Pengumuman Awal Ramadhan Itu Demokratis

Penetapan awal ramadhan, ilustrasi SatuislamOrg via GoogleImage
Penetapan awal ramadhan, ilustrasi SatuislamOrg via GoogleImage
Muhammadiyah telah mengumumkan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah 1437 H ke khalayak umum. Publik menyikapi positif atas pengumuman Muhammadiyah tersebut, sebab dengan demikian umat Islam dapat mengetahui jauh sebelumnya. Diperkirakan untuk beberapa tahun ke depan akan terdapat kesamaan Muhammadiyah dengan pemerintah dan ormas Islam lain. Namun mengenai pengumuman ke publik masih ada sebagian kecil yang berpendapat agar ormas Islam, dalam hal ini Muhammadiyah, tidak perlu mengumumkan ke publik.

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Pusat misalnya berpendapat, bahwa penentuan awal Ramadhan hampir tiap tahun mengalami perbedaan pendapat oleh sejumlah kalangan, terutama ormas Islam. Untuk meminimalisir perbedaan itu, MUI meminta umat Islam menunggu sidang isbat atau penetapan awal Ramadhan yang akan digelar pemerintah (Republika, 25/04/2016).

Persoalan sidang isbat justru menjadi salah satu yang menjadi titik perbedaan, bukan persamaan. Sidang isbat tidak lepas dari pihak yang menggunakan rukyat, yang meniscayakan kehadiran bulan baru harus dirukyat H-1 dan otomatis baru diketahui beberapa jam atau sehari sebelumnya. Masalah sidang isbat sendiri sering menjadi kontroversi, sehingga Muhammadiyah pernah beberapa kali tidak menghadirinya karena suasana yang cenderung monolitik dan tidak memberi ruang pada perbedaan. Padahal masalah penentuan awal bulan masih merupakan ranah ijtihad yang memang terbuka pada perbedaan.

Karenanya tidaklah masalah bahkan benar adanya jika Muhammadiyah maupun organisasi Islam lain mengumumkan hasil ijtihadnya tentang awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah jauh sebelumnya dan tanpa harus menunggu sidang isbat. Muhammadiyah menghargai sidang isbat dan karenanya sejak setahun yang lalu ikut hadir. Mengenai perbedaan metode penentuan awal bualn yang terus dicari titi temu terutama dengan adanya satu kalender Islam internasional, proses demokratisasi kehidupan tetap harus menjadi patokan. SEcara demokratis Kementerian Agama maupun Majelis Ulama Indonesia atau organisasi Islam lain tidak perlu membatasi umat Islam lainnya yang mengetahui jatuhnya tanggal baru jauh sebelum sidang isbat itu dan mengumumkan ke publik.

Sidang isbat jangan menjadi ukuran satu-satunya kebenaran dan mereka yang berbeda atau tidak mengikuti ukhuwah. Melalui hisab siapapun akan mengetahui kehadiran bulan baru jauh sebelumnya, bahkan bertahun-tahun sebelumnya. Muhammadiyah bahkan dapat mengumumkan untuk berpuluh-puluh tahun ke depan. Fakta menunjukkan seluruh warga dunia termasuk bangsa Indonesia dapat mengetahui dan menikmati peristiwa langka Gerhana Matahari Total (GMT) tanggal 9 Maret 2016 sebagai hasil hisab atau perhitungan kalender. Bayangkan kalau GMT baru diumumkan pada H-1, maka mereka sungguh sangat merepotkan.

Karenanya jangan dianggap salah dan tidak berukhuwah kalau ada organisasi Islam yang mengetahui dan mengumumkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah jauh hari atau bahkan jauh beberapa tahun sebelumnya. Hal demikian merupakan ranah yang sangat terbuka jika menggunakan hisab. Apalagi di alam demokrasi saat ini semua orang atau kelompok dapat mengekspresikan pandangannya, lebih-lebih untuk soal beragama yang memang dijamin konstitusi serta bermanfaat untuk kemajuan hidup umat manusia dan peradaban dunia. (hns)


Ditulis ulang dari halaman "Tajuk", Majalah Suara Muhammadiyah edisi No. 10 Th. Ke-101, 16-31 Mei 2016
Lebih baru Lebih lama