Fiqh munakahat, tujuan dan hukum pernikahan dalam islam. Ilustrasi: prosesi menikah muslimah by mrs2be.ie |
Bismillah ...
Pernikahan dalam Islam adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[1]
Ikatan lahir batin itu dalam bahasa Islam melalui redaksi Al-Qur’an disebut sebagai ميثاقا غليظا (Mitsaqon Gholidzo).
Kata Mitsaqon Gholidzo hanya ditemukan 3 kali dalam Al-Qur’an, yaitu,
Pertama, di dalam QS. An-Nisa’: 21,
وكيف تأخذونه وقد أفضى بعضكم إلى بعض وأخذنا منكم ميثاقا غليظا
Artinya:
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
Perjanjian yang kuat dalam ayat ini adalah ijab qobul pernikahan tersebut.
Kedua, di dalam QS. Al-Ahzab ayat 7 yang menggambarkan perjanjian antara Allah dengan para Nabi-Nabi khususnya Rosul Ulul Azmi, seperti,
وإذ أخذنا من النبيين ميثاقهم ومنك ومن نوح وإبراهيم وموسى وعيسى ابن مريم وأخذنا منهم ميثاقا غليظا
Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika kami mengambil perjanjian dari Nabi-Nabi dan dari kamu (sendiri / Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam. Dan kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.”
Ketiga, terdapat di dalam QS. An-Nisa’ ayat 154 yang menggambarkan bagaimana Allah melalui Musa mengambil janji pada para Bani Israel dengan mengancam mengangkat gunung Thursina diatas kepala mereka agar benar-benar berjanji, karena seringnya Bani Israel membuat maksiat dan mengingkari janji.
Ayat tersebut berbunyi,
ورفعنا فوقهم الطور بميثاقهم وقلنا لهم ادخلوا الباب سجدا وقلنا لهم لاتعدوا في السبت وأخذنا منهم ميثاقا غليظا
Artinya:
“Dan telah Kami angkat keatas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan Kami perintahkan kepada mereka: “masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud”, dan kami perintahkan (pula) kepada mereka: “janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu”, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.”
Dari ketiga ayat tersebut nyatalah bahwa pernikahan yang disetarakan dengan kalimat Mitsaqon Gholidzo adalah bukan main-main.
Tujuan pernikahan dalam Islam
Quraish Shihab mengartikan kalimat Mitsaqon Gholidzo ini dengan “perjanjian yang kuat”. Perjanjian itu terlihat jelas saat ijab-qobul diucapkan. Ketika seorang ayah atau wali menikahkan anak perempuannya, dia pada hakikatnya mengambil janji dari calon suami agar dapat hidup bersama rukun dan damai. Maka begitu ijab qobul terucapkan, tegaklah perjanjian yang kokoh itu (Mitsaqon Gholidzo) dan sah-lah keduanya.
Akibat terciptanya Mitsaqon Gholidzo, seorang wanita menjadi bersedia untuk hidup bersama seorang lelaki yang boleh jadi masih asing atau belum begitu dikenalnya. Wanita tersebut rela meninggalkan orang tua dan keluarga yang membesarkannya dan mengganti semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama dengan seorang lelaki yang menjadi suaminya serta bersedia membuka rahasianya yang paling dalam.
Bahkan pernikahan yang disebut sebagai perjanjian yang kokoh tersebut membuat isteri bersedia dan membolehkan suami untuk melakukan hubungan seks dengannya. Padahal, sebelumnya jangankan memegang, melihat pun dilarang karena aurot wanita sangatlah haram.
Akan tetapi setelah Mitsaqon Gholidzo, akad nikah diucapkan atau pernikahan ditegakkan, aurot yang amat privasi menjadi boleh dibuka, boleh dilihatnya, bahkan menjadi miliknya. Semua itu adalah mustahil kecuali jika wanita (yang menjadi isteri) merasa yakin bahwa kebahagiaannya bersama suami akan lebih besar dibanding dengan kebahagiaannya bersama ibu-bapak dan keluarga besarnya.[2]
Oleh karena itu, jangan sia-siakan atau menyakiti isteri kita, karena ia menerima kita dengan penuh harap untuk bahagia dan ia sangat yakin jika kita bisa mengantarkannya kepada kebahagiaan. Tepat sekali yang tertera dalam kitab Al-Musnad karya Imam Ahmad bin Hanbal nomer 19774 dengan menukil sabda Rosul SAW,
وإنما أخذتموهن بأمانة الله واستحللتم فروجهن بكلمة عز وجل
Artinya:
“Hanyasaja kalian telah mengambil mereka berdasarkan amanah Allah, dan menjadi halal farji-farji mereka dengan kalimat Allah."
