Mencari Kepuasan Hidup

kepuasan hidup
ilustrasi : mencari kepuasan hidup

Tidak seorang pun diantara kita yang tidak mendambakan kepuasan dan kenikmatan hidup. Setiap orang tentulah menginginkan agar hidupnya selalu dalam keadaan tenang dan tenteram serta selalu dapat merasakan adanya kepuasan hidup. Untuk mendapatkan ketenangan dan ketenteraman hidup itu, berbagai cara dan jalan dilalui.

Sementara orang beranggapan bahwa, kepuasan hidup itu terletak pada adanya harta kekayaan yang menumpuk. Maka untuk memperoleh kepuasan hidup itu, ia berusaha mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Dan sering terjadi bahwa, untuk mendapatkan harta kekayaan itu, ditempuhlah berbagai cara dan jalan, tidak peduli apakah cara itu dibenarkan oleh agama atau tidak. Yang penting asal harta kekayaan dapat dikumpulkan.

Sebagian orang lainnya beranggapan bahwa, kepuasan hidup itu terletak pada adanya pangkat dan kedudukan yang tinggi. Maka untuk memperoleh kepuasan hidup itu, dengan berbagai cara dan jalan, dikejarlah pangkat dan kedudukan itu. Dan tidak jarang pula bahwa, dalam mengejar pangkat dan kedudukan itu ditempuhlah cara-cara yang tidak wajar.

Apakah benar bahwa, dengan harta kekayaan dan pangkat, seseorang akan memperoleh kepuasan hidup? Dalam batas-batas tertentu memang benar bahwa, harta kekayaan dan pangkat bisa membuat seseorang menjadi puas dan senang. Tetapi, kesenangan dan kepuasan yang dicapai sifatnya relatif.

Dalam praktek tidak sedikit orang yang berharta cukup, uang simpanan di Bank melimpah, rumah megah, kendaraan mewah berjejer, segala kehendak dan keinginannya terpenuhi, tetapi batinnya merasa kosong, jiwanya gelisah.

Demikian pula tidak jarang seseorang yang menduduki pangkat yang cukup tinggi, tetapi, dengan pangkatnya itu jiwanya selalu tidak tenteram. Ia selalu merasa dikejar-kejar orang dan sebagainya. Sebaliknya tidak sedikit pula orang dapat merasakan kepuasan hidup, pikirannya selalu dalam keadaan tenang, jiwanya tenteram, padahal secara lahiriyah ia selalu dalam keadaan serba kekurangan, harta tidak dan pangkat pun tiada. Kepuasan batin rupanya telah memberikan imbangan terhadap ketidakpuasan yang bersifat lahiriyah.

Dalam rangka mencari kepuasan yang bersifat batiniyah, ada beberapa kiat yang bisa dilakukan. Pertama, menjauhi larangan. Setiap orang yang melakukan pelanggaran, baik pelanggaran terhadap peraturan atau undang-undang negara, norma atau nilai-nilai luhur yang berlaku di masyarakat, lebih-lebih lagi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Allah, pastilah membuat hatinya tidak tenteram, selalu berdebar-debar dan gelisah.

Keadaan semacam ini tentunya merupakan siksaan batin, yang membuat kehidupannya tidak tenang. Untuk menghindari kegelisahan hidup, salah satu resepnya adalah menjauhi segala larangan, terutama larangan Allah. Kedua, ridha terhadap karunia Allah.

Sudah menjadi tabiat manusia bahwa, ia selalu merasa tidak puas terhadap nikmat yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya. Sekiranya perasaan tidak puas itu ditujukan kepada karunia berupa ilmu pengetahuan, ini justru merupakan hal yang terpuji, tetapi, pada umumnya perasaan tidak puas itu menyangkut soal kebendaan.

Orang selalu merasa tidak puas dengan harta kekayaan yang telah dimilikinya. Walaupun kepadanya diberikan dua lembah penuh emas, tetapi ia selalu menginginkan lembah yang ketiga, keempat dan seterusnya, tiada habis-habisnya. Tabiat tidak pernah merasa puas terhadap harta yang dikaruniakan kepadanya itu dapat dikendalikan dengan menanamkan sikap qana’ah, yaitu, bersikap ridha terhadap karunia Allah.

Artinya, dia menerima apa adanya, menerima dengan perasaan syukur atas apa yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya. Sifat ridha dan syukur itu akan mebuat seseorang merasa paling kaya, walaupun kenyataannya dia miskin. Sebaliknya sifat thama’, loba dan serakah terhadap harta kekayaan akan membuat seseorang merasa miskin, walaupun dalam kenyataannya ia hidup bergelimang harta. Sebab sifat serakah membuat mata seseorang selalu menengadah, hanya melihat ke atas, melihat orang lain yang lebih kaya daripada dirinya.

Dalam hubungan inilah agama kita menasehatkan agar dalam soal karunia harta, hendaknya seseorang selalu melihat ke bawah, melihat orang lain yang keadaannya lebih miskin daripada dirinya. Dengan melihat ke bawah akan tumbuhlah rasa syukur, bahwa, dirinya ternyata dalam keadaan lebih baik apabila dibandingkan dengan keadaan orang lain.

Kekayaan Budi Pekerti

Seorang hukama’ pernah berkata bahwa, kekayaan itu tidak terletak pada uang dan harta yang melimpah, melainkan pada budi pekerti. Ketiga, mencintai sesama manusia laksana mencintai diri sendiri. Sudah menjadi tabiatnya, bahwa, setiap orang itu sangat mencintai diri sendiri. Meskipun diri sendiri mengandung banyak kelemahan dan kekurangan serta menyandang banyak cacat sekalipun, tetapi cinta kepada diri sendiri tidak akan berkurang.

Sekiranya ada orang lain yang berani mengungkapkan kekurangan dan cacat itu, ia pasti tersinggung dan merasa direndahkan. Karena cintanya kepada diri sendiri, kadang-kadang membuat orang bersikap sombong dan angkuh, merasa diri sendirilah yang paling hebat, paling pintar, paling benar, paling gagah dan sebagainya.

Cinta pada diri sendiri, acapkali membuat seseorang bersikap rakus dan tamak. Ia menginginkan agar sebanyak mungkin harta benda hanya menumpuk pada dirinya sendiri, tidak perduli, apakah orang lain menderita karenanya. Mencintai diri sendiri sebenarnya tidak dilarang oleh agama. Bahkan, agama juga menganjurkan agar kita memperhatikan kepentingan dan tuntutan diri kita, baik yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah. Yang dilarang oleh agama adalah cinta kepada diri sendiri secara berlebihan.

Nabi saw pernah bersabda yang artinya: “Cintailah sesama manusia laksana mencintai diri sendiri, kalian akan menjadi seorang muslim sejati”. Maka kalau tidak mau dicela atau direndahkan oleh orang lain, hendaklah kita tepo seliro, tidak mencela dan merendahkan orang lain. Apabila diri kita tidak suka difitnah dan diadu domba, maka kita pun jangan pula menfitnah dan mengadu domba orang lain.

Apabila kecintaan kita kepada sesama manusia mencapai tingkatan serupa itu, maka menurut sabda Nabi tadi, berhaklah kita menyandang predikat sebagai seorang muslim sejati, yang hidupnya penuh kepuasan dan ketenteraman. (*)

Oleh : A. Rosyad Sholeh
Lebih baru Lebih lama