Menelaah Konsep Naluri Beragama

Naluri Beragama
Penulis memaparkan 2 fenomena menarik sebagai perwakilan dari beberapa fakta yang selama perjalanan dakwah ini kami temukan, untuk memulai sebuah prolog tulisan pada kesempatan kali ini. Pertama, pada Sabtu, 16 September 2017 kami berkesempatan diminta menjadi pembaca doa di ulang tahun salah satu Network Marketing yang ditempatkan di salah satu hotel berbintang yang terkenal di Jember. Diantara puluhan orang-orang Networker yang jutawan (bahkan ada yang non-muslim) itu doa secara spiritual Islam dipanjatkan, padahal acara dan komunitas tersebut bukan berorientasi agamis, bahkan murni bisnis. Kedua, pada Jumat, 29 Setember 2017 di sebuah mall terbesar di Jember kami diminta untuk memberi spiritual motivation (siraman rohani) bernuansa Islami pada semua karyawan mall tersebut.

Pemandangan yang unik dan memukau bagi kami, karena semua karyawan wanita tanpa berjilbab dan hampir semua memakai rok mini, namun tetap dengan khusyu’ mencoba mendengar dan memahami uraian kami. Sebuah perusahaan bisnis yang murni berorientasi kapital, pemegang sahamnya non-pribumi dan non-Islam, dengan 95 % karyawannya muslim namun tidak diperkenankan memakai jilbab sebagai konsekuensi kewajiban bagi muslimahnya. Meski demikian, acara ceramah agama bisa diselenggarakan bagi semua karyawan, security, bahkan pimpinan-pimpinan unit lain di mall tersebut.

Mengapa kedua perusahaan bisnis tersebut mengadakan pembinaan spiritual yang berbasis Islami ? Karena, spiritualitas tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, dan kepercayaan tentang Tuhan merupakan bawaan manusia yang diturunkan dari generasi ke generasi (nature). Viktor Frankl menyatakan bahwa keberadaan manusia adalah keberadaan spiritual (Human beings are spiritual beings). Roger Trigg, Profesor filsafat dari the University of Warwick Inggris menegaskan bahwa pada masyarakat yang atheis pun (seperti Soviet-Rusia) tetap tidak bisa menghilangkan unsur-unsur keagamaan setidaknya dalam pengertian yang luas, sebagai belief system.2 Training-training spiritual yang diadakan di perusahaan, melalui hasil-hasil research ternyata membuat hasil produksi dan omzet perusahaan itu makin meningkat.

Hal ini karena substansi materi-materi dalam pelatihan spiritual yang meliputi tema kejujuran, amanah, menghargai waktu, kedisiplinan, semangat bekerja sebagai ibadah, dan kerja sama tim ternyata mampu memompa semangat yang berkorelasi dengan meningkatnya produksi. Sebaliknya, jika hak-hak privasi keagamaan dari para karyawan dikekang, semisal tidak ada waktu sholat dan istirahat yang resmi, serta tidak ada pembinaan mental-spiritual keagamaan, membuat para karyawan mudah stress, tidak bekerja dengan sepenuh hati, dan bahkan mencuri-curi waktu atas nama melaksanakan kewajiban agamanya. Akibatnya, omzet perusahaan  justru menurun. Karena Spiritualitas berhubungan dengan pencarian makna dalam hidup dan mempengaruhi nilai-nilai serta keputusan.3

Rudolf Otto seorang pakar dalam sejarah agama, memahami prilaku manusia tersebut sebagai wujud dorongan kebutuhan akan yang gaib. Perasaan manusia kepada yang gaib dimanifestasikan berupa persepsi kepada Tuhan sebagai misteri yang menakutkan tetapi menarik (mysterium tremenendum et fascinosum). Berkaitan dengan perasaan dan persepsi spiritualitas ketuhanan tersebut,  Zohar dan Marshall dalam bukunya yang menjadi pembicaraan dunia, “Spiritual Intelligence : The Ultimate Intelligence” menyatakan bahwa kecerdasan spiritual menjadi modal dan kunci kesuksesan.

