk permainan mereka. Mudah sekali, pahami keinginan para demonstran, olah menjadi isu yang menarik, kemudian sesekali tambahkan berita-berita kebohongan yang menambah ketakutan para demonstran dan boom, jadilah senjata politik yang dahsyat.
Saya yakin pembaca tidak membutuhkan contoh dari saya, semua sudah ada di media, berbagai aksi sudah dilakukan. Perlu digarisbawahi sekali lagi bahwa saya tidak akan bersikap kontra terhadap aksi mereka, akan tetapi saya di sini akan mencoba menjelaskan sebuah ketakutan yang saya pikirkan. Bayangkan apabila senjata politik bernama fanatisme yang berisi sekelompok masyarakat fanatik itu benar-benar menjadi senjata utama para elit politik? Anda tentu tidak mau politik berisi hal-hal diskriminatif, politik identitas dan semacamnya merajai dunia perpolitikan Indonesia, bukan? Gagasan-gagasan terbaik pun tidak akan berguna dalam kondisi seperti itu. Kalau keadaan sudah separah itu, kita
bukan membangun negara Indonesia, tapi membangun suku-suku barbar yang selalu siap berperang bila kepentingannya disenggol sedikit.
Apabila kejadian seperti itu benar-benar terjadi, siapa yang salah?
Apakah para demonstran?
Tentu tidak!
Mereka hanya murid di dunia perpolitikan, murid yang sedang dalam proses pendewasaan. Siapa yang mengintervensi proses itulah yang salah. Mereka yang dengan liciknya menggunakan murid-murid dan mengarahkannya menuju kebohongan serta ketakutan lah yang seharusnya bertanggung jawab. Coba lihat, berapa kali kubu-kubu politik menyebarkan hoaks? Sekali dua kali? Tidak! Dan inilah sebuah intervensi terhadap proses pendewasaan dunia politik kita! Elit politik terlalu sibuk untuk memenangkan partai hingga mereka lupa bahwa mereka harus menjadi guru yang baik bagi dunia politik Indonesia.
Lalu sebagai murid yang baik, bagaimana kita harus menyikapi hal tersebut? Lupakan soal menyadarkan elit politik untuk bersikap baik, lupakan soal mafia-mafia yang mungkin mencoba mengintervensi segala kebijakan pemerintah di bidang apapun, lupakan soal negeri asing yang mungkin sedang menanamkan pengaruh multidimensionalnya, yang harus kita perhatikan adalah diri kita sendiri. Begini analoginya, anda berusaha membersihkan rumah tetangga sebelah anda, kurang puas, anda terus membersihkan rumah tetangga anda yang jauh, begitu seterusnya, tapi anda lupa dengan rumah anda sendiri. Apakah lantas anda dianggap bersih? Bagaimana kalau orang lewat rumah anda? Berantakan dan tidak nyaman kan? Benar menurut Leo Tolstoy, 'ketika semua orang menyapu rumahnya sendiri, maka dunia akan bersih'. Bung! Bersihkan diri anda bung!
Lantas bagaimanakah maksud dari pembersihan itu? Kawan-kawanku, di era globalisasi ini, kita tidak bisa hidup tanpa filter. Banggalah atas kemudahan akses informasi, tapi ingat, apakah semua informasi itu positif? Apakah semuanya bebas dari hoaks? Dari kebencian? Di sinilah peran penting filter itu, jagalah otak anda dari informasi negatif, hoaks dan bahkan narasi kebencian. Kalau anda tidak hati-hati, anda akan berakhir menjadi pasukan elit politik yang dengan cerdas menipu anda dengan informasi itu.
Untuk bisa terbebas dari informasi negatif, berarti kita juga harus belajar bersabar. Atau, kiasannya, cobalah perpanjang sumbu kita. Jangan mudah tersulut, kemudian menjadi seorang yang anarkis. Tidak masalah anda fanatis, kadang itu perlu untuk membela sesuatu yang baik,akan tetapi kita juga harus belajar bersabar dan melakukan cross check. Mengapa? Bayangkan, ada media yang menyebarkan informasi misalkan 'Lihat! tokoh x menginjak Al-Qur'an!'. Kemudian anda marah, anda kumpulkan massa, lalu anda gebuk habis si X itu. Besoknya, muncul lagi media yang mengklarifikasi kalau si X ternyata tidak menginjak Al-Qur'an, itu hanya editan. Satu nyawa anda habisi secara sia-sia.
Dengan belajar bersabar atau bersumbu panjang, memberikan kesempatan juga bagi kita untuk mengembangkan intelektual kita. Menjadi pribadi yang lebih hati-hati dan berwawasan. Karena dengan bersabar, kita terdorong untuk melakukan pengecekan ulang, kemudian mencari banyak informasi. Tanpa sadar, itu adalah proses belajar yang baik. Anda mengerti banyak hal, dan selamat! Anda naik satu tingkat, anda sudah mencapai tahap 'Peduli dan berwawasan'. Bukankah itu baik untuk kehidupan demokrasi kita?
Sudah cukup sepertinya rakyat dibodohi, dijadikan alat untuk mengejar kekuasaan. Jangan biarkan pemilihan legislatif atau eksekutif menjadi ajang yang mempergunakan kebodohan rakyat untuk menang. Belajarlah bersabar, belajarlah untuk bertanya dan mencari tahu, maka nikmatilah proses pemilu yang beradu gagasan, bukan beradu isu hoaks. Dengan demikian, tidak perlu takut kita memilih orang yang salah, karena pemimpin dan perwakilan rakyat adalah cerminan dari rakyat itu sendiri, kalau rakyatnya cerdas? Jelas, insya allah kita dapat pemimpin dan perwakilan yang cerdas pula. Bravo! Merdeka!
Ditulis oleh David Augusta Chandra Kader IPM SMAN 1 JEMBER