Membangun Kejayaan Islam Dengan Kesalehan Intelektual

Karya intelektual masa kejayaan Islam
Ungkapan kata-kata bijak, “Tuntulah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat” merupakan sebuah pelajaran yang layak menjadi pelajaran bagi kaum muslimin agar menjadi ummat yang berkemajuan.

Bahkan, ayat pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW merupakan tradisi intelektual yang wajib kita lestarikan hingga ajal tiba.

Deklarasi tentang 'khairu ummah' yang disampaikan kepada Ummat Islam dalam QS.3:110 merupakan predikat yang diberikan oleh Allah SWT agar kita mampu melakukan dakwah dan peneguhan keimanan.

Khoiru ummah atau masyarakat Islam paripurna (meminjam istilahnya Prof.Dr.Din.Syamsudin) adalah tujuan bagaimana ummat ini mampu berkontribusi bagi kemaslahatan ummat (kesalehan). 

Menurut (Syamsudin, 2011) untuk sampai pada masyarakat paripurna, ummat Islam harus memiliki keunggulan-keunggulan dalam berbagai bidang kebudayaan dan peradaban. Hal ini pernah di contohkan oleh masyarakat Islam pada abad-abad pertengahan yang berhasil berjaya di bidang Ilmu pengetahuan dan teknologi seperti Ibnu Rusyd (averos), Ibnu Sina (Avisena) dan Al-Jabbar (Aljabar), mereka adalah beberapa ulama Islam yang mampu mengangkat kejayaan peradaban Islam masa itu.

Sebagai hasilnya, umat Islam menjadi pemegang supremasi peradan dunia. Namun, hal itu tidaklah berlangsung selamanya, malah sebaliknya ummat Islam justru mengalami kemunduran, kemiskinan dan kebodohan yang berlangsung hingga kini.

Kondisi kemunduran umat Islam seperti yang disampaikan Pak Din tersebut, menjadi 'tugas rumah' bersama khususnya bagi anak muda penganut tradisi intelektual untuk meraih kembali kejayaan peradaban Islam yang telah lama sirna.

Negara Indonesia yang memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia, pernah mengalami perjalanan pahit  tentang sejarah perjalanannya. Jauh sebelum kemerdekaan dengan masyarakat yang miskin, bodoh dan terbelakang, Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah-nya melakukan ikhtiar untuk membangkitkan kejayaan Islam melalui pendidikan yang berjalan hingga saat ini.

Hal ini terbukti dari ribuan amal usaha pendidikan Muhammadiyah mulai dari tingkat PAUD hingga Perguruan tinggi yang berdiri kokoh di seluruh Nusantara. Sehingga tidak heran jika banyak pihak yang menggugat tentang Bapak Pendidikan Indonesia tidak dinobatkan kepada seorang Ahmad Dahlan.

Pasalnya, jauh sebelum Ki Hajar Dewantara mendirikan taman siswa, Muhammadiyah telah memiliki sekolah-sekolah sebagai basis pendidikan pada masa itu. Melalui Muktamar Muhammadiyah Ke-47 di Makassar, Muhammadiyah mengambil tema besar tentang “Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan”. Tema dahsyat tersebut akan tercapai jika ada kesesuaian antara idealitas Islam dengan Realitas kehidupan.

Al-Quran tidak hanya dibaca dan dihafal melainkan harus diterjemahkan kedalam bentuk yang nyata sebagaimana di contohkan oleh ulama Islam pendahulu kita yang berhasil mengejawantahkan Wahyu Qur’ani kedalam cabang-cabang ilmu pengetahuan. Sehingga tradisi intelektual sebagaimana di sebut dalam QS.96:1 benar-benar terjaga kelestariannya.

Namun yang perlu digaris bawahi, tradisi intelektual yang dibangun harus berdampak kepada kemaslahatan ummat (kesalehan) berupa dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan peningkatan kualitas keimanan sehingga terwujud masyarakat paripurna yang mampu mewujudkan Islam rahmatan lil alamin (global).

Sehingga jika kita simpulkan, kejayaan Islam tidaklah cukup diraih dengan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, melainkan harus disertai semangat dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan keimanan yang kemudian kita kenal dengan kesalehan intelektual.


Ditulis oleh :
Kamiludin, S.Kep.Ners
Anggota Forum Keluarga Alumni IMM (FOKAL IMM) Jember

*) Catatan ini ditulis untuk menyemarakkan forum Silaturahmi Daerah FOKAL IMM, 18 Juni 2016 di Gedung Akpar Universitas Muhammadiyah Jember.
Lebih baru Lebih lama