Sebelumnya Daniel Goleman, penulis buku “Kecerdasan Emosional” (1995) menyatakan bahwa IQ hanya menyumbang 20 % dalam kunci-kunci kesuksesan seseorang. Vareabel lain itu diantaranya : (1) Kecerdasan emosi (Emotional Quotient), (2) Kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient), (3) Kecerdasan menghadapi tantangan (Adversity Quotient). Bahkan dalam 10 tahun terahir, dan diprediksi hingga puluhan tahun ke depan, kecerdasan spiritual akan menjadi faktor kunci utama dalam membangun kesuksesan, terutama kesuksesan yang memiliki makna. Kapasitas spiritual menjadi modal penting kesuksesan yang oleh Danah Zohar diistilahkan sebagai Spiritual Capital. Kesuksesan yang bermakna adalah kesuksesan yang diperoleh seseorang dengan tingkat manfaat yang sangat besar bagi kehidupan individual dan komunitas. Penemuan ini menjadi basis dari “kecerdasan spiritual” (Spiritual Intelligence) yang dikembangkan oleh suami isteri Danah Zohar (fisikawan-teolog) dan Ian Marshall (psikiater).

Spiritualitas bersifat universal, bersifat transetnik, transgeografis, transpolitik, transekonomi, dan tak ada pembatas antara satu manusia dengan manusia lain. Di Amerika, negara yang dikenal sebagai negara sekuler, spiritualitas menjadi perhatian penting dalam proses pendidikan kedokteran dan dimasukkan secara resmi terintegrasi dalam kurikulum. Sejak tahun 1997, University of Kentucky College of Medicine telah memasukkan prinsip-prinsip spiritualitas ke dalam program pendidikan dokter mereka. Lebih dari 70 lembaga pendidikan kedokteran di Amerika memasukkan kurikulum ini dalam pendidikan formal mereka. Perhatian terhadap masalah ini meningkat dari tahun ke tahun. Pada 1984, hanya ada 17 dari 126 lembaga pendidikan kedokteran terakreditasi yang memasukkan topik ini dalam pendidikan formal mereka. Pada 1994, jumlah ini meningkat 39 lembaga, dan pada tahun 2004 terdapat 84 lembaga yang menerapkannya.

Memorial Hospital of Rhode Island mewajibkan mahasiswanya 2 hari dalam setahun untuk terlibat dalam pelayanan pastoral, dan secara rutin diberikan silabus berbasis ilmiah berkaitan dengan spiritualitas. University of Massachussetts School of Medicine memasukkan topik spiritualitas ini secara penuh dalam 3 tahun dari masa 6 tahun pendidikan kedokteran mereka. Integrasi spiritualitas ke dalam kurikulum pendidikan kedokteran dilakukan dengan sejumlah cara, salah satunya : (1) secara rutin tiap bulan diadakan serial ceramah bulanan dengan topik-topik berkisar berbagai praktek relegius dan implikasinya pada sains dan kesehatan. (2) Para profesional rumah sakit lokal memberikan ceramah tentang end of life care.

Jika diperhatikan strategi dan topik yang dilakukan oleh University of Massachussetts School of Medicine (UMSM) ini sedikit mirip dengan adanya “Departemen BINROH” (Bimbingan dan Rohani) di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia. Di University of Missouri Kansas City (UMKC), integrasi spiritualitas ke dalam kurikulum pendidikan kedokteran diberikan pada tahun ke-3 dari 6 tahun program pendidikan kedokteran secara keseluruhan. Pihak fakultas mewajibkan mahasiswa untuk berpartisipasi dalam kuliah tentang spiritualitas, aktivitas dalam kelompok-kelompok kecil yang berfokus pada melatih keterampilan seperti pengkajian spiritualitas, dan ikut merasakan panggilan (on call) bersama dengan pendeta rumah sakit.

Selama mengikuti pendeta itu, mahasiswa berdiskusi tentang spiritualitas dan kedokteran, visite dan berdoa bersama pasien ketika dibutuhkan, memberikan kenyamanan kepada anggota keluarga, dan ikut serta menyusun lembaran kerja. Setelah menyelesaikan pengalaman dengan pendeta itu, mahasiswa diwajibkan untuk menulis sebuah esai reflektif sebagai paper akhir. Ternyata, berdasarkan laporan yang dibuat mahasiswa UMKC usai mengikuti pendeta, tampak adanya perubahan sikap dalam memandang spiritual dalam praktik kedokteran.

Dari beberapa fakta pelaksanaan integrasi nilai-nilai spiritualitas diatas, maka menjadi wajar jika institusi, birokrasi dan corporasi-corporasi yang disebut dalam prolog tulisan ini melakukan penanaman spiritualitas dalam lingkup perusahaannya. Karena karyawan-karyawan itu juga manusia yang memiliki jiwa beragama dan naluri bertuhan. Jika ditiadakan maka akan bertentangan dengan eksistensi kodrati.