Subhanallah, farji atau vagina yang artinya hubungan seks itu haram, tapi wanita sebagai amanah Allah ini menjadi halal dan boleh melakukan kontak seksual dengan kalimat atau menyebut nama Allah pula. Itulah mengapa di dalam hadits yang shahih sebelum suami-isteri melakukan hubungan seksual diwajibkan berdoa yang esensinya adalah menyebut nama Allah.
Doa sebelum berhubungan suami istri
Begitu sakralnya aktivitas seksual yang awalnya sangat dilarang oleh Allah SwT ketika sebelum ijab qobul, berubah menjadi sebuah keberkahan yang bernilai ibadah dengan mengucapkan doa sebelum berhubungan suami istri yang berbunyi,
باسم الله اللهم جنبنا الشيطان وجنب الشيطان ما رزقتنا
Artinya:
“Dengan menyebut nama-Mu ya Allah, jauhkanlah kami dari Syetan dan jauhkanlah syetan dari apa yang Engkau rizkikan (anak) kepada kami."
Hakikat pernikahan
Baik suami atau isteri saling membuka dan saling rela akan kekurangan maupun rahasianya masing-masing karena keduanya yakin bahwa dengan pernikahan ini akan membawa kepada cinta, kasih-sayang, ketenangan yang berujung pada kebahagiaan. Allah pun menegaskan adanya ketenangan tersebut dengan janjinya dalam QS. Ar-Rum: 21 yang berbunya,
ومن ءاياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة. إن في ذلك لأيت لقوم يتفكرون
Artinya:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah, Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
Tiga syarat agar ketenangan dan kebahagiaan melalui bingkai pernikahan dapat dicapai yang diuraikan di dalam Qur’an, antara lain:
Pertama, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqoroh: 187,
هن لباس لكم وأنتم لباس لهن
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.”
Pasangan suami isteri diibaratkan sebagai pakaian merupakan suatu kiasan yang indah. Pakaian artinya untuk dipakai atau bisa digunakan, karena baik suami atau isteri masing-masing saling memiliki hak untuk berhubungan intim, saling memiliki kewajiban dan tanggung jawab sekaligus.
Pakaian artinya untuk melindungi dan menutupi, karena keduanya saling tahu rahasia terdalamnya, maka wajib bagi keduanya untuk saling menutup rahasianya. Biarlah rahasia itu menjadi milik berdua saja, bahkan andai pun terjadi perceraian antar keduanya, rahasia tersebut tetap dijaga hanya diketahui mereka berdua sendiri.
Jika keduanya menikah lagi dengan pasangan lain, maka pasangan baru itupun tak boleh mengetahui rahasia pasangan sebelumnya. Pakaian juga bisa berarti perhiasan atau keindahan, karena pakaian nampak indah jika memilihnya tepat, dirawat, dan dipakai pada orang yang tepat. Suami-isteri boleh bersenang-senang dan saling menikmati keindahan masing-masing, karena mereka adalah menjadi pakaian satu dengan lainnya.
Kedua, terdapat dalam Qur'an Surah An-Nisa’ ayat 19,
وعاشروا هن بالمعروف
“Dan bergaullah dengan mereka secara baik."
Pergaulan suami-isteri yang dibangun dengan baik pasti akan membawa ridlo Allah dan memudahkan turunnya rahmat, ketenangan dan kebahagiaan.
Ketiga, sesuai lanjutan ayat tersebut (Q.S. An-Nisa’ : 19),
فإن كرهتموهن فعسى أن تكرهوا شياء ويجعل الله فيه خيرا كثيرا
“Maka jika kemudian kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak."
Suka-duka, sedih-bahagia, senang-susah, cinta-benci, harmonis-cekcok atau tengkar seringkali datang bergantian. Itulah bumbu indahnya pernikahan. Jika sedang senang dan bahagia bersyukurlah, tapi jika sedang terjadi ketidakcocokan maka bersabarlah. Karena hal itu yang dapat mempertahankan kebahagiaan.
