Menatap Matahari

Menatap matahari
ilustrasi : menatap matahari
Matahari. Anda tahu?, matahari yang kita lihat sekarang, matahari yang mengiringi kita bertebaran di muka bumi. Adalah matahari yang sama dilihat oleh Adam ketika kesepian menanti saat perjumpaan dengan belahan jiwa, Hawa.

Adalah matahari yang sama pula ketika Siti Aminah mendapati kenyataan bahwa dirinya sedang melahirkan anak yang kelak dikemudian hari ternyata menjadi manusia paling mulia di muka bumi.

Tidak berlebihan jika menjadikan matahari sebagai simbol tonggak perjuangan dakwah dan kehidupan. Karena Allah SwT pun menjadikan matahari sebagai penanda sebenar-benarnya bagi kaum orang-orang yang mengetahui.

Sebagaimana dalam QS. Yunus : 5 disebutkan,
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan. Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui”.

Kalam Allah SwT diatas dengan jelas menyebut berbeda antara sinar dan cahaya. Padahal secara awam hal tersebut tidaklah berbeda, sama-sama mengeluarkan sinar ataupun sama-sama menampakkan cahaya.

Begitulah Islam dan begitupula-lah seharusnya mendakwahkan Islam. Ada waktu kapan seharusnya bercahaya dan adapula momentum untuk bersinar. Kejayaan Islam tidak dapat serta merta diraih dengan dakwah yang asal-asalan, asal pukul, asal mengkafirkan, juga asal teriak.

Zaman telah berubah menjadi sebuah tatanan kehidupan “Global Village”, dimana seseorang di penjuru bumi tertentu dapat dengan mudah berkomunikasi, tertawa dan bersedih bersama dengan seseorang di penjuru bumi lainnya. Itu artinya, berdakwah atau mengajak orang lain agar senantiasa berada di jalan Tuhan membutuhkan sebuah barisan yang kokoh dan sistematis.

Telah diingatkan oleh Allah SwT dalam QS. As-Saff : 4 yakni,
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”.

Barisan inilah yang dikemudian hari kita pahami dengan pentingnya berdakwah melalui sebuah media persyarikatan. Yaitu, berkumpulnya orang-orang yang berusaha menjadi baik untuk mengajak pula banyak orang lainnya menjadi lebih baik secara bersama-sama dalam rangka menggapai Ridho Allah SwT.

Bottom Up

Bagaimana seharusnya bangunan yang kokoh itu dapat melangkah?. Pastinya, butuh sosok imam untuk menyelaraskan langkah satu sama lain. Namun, keterlibatan seluruh organ dakwah didalamnya merupakan suatu keharusan. Model manajerial Top-Down tidak lagi relevan pada zaman keterbukaan seperti sekarang ini.

Peran aktif partisipatif dari seluruh komponen dakwah sangat dibutuhkan, sehingga arus informasi, ide, gagasan dan penerapan langkah dakwah lebih berorientasi Bottom-Up. Anggota persyarikatan harus lebih proaktif melangkah serta mengajukan rencana langkah yang aplikatif dibanding sekedar menunggu informasi dan instruksi dari sang-Imam.

Bergerak Pasti

Tidak sedikit orang yang mengharapkan gerakan 'tampak' masif dan radikal. Mereka lebih menyukai gerakan perahu layar dengan beberapa orang yang tampak berpeluh mendayung dengan sedikit 'impact' terhadap kehidupan. Dibanding dengan suatu bahtera yang tidak tampak 'motornya' namun lebih pasti dalam menggapai tujuan serta lebih dapat dirasakan manfaat atas perjalanannya.

Persyarikatan yang berorientasi dakwah Islam berkemajuan di bumi Nusantara ini sudah selayaknya dan seharusnya bergerak lebih pasti. Sebagai bahtera, manuver ekstrim memang tidak dibutuhkan karena akan menimbulkan gelombang besar yang justru membahayakan kehidupan disekitarnya. Namun gerakan sistematis dan metodis insyaAllah akan lebih memberikan kemaslahatan pada ummat dan bangsa. Dan, begitulah matahari!


Ditulis oleh :
Fahrudin R.
Kader Muda Muhammadiyah

Tulisan ini dimuat dalam Buletin Istismar edisi 02/16
Lebih baru Lebih lama