Penelitian dalam bidang genetika menunjukkan bahwa kepercayaan pada Tuhan diturunkan secara genetis. Agama-agama langit secara tegas menyatakan bahwa manusia memang sudah dilahirkan “membawa” Tuhan dalam dirinya. Artinya, Tuhan itu bukan sesuatu yang berasal dari luar diri manusia. Tuhan ada di dalam diri manusia dan berada disana sejak manusia dilahirkan, bahkan sebelum dilahirkan. Tentu, tidak dalam pengertian fisik laksana hadirnya sel-sel darah, gen-gen, atau zat-zat kimiawi tubuh.

Dalam kontek ini, Tuhan menjadi “personal” (Personal God) sebagai manifestasi kehadiran dari semula sebagai impersonal God. Sebagai contoh, dalam kitab suci Al-Qur’an dinyatakan bahwa manusia adalah makhluk pencari kebenaran (Al-Hanif). Hal ini seperti yang tercantum dalam Q.S. Ar-Rum : 30. Pencarian kebenaran itu terjadi karena dalam diri manusia ada dorongan untuk itu yang berasal dari Tuhan sendiri. Tuhan yang “personal” ini akan terasa kehadirannya terutama ketika manusia mengalami penderitaan, kehidupan yang sarat beban dan sulit dipecahkan atau ketika manusia kehilangan arah.

Pembicaraan tentang Tuhan adalah tema yang sangat menarik. Tidak saja pada kalangan agamawan atau ilmuwan yang memiliki pendidikan akademis di bidang teologi, tetapi juga bagi sejumlah ilmuwan. Bahkan bagi mereka yang sama sekali tak mengerti soal Tuhan dan tak melaksanakan perintah-Nya. Tuhan seolah-olah menjadi tema bahasan tak habis-habisnya. Selain kitab suci, ada sejumlah buku yang ditulis oleh penulis-penulis hebat yang menulis dengan seksama persoalan ketuhanan ini.

Salah satu penulis, seorang sarjana di bidang ini dan ilmuwan yang paling concern terhadap soal-soal ketuhanan adalah Karen Armstrong. Armstrong  adalah mantan biarawati yang kemudian menjadi ilmuwan dan penulis. Ia menulis 3 buku khusus tentang Tuhan, A History of God : the 4000 year Quest of Yudaism, Christianity and Islam (1993), The Great Transformation : the world in the time of Budha, Socrates, Confucius and Jeremiah (2006), dan The Case for God : what Religion Really means (2009). Armstrong bahkan menelusuri hingga perang suci atau perang salib dalam bukunya “Berperang Demi Tuhan”, dimana kaum Muslim dan Kristen saling berperang karena alasan ketuhanan.

Tuhan tidak akan mati sebagaimana diproklamasikan oleh filsuf eksistensialis Nietzsche (God is dead). Tuhan akan tetap ada dan kehadiran Tuhan telah menjadi kebutuhan yang tak bisa diabaikan oleh manusia. Adanya Tuhan antara lain dibuktikan oleh adanya hati nurani alias suara hati alias intuisi.4 Jadi amatlah jelas bahwa ber-Tuhan dan beragama adalah naluriah yang tidak dapat dihilangkan atau dipisahkan dalam kehidupan manusia.

Pada tahun 1990-an, Michael Persinger5 melakukan penelitian terhadap dirinya sendiri dengan menggunakan Transcranial Magnetic Stimulation (alat semacam helm yang dapat menembakkan muatan listrik ke otak) untuk mencari tahu apa yang akan terjadi terhadap otak dan gejala apa yang muncul. Ia seorang atheis, yang tidak menganut agama formal tertentu. Ia merangsang lobus parietal dan temporalnya sendiri, yang didapatkan hasil bahwa setelah perangsangan lobus otaknya, dia seperti merasakan “kehadiran” Tuhan.