Hikmah pernikahan
Kendati perjanjian atas nama pernikahan amat berat konsekuensinya, namun para pemuda Islam tidak perlu takut, karena ternyata segala beban kehidupan menjadi lebih ringan jika diselesaikan berdua daripada dipikirkan sendirian.
Maka menikahlah, karena Rasulullah SAW memotivasi para pemuda Islam melalui sabdanya,
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء. (رواه البخاري : 4677
“Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang telah mempunyai kemampuan, maka hendaknya ia menikah. Karena menikah itu bisa membahagiakan dan meredam nafsu. Dan barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah, karena berpuasa itu bisa menjadi tameng/benteng.”
Nampaknya hanya Islam yang berani dengan tegas menyatakan larangan membujang dan sangat menganjurkan menikah seperti yang disebutkan dalam hadits berikut,
عن أنس بن مالك قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمر بالباءة وينهى عن التبتل نهيا شديدا ويقول تزوجوا الودود الولود إني مكاثر الأنبياء يوم القيامة. (مسند أحمد بن حنبل : 12152
Artinya:
“Dari Anas bin Malik berkata, Rosul SAW memerintahkan kita untuk menikah dan melarang untuk membujang dengan larangan yang keras, dan Beliau bersabda : “Menikahlah dengan seorang wanita yang memiliki kasih sayang serta menghasilkan banyak keturunan. Karena sesungguhnya saya berlomba-lomba untuk saling memperbanyak umat dengan para Nabi pada hari kiamat.”
Hukum pernikahan dalam Islam
Menyibukkan diri atas nama ibadah lalu meninggalkan menikah tidaklah dibenarkan, karena menikah adalah bagian dari ibadah itu sendiri. Bahkan hanya Islam yang berani menyatakan dalam hadits sahih bahwa hubungan seksual yang dilakukan oleh suami dan isteri dinilai sebagai ibadah, dianggap sebagai sedekah dan berpahala.
Muslim di bab Zakat hadis nomer 1006 meriwayatkan bahwa hubungan seksual diantara suami-isteri adalah ibadah itu sendiri atau setara dengan sedekah, seperti petikan hadis berikut,
وفي بضع احدكم صدقة. قالوا : يا رسول الله, ايأتي احدنا شهوته ويكون له فيه أجر ؟ قال: أرأيتم لو وضعها في حرام أكان عليه فيها وزر ؟ فكذلك إذا وضعها في الحلال كان له أجر
Artinya:
“Dan dalam setiap hubungan intim salah seorang diantara kalian bernilai sedekah. Mereka (para sahabat) bertanya: ya Rosululloh, apakah seorang diantara kita melampiaskan syahwatnya dan mendapat pahala karenanya? Rosululloh bersabda : bagaimana pendapat kalian, sekiranya syahwat itu dilampiaskan pada sesuatu yang haram (bukan isterinya), bukankah ia mendapatkan dosa? maka begitu pula jika dilampiaskan pada yang halal, ia pun mendapat pahala.”[3]
Rasanya hanya hubungan seks satu-satunya ibadah yang sebenarnya tidak berat, bahkan justru memperoleh kepuasan dan kenikmatan. Suatu ketika ada beberapa orang mendatangi Rosul SAW dan bertanya tentang bagaimana perilaku Nabi. Aisyah menjawab dengan,
كان خلقه القران
“Akhlaqnya Nabi adalah Al-Qur’an.”
Merasa seakan tidak mampu menyamai ibadahnya dengan nabi maka mereka membuat keputusan untuk tidak menikah agar bisa berkonsentrasi dalam ibadah. Maka lahirlah hadits yang selalu ditulis dalam pesta-pesta pernikahan yang berbunyi,
النكاح من سنتي فمن رغب عن سنتي فليس مني
Artinya:
“Nikah itu adalah bagian dari perilaku ku, maka barang siapa yang tidak suka dengan perilaku ku, maka dia bukan dari golonganku."
Doa pernikahan
Jika kita ingin mengikuti Nabi SAW, maka menikahlah. Karena Nabi selalu mendoakan orang yang menikah dengan doa,
بارك الله لك وبارك عليك وجمع بينكما على خير. (مسند أحمد بن حنبل : 8600 & 8599
“Semoga Allah memberkahi kamu, dan semoga berkah Allah terlimpah atas kamu dan semoga Allah mengumpulkan kalian dalam kebaikan."
