Artikel Motivasi : Filosofi Benang Ruwet

artikel-motivasi-benang-kusut

Seorang anak bermain layang-layang. Merasa senang, indah dan menghibur bisa mengendalikan dan melihat layang-layang terbang di angkasa meski dia sendiri masih tetap di bumi. Karena sesuatu hal, layang-layang itu tersangkut di pucuk dedaunan pohon yang tinggi. Tidak mungkin ia mengambil layang-layang tersebut. Hanya ada satu cara yang bisa dilakukan... menarik benang dengan harapan layang-layang bisa terselamatkan. Namun fakta bicara lain, benang putus, layang-layang hilang, dan tarikan benang yang masih panjang justru menyatu menjadi benang mbulet. Sang anak berusaha membetulkan benang ruwet, ternyata tidak berhasil. Waktu terbuang, energi terkuras bahkan pikiran lelah untuk sebuah benang ruwet yang akhirnya menyita segalanya. Sang anak memutuskan mengadu dan minta tolong pada bapaknya untuk membetulkan benang ruwet. Sang bapak melihat betapa ruwet dan sia-sia jika membenahinya, maka ia bilang dan bertindak : "nak benang yg ruwet dibuang saja, tak belikan benang baru dan tak belikan layang-layang yang baru".


Seringkali hidup kita seperti bermain layang-layang, yang terhibur dengan layang-layang yang indah terbang sementara kita tidak beranjak dari tempat, tetap menapak di bumi. Seringkali kita diterpa masalah kehidupan yang rumit hingga tanpa kita sadari seperti benang mbulet yang menghabiskan energi padahal ada banyak hal dan pekerjaan besar yang menanti.


Terkadang ada orang yang bermaksud memberi layang-layang baru pada kita karena percaya akan piawainya kita dalam mengendalikan dan memainkan layang-layang, tapi urung/tidak jadi karena kita menutup diri, tidak meresponnya dengan cara masih melihat dan fokus pada layang-layang yang tersangkut di pohon, yang jelas tidak dipegang tangan lagi. Tidak sedikit pula..., ada orang yang sebenarnya ingin memberi benang baru buat kita, tapi juga urung/tidak jadi karena tertutupnya kita dengan berfokus membenahi benang ruwet. Akhirnya..., sang dermawan layang-layang dan benang baru tidak jadi memberikan maksud baik donasinya, sementara kita hanya memandang layang-layang yang tersangkut pohon sambil ditinggali benang ruwet nan kusut.


Kita tidak sedang bermain layang-layang, bahkan kita harus naik tingkat. Bukan layang-layang yang terbang, tapi kitalah seyogyanya yang terbang seperti layang-layang. Bahkan kalau perlu kita yang terbang membawa layang-layang. Dalam bermuhammadiyah kita harus berani dan riil menjalani perjuangan. Bahwa melihat di luar kita seakan indah dan tiada masalah, seindah anak yang melihat layang-layangnya terbang. Tapi...,hakikatnya rumput tetangga tidaklah sehijau rumput kita sendiri. Hanya kita terbius dan perspektif kita sedang terbalik. Kalau memang perspektif kita benar dan nyata bahwa rumput tetangga ternyata lebih hijau dari rumput kita sendiri, kenapa kita tidak termotivasi menghijaukan rumput sendiri?.


Muhammadiyah adalah rumput dan rumah kita sendiri. Aneh dan lucu jika kemudian kita tinggalkan rumah kita, lalu numpang ke rumah tetangga sambil menghujat kejelekan rumah sendiri. Saya kira orang yang arif adalah orang yang berani mengakui dan mendiami rumah sendiri dan berjuang memperbaiki apa yang dirasa kurang hingga terasa lebih baik dan nyaman.


Sayangnya.... banyak orang yang terfokus dengan layang-layang yang tersangkut, menghabiskan energi untuk benang kusut, dan tidak sadar meninggalkan, tidak merawat rumah sendiri, memilih numpang ke rumah orang lain sambil dengan lantangnya mencaci kekurangan rumah sendiri.


Jika kita ingin terbang dan menjadi lebih baik,... maka kita harus berani mengucapkan "Selamat tinggal layang-layang yang tersangkut, selamat tinggal benang mbulet nan kusut, dan segera kita temukan jalan pulang, kembali dan berjuang di rumah kita sendiri.”


Idris Mahmudi, Amd.Kep., M.Pd.I.

(Anggota Majelis DIKDASMEN Bidang Pesantren PDM Jember)
Lebih baru Lebih lama