Untuk menguji hipotesisnya, dia menggunakan 48 orang (24 pria dan 24 wanita) dari mahasiswa psikologi di Universitasnya. Subjek percobaan didudukkan di sebuah ruangan yang tenang, kemudian diberikan stimulus ringan (100 nT sampai 1µT). Lokasi perangsangan berada pada tempat : 1. Regio temporoparietal kanan. 2. Temporoparietal kiri, 3. Lokasi diantara temporoparietal. Setiap kelompok diberikan sekali perlakuan masing-masing selama 20 menit. Hasilnya membuktikan, ada 32 orang subjek perlakuan mengalami sensed presence (kehadiran Tuhan). Untuk menguji validitas percobaan Persinger, Vilyanur Ramachandran (Directur centre of brain and cognition University of California di San Diego) dan Pehr Granqvist dari Uppsala University di Swedia melakukan percobaan sejenis, tetapi dengan perlakuan yang berbeda.

Ramachandran memasang elektroda pada kedua tangan 2 orang penderita epilepsi lobus temporalis yang memiliki obsesi relegius, kemudian menunjukkan kepada mereka berbagai gambar serta kata-kata di layar komputer dan mencatat respon kulit mereka (dengan alat Electro Dermal Response, EDR). Ketika kepada kedua subjek diperlihatkan kata-kata yang familier, seperti gambar orang tua mereka, atau kata “sepatu”, kedua subjek tidak memberikan reaksi. Termasuk ketika diperlihatkan gambar orang-orang asing, foto gadis-gadis erotis, serta kata-kata jorok, bahkan gambar seorang manusia yang dimakan hidup-hidup oleh buaya.

Namun, ketika diperlihatkan kata-kata serta gambar-gambar relegius, respon kulit mereka menunjukkan kenaikan tajam. Kesimpulan penting lain dari penelitian ini menunjukkan bahwa respon lobus temporalis hanya khusus bagi agama.6

Dari perspektif penelitian tersebut, disimpulkan bahwa Tuhan bukan merupakan produk pikiran manusia. Tuhan “ditemukan” dan dialami dalam suatu pengalaman spiritual dimana manusia “mengundang” kehadiran-Nya. Hal ini amat berhubungan dengan pengalaman spiritual nabi Ibrahim AS yang berusaha mencari Tuhan sebagaimana terekam dalam Q.S. Al-An’am : 76-79. Mengapa Ibrahim mencari Tuhan, dan akhirnya menuju pada ketauhidan (konsep Tuhan yang monotheisme) ?

Karena jauh sebelum Maichael Persinger dan Ramachandran melakukan riset, Allah sendiri (sebagai salah satu nama Tuhan dalam konsepsi agama Islam) telah menegaskan dalam Q.S. Al-A’rof : 172 :
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) “bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab “betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan : “sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-Esaan Tuhan)”.

Oleh karena itu Nabi Muhammad SAW menegaskan : كل مولود يولد على الفطرة “Setiap bayi terlahir dalam keadaan fitrah”.7 Fitrah disini dapat dimaknai telah beragama, atau telah ber-Tuhan sebagaimana konsep ayat diatas. Maka acara-acara keagamaan / spiritualitas yang diselenggarakan dimanapun menjadi lazim dan bahkan berkorelasi linier yang positif terhadap institusi yang mengadakan.

Ditulis oleh:
Idris Mahmudi, A.Md.Kep, M.Pd.I; Dosen dan Sekretaris LP-AIK (Lembaga Pengembangan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan) Universitas Muhammadiyah Jember. Penulis buku “Seks Islami Ditinjau Dari Al-Qur’an, Hadis, dan Medis”, dan buku “Mesra Bercinta Meski Haid Melanda”.

Footnote:
2) Lihat Halid Alkaf. “Quo Vadis Liberalisme Islam Indonesia”, Kompas, 2011. Jakarta. Hal. xv.
3) Lihat Sheldon, Lisa Kennedy, Komunikasi Untuk Keperawatan, Erlangga, 2010. Jakarta. Hal. 34.
4) Lihat Newberg, Andrew. Gen Iman Dalam Otak-Born To Believe, Mizan, 2013. Bandung. Hal. 16-19.
5) Dia adalah guru besar Psikologi dan peneliti dari Laurentian University.
6) Lihat Pasiak, Taufiq. Tuhan Dalam Otak Manusia, Mizan, 2012. Bandung. Hal. 42, 235-236, 273-274, 288-289, 295, 305, 324-325, 332.
7) H.R. Bukhori No. 1296, No. 1271, dan banyak lagi tersebar hadis dengan redaksi tersebut baik di kitab Bukhori, Muslim, maupun Ash-habus Sunan.
Lebih baru Lebih lama