Dengan menikah urusan dunia menjadi lebih mudah. Allah pun dalam Q.S. An-Nur : 32 memerintahkan dan memotivasi dengan dorongan yang menggiurkan,
وأنكحوا الأيامى منكم والصالحين من عبادكم وإماءكم إن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله. والله واسع عليم
Artinya:
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu baik laki-laki maupun yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan mereka dengan karunianya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui."
Menurut hadits hasan yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i nomer 3133, dan Turmudzi nomer 1756 bahwa salah satu dari 3 orang yang berhak mendapat pertolongan Allah adalah,
الناكح يريد العفاف
“Orang yang menikah karena bermaksud untuk menjaga diri”.
Menjaga diri, yakni menjaga kemaluan (tidak melakukan hubungan seksual secara bebas) merupakan salah satu tanda orang yang beriman sebagaimana disebut dalam QS. Al-Mu’minun: 5-6,
والذين هم لفروجهم حافظون إلا على أزواجهم أوماملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela."
Hubungan suami istri dalam Islam
Lelaki maupun wanita yang menjaga betul syahwatnya karena Allah, kemudian memenuhi perintah Allah lewat pernikahan, serta atas nama Allah pula kini farjinya menjadi halal untuk melakukan hubungan seksual dalam status suami-isteri. Maka teguklah kenikmatan yang halal itu dengan cara yang baik.
Pendiri aliran psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939), seorang neurolog asal Austria keturunan Yahudi dalam bukunya Totem and Taboo berkeyakinan bahwa perilaku manusia digerakkan oleh libido dan motif seksual.
Seperti halnya kasus yang mengguncang gedung putih Amerika Serikat semasa era Bill Clinton ataupun berbagai skandal dalam negeri yang melibatkan tokoh-tokoh publik termasuk anggota DPR dan lain sebagainya hanyalah satu penggalan kecil dari babak sejarah bagaimana kuasa seksual menjadi motif kuat yang mempengaruhi.[4]
Padahal mereka semua memiliki isteri sebagai pasangan yang sah untuk berhubungan seksual. Mengapa masih mencari jalan lain sebagai pelampiasan? Allah menegaskan dalam Q.S. Al-Mu’minun: 7 yang artinya, “Maka barang siapa yang mencari dibalik itu (selain dari isterinya), mereka itulah yang melampaui batas."
Maka kepada kaum isteri, puaskanlah suamimu agar nafsunya tidak liar, hanya tunduk padamu yang telah Allah halalkan. Seperti kata Sigmund Freud, bahwa libido jika datang amat besar dan sulit dibendung, maka segera layani dan jangan ditunda lagi.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi No. 927 disebutkan, Dari Thaliq bin Ali, Baginda nabi Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang isteri diajak suaminya untuk berhubungan intim, maka hendaklah ia melakukannya meskipun sedang memasak di dapur”.
Redaksional hadits yang lain menyatakan, “Jika seorang isteri diajak suaminya untuk berhubungan intim, maka hendaklah ia melakukannya meskipun sedang berada di punggung onta."[5]
Bahkan peringatan Rasulullah SAW yang sering kita dengar,
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فأبت فبات غضبان عليها لعنتها الملائكة حتى تصبح
“Dari Abu Huroiroh, Rosul bersabda, “Jika seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur (berhubungan seksual), lalu isterinya menolaknya sehingga suaminya melalui malam itu dalam keadaan marah, maka malaikat melaknat isterinya itu hingga subuh."[6]
Bahkan meskipun dalam keadaan haid, jika suami sedang berhasrat maka layanilah dan puaskanlah dengan cara-cara alternatif lain, selain kontak seksual secara langsung (selain genito-genital sex atau hubungan seksual dari penis ke vagina).
Hal ini diilustrasikan dari sabda Nabi Muhammad SAW,
عن أنس رضي الله عنه ان اليهود كانوا اذا حاضت المرأة فيهم لم يؤاكلوها ولم يجامعوهن في البيوت. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إصنعوا كل شيء إلاالنكاح
“Dari anas RA, bahwa orang-orang Yahudi, apabila seorang wanita diantara mereka datang bulan (haid) mereka tidak makan bersamanya dan tidak mengumpuli (jima’) mereka di dalam rumah. Lalu Rosululloh SAW bersabda, “berbuatlah apa saja yang kamu suka kecuali jima’. (HR. Muslim dan Ahmad).[7]
Sekilas Islam nampak diskriminasi karena sanksi seakan hanya bagi isteri yang menolak ajakan suami. Meski secara tekstual baik Al-Qur’an maupun hadits tidak terdapat vonis tegas bagi suami yang mengabaikan, tapi secara logika terbalik suami juga dilaknat malaikat jika ajakan ranjang isterinya diabaikan.
