Kisah Da'i MN Soekatman AS Lolos Dari Bayonet Berdarah 30S PKI Banyuwangi

MN Soekatman AS lolos dari Gerakan 30 September PKI Banyuwangi
Dai Anak Panah Muhammadiyah - Ust. MN Soekatman AS semasa masih sehat dan memberikan ceramah pada salah satu kesempatan pengajian Muhammadiyah. Sejak muda, beliau merupakan da'i benum atau persiapan yang dikader langsung oleh Kyai Haji Ahmad Zainuri, Tokoh pendiri Muhammadiyah kabupaten Jember.
Bermula tahun 60-an, tokoh Muhammadiyah Jember KH Ahmad Zainuri mengirim kadernya untuk tugas khusus sebagai muballigh "dai benum" di desa terpencil, Buluagung Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi.

Disana, da'i muda yang bernama asli MN Soekatman AS ini "ditampung" oleh Haji Siraj. Sang Da'i ini memulai kegiatannya dengan mengajak sholat berjamaah dan mengaji bagi keluarga di lingkungan rumah beliau. Sambutan masyarakat sangat positif baik kalangan masyarakat bawah maupun ningrat yang diantranya terdapat pegawai maupun guru pada waktu itu. Selang berapa lama, akhirnya berdirilah sebuah musholla sederhana di samping rumah pak Haji Siraj.

Hingga berjalan 4 tahun pengajian rutin berjalan secara "anjang sana" meskipun listrik belum ada, hanya berbekal lampu obor minyak dan bersepeda pancal (angin) yang difasilitasi oleh pak Haji. Kegiatan pun semakin meluas hingga desa Siliragung. Dan disambut baik serta diterima oleh kalangan pendidik.

Sejak saat itu, dimulailah untuk merintis lembaga pendidikan setingkat SD dan diberi nama "Wathoniyah". Sebuah nama yang terinspirasi dari naluri seorang kader pandu Muhammadiyah Hizbul Wathon, Watukebo - Ambulu - Jember.

Namun kondisi dan situasi politik nasional pada saat itu mulai goyang dan mencekam, dan ternyata situasi semacam ini menjalar hingga ke wilayah desa terpencil sekalipun. Para tokoh setempat tidak ketinggalan sudah mulai saling lirik penuh waspada dan saling curiga.

Partai-partai polik besar seperti Masyumi dan PKI seolah saling berhadap-hadapan. Informasi yang tidak mudah didapat kala itu membuat suasana semakin mencekam. Radio transistor yang hanya dimiliki kalangan tertentu menjadi sumber berita paling penting untuk memantau perkembangan dari pusat pemerintahan.

Sebagai kader Muhammadiyah terpilih dan sudah terlatih dalam menjaga situasi segenting apapun, Da'i muda MN Soekatman AS tetap fokus pada sekolah yang dirintisnya, bahkan dari teman-teman Nahdlatul Ulama pun bergandeng tangan turut "ngopeni" murid-murid sekolah Wathoniyah tersebut. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga agar kondisi tetap kondusif.

Tepat 51 tahun yang lalu, 30 September 1965...

Seperti biasa, MN Soekatman AS pagi itu datang ke Gandok (Balai Desa) berniat akan bertemu dengan Kepala Desa. Namun beberapa orang disitu seperti perangkat Desa terdiam, suasana tegang sangat terasa, lalu lalang tokoh relasi Kepala Desa keluar masuk ruangan.

Da'i muda yang suka tersenyum ini berusaha memecah kekakuan situasi dan langsung menyapanya, "Kok sepi pak ya, pada kemana teman-teman biasanya banyak berkumpul disini".

Tidak segera menjawab dan berwajah penuh misteri, sang Kepala Desa menarik tangan MN Soekatman AS dan dipeluknya erat-erat hingga menitikkan air mata.

Rupanya Kepala Desa menyimpan keharuan dibalik ketegangan situasi yang terjadi. Seakan sama-sama memahami situasi yang ada, kedua sahabat berbeda ideologi itu serasa saling menjaga hati masing-masing. Sementara di sisi lain di belakang kamar mandi bersebelahan dengan ruang Kepala Desa "ternyata" telah bersiap barikade Pemuda Rakyat binaan PKI bersenjata lengkap dan mengantongi nama-nama target lawan politik yang hendak dihabisi.

Belakangan diketahui, ternyata kepala desa yang berideologi berseberangan dengan MN Soekatman AS tersebut yang telah merencanakan pembunuhan. Namun beliau pula yang menggagalkan eksekusi dari "Pemuda Rakyat" dikarenakan ketegaran dan sikap satria yang ditunjukkan oleh sang Da'i benum.

Meletuslah Peristiwa G30S/PKI, meluas...

Alhamdulillah, rupanya Allah SWT memiliki rencana dan takdir tersendiri. MN Soekatman AS sebagai Da'i yang juga masuk dalam "target" dapat pulang dalam keadaan sehat wal afiat hingga ke rumah pak Haji Siraj. Dan pada saat itu pula telah datang utusan Kyai Ahmad Zainuri memanggil pulang MN Soekatman AS untuk kembali ke Jember.

Namun karena sarana transportasi sangat sulit pada masa itu, maka beliau tidak bisa begitu saja langsung pulang ke Jember. Baru keesokan harinya tanggal 1 Oktober 1965 dapat melanjutkan perjalanan ke Jember, dimana situasi dan kondisi benar-benar mencekam. Tidak mudah berkomunikasi meskipun antar teman karena situasi "perang saudara".