Pada dasarnya, wanita pun memiliki hasrat seksual sebagaimana laki-laki. Hanya saja rasa malunya lebih tinggi sehingga menyelimuti hasrat seksualnya. Dalam setiap aktivitas seksual pasangan suami-isteri, ada hak dan kewajiban diantara keduanya yang sama dan sepadan, karena hubungan seksual adalah kebutuhan batin bagi keduanya.
Dalam kenikmatan seksualitas, masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Baik istri maupun suami sama-sama memiliki hak untuk menikmati kemesraan bersetubuh dan sama-sama memiliki kewajiban untuk memenuhi keinginan bersetubuh pasangannya. Di zaman Kholifah Umar Bin Khottob pernah seorang wanita mengadu tentang perilaku suaminya yang selalu beribadah kalau malam dan berpuasa ketika siang harinya.
Maka khalifah Umar mengutus hakim untuk memutuskannya dan ternyata kesalahan terletak pada suami serta akhirnya suami itu mengubah prilaku keterlaluannya dalam beribadah. Mengapa Umar dan hakimnya melarang hal itu?, Karena istri berhak menikmati kemesraan ranjang bersama suaminya dan suami wajib untuk memenuhinya.
Bahkan suatu ketika disaat Kholifah Umar melakukan inspeksi mendadak pada rumah-rumah para prajurit di malam hari ia mendengar rintihan seorang wanita,
“Malam begitu lama, dingin dan senantiasa gelap gulita Cukup lama bagiku sendiri tanpa teman yang bisa kuajak bermain Demi Allah, kalau bukan karena takut kepadanya semata Niscaya ranjang ini sudah bergoyang dengan pria lain Tetapi, keberadaan Allah dan rasa malu cukup bagiku untuk mempertahankan diri Dan aku menghormati suami agar istrinya tidak berbuat serong."
Setelah mendengar informasi bahwa suami wanita itu tidak ada sedang di medan perang, maka Umar pun menarik pasukannya. Lalu Umar bertanya pada Hafshoh putri kesayangannya, “Seberapa lama seorang wanita sanggup menahan 'keinginannya'? Hafshoh menjawab, “5 atau 6 bulan”. Kemudian Umar menetapkan maksimal lamanya pasukan di medan perang atau maksimal lamanya bepergian bagi seorang keluarga tanpa pasangan menyertainya adalah 6 bulan.
Mengapa ketetapan itu terjadi? Karena bagi istri ataupun suami memiliki hak kemesraan ranjang bersama pasangannya, dan pasangannya wajib memenuhi keinginan pasangannya tersebut (dalam Mahmudi, 2009 : 145-146).
Rasulullah SAW bersabda, “Dari Abu Juhaifah Wahb bin Abdillah Ia bercerita, Nabi mempersaudarakan Salman dengan Abu Darda’. Maka Salman mengunjungi Abu Darda’, lalu dia melihat Ummu Darda’ (Istri Abu Darda’) berpakaian lusuh. Maka Salman bertanya “ada apa denganmu (yakni mengapa kamu tidak berhias)?” Ummu Darda’ menjawab “saudaramu Abu Darda’ tidak berkeinginan lagi terhadap dunia."
Kemudian Abu Darda’ datang dan menghidangkan makanan untuknya (Salman). Lalu Abu darda’ berkata padanya, “makanlah, karena aku tengah berpuasa,” Salman pun menanggapi, “aku tidak akan makan hingga kamu ikut makan bersamaku.” Abu Darda’ pun makan. Malam harinya, Abu Darda’ bangun, namun Salman berseru kepadanya “tidurlah!” sehingga Diapun kembali tidur. Tidak lama berselang Dia bangun lagi, dan Salman berseru lagi kepadanya “tidurlah!” Lantas pada akhir malam, Salman berkata “sekarang bangunlah”.
Lalu keduanya mengerjakan sholat malam. Sesudah itu Salman berkata, “sesungguhnya Tuhanmu mempunyai hak atas dirimu, dirimu pun mempunyai hak atas dirimu, dan keluargamu (isterimu) juga mempunyai hak atas dirimu. Oleh karena itu, berikanlah hak kepada setiap pemiliknya.”