Meski nyawa terancam, MN Soekatman AS masih memikirkan kelangsungan sekolah "Wathaniyah" yang telah dirintisnya. Terhitung hanya beberapa saja teman yang sempat 'dititipi' sekolah tersebut, termasuk dari kalangan NU.

Pagi tanggal 1 Oktober 1965 adalah perjalanan pulang yang penuh diwarnai dengan kengerian. Desa Jajag Banyuwangi sepi, hanya kelompok-kelompok orang berwajah garang dengan tatapan penuh kecurigaan.

Sesampai di desa Gambiran, meledaklah pertumpahan darah. Hingga Kota Genteng Banyuwangi kekacauan tak terhindarkan. Wanita-wanita berkerudung layaknya wanita Muslimat menyambut pasukan Ansor dengan hidangan makanan di posko.

Ternyata, Astaghfirullah...

Mereka adalah Gerwani 'Organisasi Sayap PKI kala itu' yang membawa makanan berbumbu racun. Dihidangkan pada pasukan Ansor, tak terelakkan korban bergelimpangan. Dan untuk yang kesekian kalinya, MN Soekatman AS masih ditakdirkan selamat dari maut strategi licik PKI.

Pasca pemberontakan PKI,

Peristiwa berdarah tidak mudah untuk dilupakan, hingga situasi politik mereda namun bayang-bayang kejadian yang dialami itu masih menggelayut dalam perasaan Da'i MN Soekatman AS.

Akan tetapi ketokohan Kyai Ahmad Zainuri sangat tampak kala itu, tahun 1967 diutuslah kembali sang Da'i MN Soekatman AS ini untuk kembali meneruskan "proyek" dakwahnya. Kejadian mengerikan sekitar 2 tahun sebelumnya dianggapnya sebagai rintangan kecil dalam mendakwahkan Islam.

Baginya, dengan ber-Muhammadiyah tidak mengenal badai bahkan hujan batu sekalipun, kata Kyai yang notabene sebagai tokoh Masyumi tulen ini dalam menyemangati kader-kadernya.

Sebagai kader, berangkat kembali MN Soekatman AS, tetapi untuk kali ini menuju desa Siliragung. Saran baik dari teman-teman lama ini patut diterima sang Da'i mengingat peristiwa sebelumnya.

Bak gayung bersambut, pada tahun itu pula disusunlah kekuatan mengibarkan bendera dengan memproklamirkan "Pemuda Muhammadiyah" dengan merangkul kalangan pemuda dan remaja setempat. Dan kelak ternyata, pemuda-pemuda itu menjadi cikal bakal Muhammadiyah Cabang Pesanggaran Banyuwangi.

MN Soekatman AS merupakan da'i muda nan nyentrik yang suka musik. Ia gunakan kemampuan dan keahliannya ini sebagai salah satu alat dakwah dengan pasukan Drum Band yang dilatihnya sendiri, sedangkan peralatan disokong oleh para donatur dan simpatisan yang berempati dengan gerak dakwah Muhammadiyah disana.

Hingga akhirnya, Cikal bakal Muhammadiyah tersebut mendapat kepercayaan untuk menerima tanah wakaf yang didapatkan dari seorang dermawan dan untuk pertama kalinya didirikan Masjid yang diberi nama Masjid "Ar-Rahmah" Siliragung.

Tahun berikutnya jama'ah semakin banyak, pemikir, pejuang dan pendukung gerak dakwah semakin kuat dan bertambah. Hingga akhirnya, berdirilah sebuah sekolah yang saat ini bernama "SMP Muhammadiyah 5 Pesanggaran" Banyuwangi.

Langkah dan perjuangan tidak selalu berjalan mulus. Berdakwah dan membesarkan persyarikatan terkadang menemui kendala dan rintangan juga, hal itu sudah menjadi lumrah dalam berorganisasi.

Bagaimana dengan lembaga pendidikan "Wathoniyah" yang dulu pernah dirintis?,

Alhamdulillah kini telah dikelola oleh saudara-saudara Nahdlatul Ulama. Sebuah gambaran hubungan persaudaraan tauhid sesama umat Islam yang dicontohkan oleh para pendahulu kita untuk menjunjung tinggi nama baik, harkat dan martabat Agama.

Kembali ke pangkalan,

Tahun 1987 Kyai Ahmad Zainuri memanggil sang Da'i MN Soekatman AS untuk kembali ke pangkalan, yaitu di Jember. "Tinggalkan sudah Banyuwangi, kader sudah banyak dan nanti akan berkembang dengan sendirinya," ujarnya.

MN Soekatman AS muda berseragam Hizbul Wathan
MN Soekatman AS muda berseragam Hizbul Wathan
Sebagai kader Hizbul Wathan, tidak ada kata berhenti dalam berdakwah. Tercatat dalam sejarah, beliau sempat mengukir "Meru Betiri Service Camp" pada 2 Januari tahun 1987.

Hingga akhir hayat, MN Soekatman AS tetap difungsikan sebagai "Anak Panah" dakwah Muhammadiyah oleh sang guru, Kyai Ahmad Zainuri. Di Jember pun beliau juga ditempatkan di medan sulit seperti daerah desa Sanenrejo, kecamatan Tempurejo, kabupaten Jember.

Dan pada 1 Oktober 2014, MN Soekatman AS memenuhi panggilan untuk menghadap Allah SWT untuk selama-lamanya. ●

Dikisahkan ulang oleh Bang Ellys putra MN Soekatman AS yang pernah mendapatkan cerita langsung dari yang bersangkutan. Saat ini mendapat amanah sebagai sekretaris PCM Bangsalsari Jember.
Lebih baru Lebih lama