Kemudian Abu darda’ mendatangi Nabi Muhammad SAW dan menceritakan hal tersebut kepada Beliau. Maka Beliau pun bersabda kepadanya, “Salman telah berkata benar.” (H.R. Bukhori dalam Riyadus Sholihin, jilid 1, 2013 : 444).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abu Muhammad (Abdulloh bin Amr bin Ash) bercerita, “Ayahku menikahkanku dengan seorang wanita yang terpandang.” Ayah selalu memantau kondisi menantunya (isteriku) dan bertanya kepadanya tentang keadaan suaminya (aku). Maka Isteriku berkata, “Suamiku sangat baik, hanya saja sejak pernikahan, dia belum pernah menginjak ranjang kami dan menyingkap tirai kami (maksudnya belum pernah berhubungan badan dengan isterinya).”
Setelah kondisi seperti ini berjalan beberapa lama, ayahnya mengadukan hal itu kepada Nabi Muhammad SAW dan Nabi pun berseru, “bawalah dia ke hadapanku!” kemudian Nabi menasehatinya untuk merubah dan melayani hak seksual isterinya. (Riyadus Sholihin, jilid 1, 2013 : 451).
Nabi Muhammad juga bersabda, “Dari Anas Bin Malik, Rosul bersabda, “Apabila salah seorang diantara kalian menggauli istrinya, maka hendaklah ia menyempurnakannya. Jika ia telah terpenuhi hajatnya, sementara istrinya belum terpenuhi hajatnya, maka janganlah ia terburu-buru menyelesaikannya.”
Hadits ini menunjukkan bahwa kenikmatan seksual, yaitu mencapai orgasme harus dirasakan bersama oleh suami maupun isteri.[8] Hadis-hadis tersebut menjadi landasan konstruksi teologis seksual bagi wanita untuk dipenuhi hak seksualnya secara adil dan sukarela oleh suaminya.
Akhirnya, suami-isteri yang saling memegang teguh perjanjian pernikahan, saling mencintai dan saling melayani akan terus utuh dan bersatu baik di dunia maupun di akhirat. Mereka yang taat melaksanakan pesan-pesan ilahi masih akan dipersatukan dan hidup bersama lagi di hari kemudian sebagaimana ilustrasi yang digambarkan dalam Qur'an Surah Yasin: 56 yang berbunyi,
هم وازواجهم في ظلال على الأرائك متكئون
“Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan diatas dipan-dipan”. Semoga pernikahan dan rumah tangga kita dijadikan sebagai rumah tangga yang menuai berkah, menjadi sakinah, mawaddah wa rohmah."
Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah menjadikan pernikahan dalam Islam sebagai sebuah berkah bagi hamba-Nya yang taat. Semoga pernikahan yang diniatkan sebagai ibadah dan bentuk ketaqwaan terhadap Allah SwT dapat mengantarkan setiap pasangan untuk bahagia di dunia dan akhirat. Aamiin. ● fhr
Ditulis oleh:
Ust. Idris Mahmudi, A.Md, M.PdI
cp, 081336385486
Referensi:
1). UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab 1 Pasal 1.
2). Shihab. Al-Misbah Jilid 2, Lentera Hati, 2011. Ciputat. Hal. 466.
3). Al-Dimyati, 40 Hadis Imam Nawawi, Hikmah Populer, 2011. Jakarta Selatan. Hal. 387.
4). Al-Dimyati, 40 Hadis Imam Nawawi, Hikmah Populer, 2011. Jakarta Selatan. Hal. 387.
5). Lihat Nasaruddin Umar, dalam Jurnal Transitional Justice, Volume 2, No. 1, April 2001. Hal. 26-27.
6). Dalam Bukhori No. 2998, 4793, Muslim No. 2596, Abu Dawud No. 1829, dan Musnad Ahmad bin Hanbal No. 9294, dan 9835.
7). Idris Mahmudi, dalam “Mesra Bercinta Meski Haid Melanda”, Pustaka Abadi, 2017. Jember. Hal. 26.
8). Idris Mahmudi, dalam “Seks Islami Ditinjau Dari Segi Al-Qur’an, Hadis dan medis”, Dianloka Pustaka, 2009. Jogja. Hal. 62.